Beberapa hari berlalu. Sheila kini sudah merasa lebih baik dari sebelumnya. Adi juga selalu setia berada di samping Sheila saat ia butuh.
Begitu juga dengan Ratna dan Farel. Kedua orangtua nya itu tak pernah sedikit pun mengabaikan perhatian mereka.
Sheila takkan memungkiri, bahwa ia memang butuh Farel dan Ratna. Untuk itulah ia tak pernah menolak ketika mereka masuk ke dalam kamar miliknya hanya untuk sekadar menghibur dan memberi semangat.
"Lho, Sayang, kamu mau ke mana?," tanya Ratna yang melihat Sheila sudah rapi sebari membawa ransel kesayangannya.
"Sheila mau ke tempat latihan, Ma," jawab Sheila disertai dengan senyum manis yang sempat hilang beberapa hari lalu.
"Kamu serius?," tanya Farel.
Sheila hanya mengangguk dan ikut sarapan bersama kedua orangtua nya.
"Permisi."
Suara seseorang di depan pintu utama mengalihkan perhatian mereka hingga menoleh.
"Adi," gumam Sheila dan beranjak untuk menyambut kedatangan sahabatnya.
"Hai, She." Adi menyapa sambil melambaikan tangan.
"Yuk masuk. Ada mama sama papa di meja makan."
Adi menerima ajakan Sheila untuk sarapan bersama keluarganya.
"Pagi, Om, Tante," sapa Adi sopan.
"Hai, Di. Ayo duduk, kita sarapan bareng."
Adi mengangguk canggung dan menarik kursi di samping Sheila.
"Kamu ke mana aja? Kenapa dua hari ini nggak kesini?," tanya Ratna.
"Maaf, Tante. Kemarin Adi ada urusan, jadi nggak sempet ke sini, deh," jawab Adi dengan nada sedikit menyesal.
"Nggak apa-apa, Di. Tantemu itu emang kangen sama kamu kayaknya," ujar Farel sedikit terkekeh.
"Ssstt.. Udah jangan ngobrol terus. Silakan makan, Di."
"Makasih Tante, Om."
Kedekatan Adi dengan kedua orangtua Sheila bukan hal baru lagi. Mereka selalu menitipkan putrinya pada Adi, karena Farel dan Ratna merasa kalau Adi sangat cocok untuk menjaga Sheila.
Bahkan pernah sekali, Ratna berharap kalau Adi lah yang akan menjadi pendamping hidup Sheila kelak.
"Kalian mau latihan?," tanya Farel ketika melihat Adi dan Sheila telah menghabiskan makanannya.
"Iya, Om. Udah lama kita nggak latihan," jawab Adi.
"Kalau gitu, Om titip Sheila ya, Di."
Adi mengangguk. Kedua matanya bisa melihat, ada rasa khawatir dari Farel dan Ratna. Wajar saja, putri satu-satunya itu pernah merasakan luka dan jatuh dalam lautan luka tersebut.
"Mama sama Papa tenang aja, Adi pasti jagain aku kok. Dan aku juga bisa jaga diri aku sendiri." Sheila menggenggam tangan milik kedua orangtua nya untuk menenangkan mereka agar jangan terlalu khawatir.
"Mama sama Papa percaya, Sayang. Tapi inget, jangan jauh-jauh dari Adi," kata Ratna memperingati.
"Siapa, Bos."
Farel dan Ratna kembali tersenyum. Kini putri cantik mereka telah kembali seperti dulu.
"Kalau gitu, Sheila sama Adi pamit dulu, ya."
Mereka berdua beranjak dan mencium tangan Farel dan Ratna.
"Hati-hati," teriak Ratna dari arah meja makan.
Sheila hanya menoleh dan mengacungkan jempol ke arah Ratna yang baru saja berteriak. Ia melirik Adi yang sepertinya tengah memikirkan sesuatu.
"Lo kenapa?," tanya Sheila.
"Nggak. Gue cuma lagi mikirin sesuatu aja."
"Apa? Soal cewek?," tanya Sheila yang langsung membuat tubuh Adi sedikit tersentak.
"Gak. Gue mana punya cewek," elaknya.
"Gak percaya gue. Ya kali cowok secakep lo kagak punya cewek."
"Apa? Lo bilang gue cakep?."
Sheila menghentikan langkahnya di depan motor Adi. Ia melirik laki-laki dengan sengit.
"Nggak usah kepedean deh lo," ujar Sheila.
