Chereads / SHEILA : Skate Love / Chapter 18 - Hoodie Untuk Adi

Chapter 18 - Hoodie Untuk Adi

Sheila telah kembali menginjakan kakinya di tanah air. Saat ini ia tengah bersiap untuk pergi latihan skateboard di tempat biasa.

Dengan mengenakan kaus longgar berearna cokelat muda dan celana jeans hitam yang tidak begitu ketat.

Gadis itu mengikat rambut panjangnya dan memperlihatkan leher jenjang nan putih mulus yang selama ini bersembunyi dibalik rambut yang selalu ia gerai.

"Mau ke mana, She?," tanya Ratna yang baru saja memasuki kamar Sheila.

"Biasa, Ma. Sheila mau latihan skate."

"Sarapan dulu, ya! Papa udah nunggu di bawah."

Sheila mengangguk seraya tersenyum. Mama dan papa nya telah berubah. Mereka tidak lagi memaksa Sheila untuk menikah di usia muda.

"Coba kalau dari dulu mama kayak gini," gumam Sheila setelah melihat punggung Ratna yang hilang di balik pintu kamarnya.

***

Ketiga anggota keluarga Aksadana itu tengah menikmati nasi goreng udang yang dibuat oleh Ratna.

"She, kamu mau papan skate baru?."

"Uhukk.. Uhukk.."

Sheila segera mengambil gelas yang berisi air putih di sampingnya.

"Papa nawarin aku papan skate baru?," tanya Sheila sedikit tidak percaya.

"Iya. Itu juga kalau kamu kamu. Kalau nggak, ya---"

"Sheila mau." Sheila memotong perkataan Farel yang belum selesai dengan cepat.

"Kamu ini, urusan papan skateboard aja cepet," ejek Ratna dengan senyum tertahan.

"Hehehe.. Kapan lagi Papa baik kayak gini, Ma," ujar Sheila sebari melirik Farel.

"Kamu ini. Kurang baik apa Papa sama kamu, hah?."

"Awshh.. Papa sakit, ih! Pipi Sheila nanti tambah gede."

"Hahahaha...."

Mereka semua tertawa bersama karena Sheila yang merengek seperti anak kecil sebari mengembungkan kedua pipinya.

Ratna menatap Sheila dengan tatapan syahdu. Senyuman hangat dari bibirnya seolah menyalurkan rasa sayang yang sangat tulus dari seorang ibu pada anaknya.

Putri sematawayangnya kini telah tumbuh dewasa dengan paras cantik dan sangat manis.

Farel yang mengerti dengan tatapan sang istri pun menggenggam tangan Ratna. Mereka saling melempar pandang dan tersenyum hangat.

"Nggak kerasa ya, Ma. Sekarang Sheila udah tumbuh sebesar ini," ucap Farel mewakili isi hati Ratna.

"Iya, Pa. Nggak kerasa. Padahal dulu dia sering nangis karena ditinggal ke depan komplek kalau Mama beli sayur."

"Mama, ih! Sheila kan jadi malu," kata Sheila yang tidak terima dengan penuturan Ratna. Bibir mungilnya maju hingga beberapa mili meter dan menambah kesan imut di wajah Sheila.

"Iya-iya. Anak Mama dan Papa emang yang paling baik."

Sheila tersenyum lebar, tatkala kedua orangtua nya mengecup kedua pipi milik Sheila yang sedikit berisi.

"Makasih Ma, Pa."

***

Seperti biasanya, Sheila berjalan menyusuri trotoar sebari menenteng papan skate yang bertuliskan namanya. Itu adalah benda berharga yang paling ia sayang dibanding papan skate miliknya yang lain.

Bukan karena harganya yang selangit, tetapi karena sang ibu yang memberikan.

Sheila berjalan tegap dengan mulut yang di jejali oleh permen lolipop kesukaannya. Wajahnya menatap lurus kedepan tanpa memperdulikan orang-otang yang lalu lalang di jalan raya pagi ini.

"Lho, tumben sepi?," gumam Sheila ketika sampai di tempat latihan.

"Tumben banget. Biasanya jam segini udah pada dateng." Sheila melirik jam tangan berwarna hitam yang melingkar cantik di pergelangan tangan kirinya.

Jarum pendek pada jam tangan Sheila menunjukan ke angka sepuluh. Itu tandanya hari sudah hampir siang. Harusnya teman-teman se perhobiannya sudah datang bahkan suaranya sudah bisa di dengar dari arah Sheila datang.

