Chereads / SHEILA : Skate Love / Chapter 16 - Mulai Berani Berkhianat

Chapter 16 - Mulai Berani Berkhianat

Di Indonesia, tentu saja Brama merasa terbebas dan lebih leluasa untuk bertemu dengan Aji. Tidak ada Sheila yang akan merecoki waktunya bersama kekasih gelapnya itu.

Pagi hari ini Brama sudah rapi, dengan memakai kemeja lengan pendek berwarna biru tua dan rambut basah yang terlihat lebih maskulin.

Tak lupa aroma tubuhnya yang bisa membuat siapapun mabuk jika menghirupnya.

Brama menatap wajahnya di cermin. Sesekali merapikan anak rambut yang menurutnya kurang rapi dan sangat mengganggu.

"Gue beli makanan dulu aja. Pasti Aji belum sarapan," gumamnya sebari tersenyum dengan rona bahagia.

Ponselnya berbunyi kembali. Setelah kemarin ia diamkan padahal ada banyak pesan yang Sheila kirimkan dari New York sana.

"Sheila lagi. Maaf ya She, gue mau ketemu sama Aji. Jadi lo jangan ganggu gue," ucap Brama pada ponsel yang tengah menampilkan nama Sheila di sana.

Untung saja gadis itu tidak berada di sana sekarang. Tak terbayang betapa sakit hatinya karena mendengar kekasihnya sendiri lebih mementingkan orang lain.

Laki-laki itu menuruni tangga sebari bersiul kecil. Rumahnya sudah sepi. Hanya ada beberapa asisten rumah tangga yang berada di tempat kerjanya masing-masing.

"Mau sarapan, Den?," tanya seorang wanita paruh baya yang ditaksir berusia sekitar lima puluh tahunan.

"Nggak usah, Bi. Brama mau sarapan di luar aja," jawab Brama tersenyum simpul.

Ia melirik ke arah dapur. Meja makan yang berukuran besar dan panjang itu kosong, tidak ada yang mengisi. Hanya ada beberapa makanan yang tersaji di atasnya.

Brama tersenyum miris. Keluarganya tidak pernah makan bersama. Entah itu sarapan atau pun sekedar makan malam bersama.

Ia kembali melangkahkan kakinya. Meninggalkan asisten rumah tangga yang sudah mengabdi sejak sepuluh tahun yang lalu.

Brama tahu, jika asisten rumah tangganya itu selalu menatap miris dan kasihan kepadanya. Untuk itulah Brama memilih pergi, karena ia tidak ingin dikasihani oleh siapapun.

Di perjalanan, ia melihat beberapa pedagang kaki lima yang menjual menu makanan untuk sarapan. Seperti lontong sayur, bubur ayam, dan nasi uduk.

Brama menghentikan mobilnya di sisi jalan. Ia menghampiri penjual bubur ayam yang terlihat cukup ramai.

"Pak, buburnya dua porsi. Yang satu nggak pake kecap, ya."

"Iya, tunggu sebentar ya."

Brama sangat hafal makanan kesukaan Aji. Bubur ayam tanpa kecap. Karena laki-laki itu memang tidak menyukai manis.

Ia mengambil ponsel untuk sekadar menghilangkan jenuh. Namun, tiba-tiba ia teringat pada Sheila.

"Apa gue udah bersikap gak adil? Sheila dari kemaren sms gue terus, tapi nggak ada satu pun yang gue bales," batin Brama.

Brama membuka file galeri yang menyimpan banyak foto dirinya dan Sheila. Dan membuat kedua sudut bibir Brama terangkat begitu saja.

"Sheila itu cantik, dia juga baik. Tapi kenapa dia harus dapetin cowok gak normal kayak gue? Apa gue lepasin dia aja? Supaya dia bisa cari cowok yang lebih baik?."

"Misi, Mas. Ini buburnya."

Brama terperanjat, saat mendentar suara tukang bubur.

"Oh iya, Pak. Ini uangnya."

Brama pun pergi. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan kekasih sesama jenisnya itu.

"Bener. Gue harus bisa jauhin Sheila. Gue pengen dia hidup bahagia dengan laki-laki normal yang juga cinta sama dia."

***

"Apa, hm? Kamu mau apa? Tumben banget kamu manja kayak gini."

"Aku laper, pengen makan."

"Mau makan apa, hm? Biar aku yang beli."

"Aku pengen bubur ayam tanpa kecap."