Adi yang mengulum senyumnya sejak tadi pun merubah posisi dan berdiri di hadapan Sheila.
"Masa? Jelas-jelas gue denger, kalau lo bilang gue cakep," kata Adi dengan mimik wajah menggoda Sheila.
"Ng-nggak. Salah denger kali lo," Sheila berkata dengan gugup. "Minggir lo, gue mau naik," lanjutnya sebari menyingkirkan tubuh Adi dari hadapannya.
***
Sudah lima hari Brama mengurung diri di kamar. Setelah Aji memutuskan untuk pergi dengan Adi, kini ia dihantui oleh rasa penyesalan karena telah memutuskan untu meninggalkan Sheila.
Laki-laki itu menatap wajahnya di cermin. Kini semua telah selesai. Ia kehilangan Sheila dan Aji bersamaan.
"Apa ini karma buat gue?," batinnya.
Keadaan Brama tidak sebaik dulu. Badannya jauh lebih kurus dari sebelumnya. Dalam keadaannya yang seperti ini, Brama tidak memiliki dukungan dari siapapun. Bahkan kedua orangtuanya tengah berada di luar negeri saat ini.
"Permisi, Den."
Brama tidak menoleh. Ketika salah satu asisten rumah tangga memasuki kamarnya.
"Ini makan siang buat Den Brama. Bibi taro di meja, ya."
Namun lagi-lagi Brama hanya diam. Dunianya runtuh seketika.
"She, maafin aku. Harusnya aku nggak lakuin ini ke kamu."
***
Sheila menikmati embusan angin yang terasa sangat sejuk menyentuh kulit tubuhnya. Rambutnya yang panjang beterbangan tertiup angin siang ini.
"She, lo udah ngerasa baikan?," tanya Adi yang masih fokus mengemudikan motor andalannya.
"Baik, lah. Emang gue kenapa?," tanya Sheila.
"Bagus deh. Gue lebih seneng liat lo yang sekarang daripada kemarin."
"Ish, Adi. Lo jangan ungkit-ungkit itu lagi," ucap Sheila sedikit merengek.
"Kenapa? Apa lo belum bisa move on dari Brama?."
Sheila menarik nafas ringan dan menempelkan dagunya di atas bahu kiri Adi.
"Gue bukannya belum move on. Tapi gue nggak mau inget sama kejadian yang udah bikin down. Gue benci itu, Di. Gue pengen bangkit dan memulai hidup gue yang baru."
Adi mengangkat kedua sudut bibirnya. Sheila yang ia kenal kini telah kembali seperti semula. Ia juga bersyukur karena tidak perlu susah payah untuk menghibur gadis itu lagi.
"Bagus deh. Jadi gue nggak harus susah payah buat ngehibur lo," ujar Adi dengan nada bercandanya.
"Jadi lo nyesel? Oh, gue tau. Lo terpaksa kan selama ini? Lo pura-pura baik di depan nyokap sama bokap gue. Iya, kan?."
Ckiiittt
Adi menepikan motor dan menghentikannya secara tiba-tiba. Membuat tubuh Sheila terkejut dan memeluk Adi dari belakang.
"Aduhhh.. Sakit," ringis Sheila sambil mengusap keningnya yang terbentur helm belakang milik Adi.
"Di, lo gila? Lo mau bunuh gue, hah?," omel Sheila.
Adi membalikkan tubuh dan menatap Sheila dengan seksama. Posisi mereka saat ini saling berhadapan dengan keadaan masih duduk di atas jok motor.
Seketika Sheila bungkam. Ia merasa ada yang aneh dengan tatapan Adi saat ini.
"Di, lo baik-baik aja, kan?," tanya Sheila memperhatikan wajah Adi yang tidak berubah.
"Dengerin gue. Kalau gue terpaksa ngehibur lo, ngapain juga gue harus capek-capek pulang pergi ke rumah lo? Gue itu beneran khawatir sama lo, She."
Sheila menelan salivanya dengan susah payah. Ia merasa bersalah karena telah menuduh Adi. Padahal laki-laki itu memang sudah sangat baik padanya.
"G-gue minta maaf," ucap Sheila menundukkan kepala.
"Angkat wajah lo."
Sheila tidak menuruti ucapan Adi. Ia masih saja menunduk.
"Gue bilang, angkat wajah lo." Adi akhirnya bergerak sendiri. Ia menyentuh dagu Sheila dan mengangkat wajah gadis itu dengan lembut.
"Gue sayang sama lo, She. Gue nggak mau sahabat gue terus-terusan sedih karena cowok."