"Gue tunggu bentar lagi aja kali, ya?," pikir Sheila. Ia duduk di atas kursi yang di sediakan Adi untuknya dulu.

Kursi itu sengaja Adi ambil dari rumahnya hanya untuk tempat Sheila beristirahat. Dia adalah sahabat yang paling baik bagi Sheila, rela melakukan apapun demi dirinya.

"Gila. Ini sih gak wajar. Udah satu jam gue nunggu, dan mereka belum dateng juga?," tanya Sheila pada dirinya sendiri.

"Bodo ah. Mending gue latihan sendiri."

Sheila menyerah. Ia segera meraih papan skate miliknya dan memulai aksi di arena.

Gadis itu benar-benar menggunakan semua kemampuannya hari ini. Beberapa kali pula ia mengudara sebari memutar tubuh. Untungnya Sheila di anugerahi tubuh yang tinggi dan langsing.

"Wih.. Kapan datengnya lo?."

Sheila berhenti sejenak karena mendengar suara seseorang di belakang tubuhnya.

"Adi. Lo kenapa baru dateng? Biasanya udah di tempat dari pagi," cibir Sheila dengan tatapan tidak biasa.

"Sori. Gue tadi telat bangun. Lo kapan pulang? Kok nggak ngabarin gue?," tanya Adi sambil berjalan ke arah kursi yang tadi di tempati Sheila.

"Kemaren. Niat gue mau bikin kejutan sama lo dan Brama. Tapi kalian nggak ada di sini," jawab Sheila yang mengikuti langkah sahabatnya.

"Oh.. Bawa oleh-oleh, kagak?."

"Ish.. Jangan di acak-acak!," omel Sheila karena melihat Adi membedah seluruh isi tas nya.

"Wih.. Apa nih? Hoodie. Pasti buat gue, kan?," tanya Adi dengan mata berbinar.

"Iye. Itu buat lo. Kalau sepatu buat Brama."

Ekspresi wajah Adi berubah ketika Sheila menyebut nama Brama dan Sheila sangat menyadari semua hal itu.

"Lo kenapa? Kok ekspresi muka lo berubah, kalau gue sebut nama Brama?," tanya Sheila penasaran.

"Ehem.. Nggak. Itu cuma perasaan lo aja, kali," elak Adi dan langsung mengalihkan pandangan.

"Lo berantem lagi sama dia?."

"Nggak, She. Udah ah, gue nggak mau bahas itu. Oh ya, hoodie nya langsung gue pake, ya?."

Sheila mengangguk cepat. Ia senang karena Adi sangat menyukai pemberiannya. Tapi hati Sheila belum juga tenang, karena ia yakin ada sesuatu antara Adi dan kekasihnya.

***

"Ahh.. Gila, panas banget."

"Iya. Tumben panas kayak gini."

Adi dan Sheila duduk di tepi arena latihan dengan kaki berselonjor dan tangan yang aktif mengipasi tubuh mereka masing-masing.

"Oh ya Di, temen-temen lo mana? Kok mereka gak ke sini," tanya Sheila.

"Fayez maksud lo?."

Sheila hanya mengangguk dengan mimik wajah kepanasan.

"Dia lagi sekolah. Belum pulang kalo jam segini. Apalagi dia pengurus osis, palingan juga pulang sore," ungkap Adi.

"Oh, gitu. Jadi kita latihan cuma berdua aja, nih? Sampe sore?," tanya Sheila sambil menoleh ke arah Adi.

"Iya, lah. Brama kan gak ada."

Dengan cepat Sheila menghentikan pergerakan tangannya yang sedang mengipas wajahnya sendiri.

"Maksud lo apa? Emang Brama ke mana?."

"Mampus! Gue keceplosan," batin Adi.

Laki-laki itu menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak terasa gatal.

"Maksud gue, kan dia nggak ada di sini. Jadi ya, kita latihan berdua aja," ujar Adi kikuk.

"Di, lo nggak sembunyiin apapun dari gue, kan?."

Adi tidak berkutik. Wajah Sheila sangat dekat dirinya. Apalagi tatapan yang Sheila berikan sangat tidak biasa. Membuat Adi menelan ludah dengan susah payah.

"G-gue serius, She," ucap Adi terbata. Ia menahan napas karena wajah Sheila yang semakin mendekat.

"Lo jujur Di. Atau....."

"A-atau apa?."

"Atau gue cium saat ini juga."