Dua orang laki-laki yang merupakan penyuka sesama jenis tengah bermanja di atas tempat tidur.

Mereka baru saja bangun dari tidurnya, setelah semalaman melepas rindu dan meluruskan segala kesalahpahaman.

"Aku mandi dulu, nanti aku beli buburnya," ujar salah seorang pria yang sepertinya berperan sebagai laki-laki sungguhan. Dan laki-laki satunya berperan sebagai wanita yang sangat manja.

"Yaudah, biar aku beresin tempat tidur dulu."

Keduanya bergegas mengerjakan tugas masing-masing. Kamar yang mereka tempati semalam berubah menjadi seperti kapal pecah.

Cinta mereka mulai berlabuh tadi malam. Ada rindu dan emosi yang begitu menggebu sehingga membuat sebuah guncangan gempa lokal.

Laki-laki yang tengah membereskan tempat tidur itu pun terkekeh geli. Ia mengingat semua kejadian tadi malam, yang mana semua itu tidak pernah ia dapatkan.

Sentuhan, hingga perlakuan yang tidak pernah ia dapat dari kekasihnya. Hatinya mulai sedikit goyah, hanya dengan sebuah perlakuan hangat dan manis yang baru saja ia terima dari laki-laki yang dulu ia minta untuk menjauh.

"Sayang, aku pergi dulu. Mau cari sarapan buat kita."

Ia mengangguk, sebari melihat calon pacarnya itu melengos pergi dengan rambut basah yang sangat menggoda.

"Kenapa, kenapa Adi beda sama Brama?."

***

"Itu kan Adi. Ngapain dia di sini pagi-pagi?."

Brama menghentikan mobilnya. Tidak sengaja ia melihat Adi, sahabat Sheila tengah menaiki sebuah sepeda motor menyusuri jalanan.

"Bener. Itu Adi. Ngapain juga dia pagi-pagi udah bawa motor?," gumam Brama.

"Bodo ah. Bukan urusan gue." Brama kembali melajukan mobilnya. Jarak rumah Aji sudah dekat, ia semakin tidak sabar untuk bertemu kekasih kesayangannya itu.

Tok.. Tok..

"Ji, Aji."

"Sebentar"

Brama tersenyum saat Aji menyahut dari dalam rumah.

"B-Brama?," tanya Aji dengan wajah terkejut sekaligus bingung.

"Hai, Sayang," seru Brama sebari mendorong tubuh Aji ke dalam rumah, agar tidak ada yang melihat mereka.

"K-kamu ngapain ke sini?,"

"Lho, kok kamu tanyanya kayak gitu? Aku kan pacar kamu," ucap Brama sebari mengusap kedua pipi Aji.

"Aku tahu. Maksudnya, ini kan masih pagi."

Aji mencoba agar terlihat tenang. Brama tidak boleh curiga padanya.

"Aku cuma kangen. Aku juga bawain sarapan buat kamu."

Aji nampak tidak tenang. Ia takut kalau Adi tiba-tiba saja datang dan mereka malah membuat keributan.

"Ma, aku ke kamar mandi dulu ya."

"Oke, Sayang."

Aji berlari sebari membawa ponselnya ke dalam kamar mandi. Ia harus segera memberitahu Adi.

"Halo, Di."

"Kenapa, Ji? Ini aku bentar lagi pulang, kok," jawab Adi dari balik telpon.

"Jangan!," cegah Aji dengan cepat.

"Lho, kenapa?."

"Di sini ada Brama."

Hening untuk beberapa saat.

"Di, kamu denger aku kan?."

"Iya. Yaudah, aku pulang aja kalau gitu."

Aji menjadi sangat tidak enak. Apalagi ia mendengar nada bicara Adi yang terlihat sedih.

"Maafin aku," ucap Aji pelan.

"Nggak apa-apa, Sayang. Aku pulang dulu, ya."

"Tapi, Di---"

Sambungan telpon putus begitu saja. Aji tahu, kekasih gelapnya itu pasti merasa sedih dan kecewa.

"Sayang, kok lama banget di kamar mandi nya?." Brama memanggil Aji dengan teriakan yang memenuhi ruangan.

"Adi, maafin gue ya. Lo pasti kecewa banget, karena waktu kita keganggu sama Brama," batinnya.

"Gue jadi ngerasa kayak cewek gak bener. Karena main dua cowok sekaligus."