"Kamu sendiri, makin sayang gak sama aku? Atau kamu punya gebetan lagi?."
Brama diam beberapa saat, "Aku emang gak punya gebetan lagi, She. Tapi aku punya pacar selain kamu," batinnya.
"Halo, Ma? Brama. Kamu masih di sana, kan?."
"Ah, iya She. Aku masih di sini kok," sahut Brama sedikit gelagapan.
"Kamu kenapa diem? Atau jangan-jangan, kamu emang punya gebetan lain?."
"Ng-nggak, lah. Mana mungkin aku punya pacar selain kamu? Sedangkan aku sendiri punya pacar yang cantik banget dan baik. Nggak ada alasan buat aku selingkuh dari kamu."
Kalau boleh jujur, hati Sheila terasa melayang ke atas awan. Perutnya terasa geli seolah ada ribuan kupu-kupu di dalamnya.
"Kamu gombal. Dasar pakboy!," cibir Sheila yang sedang tersenyum malu di balik telpon.
"Kata siapa aku gombal? Aku gak gombal, Sayang. Aku serius. Aku udah cinta mati sama kamu, gak ada perempuan lain yang bisa bikin hati aku berpaling dari kamu."
Dasar buaya. Mulut Brama memang mudah untuk mengumbar kata cinta. Sehingga membuat lawan jenisnya menggelepar seperti ikan di daratan.
"Brama udah, ah! Aku gak mau denger gombalan kamu lagi!," seru Sheila.
"Hahaha.. Iya udah. Aku nggak akan gombalin kamu lagi."
"Iya. Aku tutup telponnya ya, Ma. Aku mau tidur siang."
"Oke, Sayang. Selamat tidur siang, ya."
Sheila mengangguk tanpa bersuara. Ia langsung mematikan ponsel dan menaruhnya di atas nakas.
Tubuh Sheila langsung memeluk boneka beruang berukuran jumbo yang diberikan Brama di hari ulang tahunnya bulan kemarin.
Boneka berwarna merah jambu yang sejak itu menemani Sheila tidur dan menjadi pengganti Brama di saat laki-laki itu tidak bisa memeluknya.
"Gue nggak nyangka. Ternyata gue bisa bucin juga. Ya, walaupun cuma sama Brama gue bisa kayak gitu."
Sheila terkekeh. Pasalnya dulu, ia tidak suka melihat pasangan bucin. Apalagi jika ada wanita yang rela memberikan apapun untuk kekasihnya.
"Gue tidur dulu deh. Abis makan ternyata bikin ngantuk."
***
Setelah panggilan telponnya dengan Sheila berakhir, Brama memutuskan untuk pergi ke tempat Aji.
Ia khawatir. Kekasih sesama jenisnya itu tidak memberi kabar setengah hari ini. Awalnya Brama biasa saja, karena mungkin Aji belum bangun atau sedang mengerjakan sesuatu.
Tapi ia tidak bisa diam. Setelah jarum jam menunjukan ke angka sebelas siang.
"Dia bikin gue khawatir aja," gumam Brama yang sedang mengenakan hoodienya.
Tap
Tap
Tap
Ia menuruni tangga dengan pelan. Tidak ingin ketahuan oleh bunda atau ayahnya.
"Aman. Semoga bunda nggak liat gue. Pasti bunda berisik kalau liat mau ke luar."
Berhasil sampai di luar pintu dengan selamat, Brama pun berlari menuju garasi dan mengambil mobil kesayangannya.
"Permisi, Den. Aden mau ke mana?," tanya asisten rumah tangga yang menghampiri Brama.
"Brama mau ke rumah temen, Bi. Bibi jangan bilang bunda, ya!."
"Tapi, Den..."
"Udah, Bi. Brama berangkat dulu."
Brama adalah seorang pria yang terlahir dari kalangan darah biru. Tentu saja ia tidak pernah merasa kekurangan apa pun.
Mungkin ia juga tidak pernah merasakan bagaimana rasanya memegang uang logam recehan, karena di dalam dompet Brama hanya berjejer uang kertas bergambar Soekarno.
Namun semua itu tidak membuat Brama menjadi orang yang sombong dan tamak. Ia tetap sopan dengan orang yang jauh lebih tua darinya.
Seperti asisten rumah tangganya itu. Brama sudah menganggap beliau sebagai keluarga bahkan menganggap bi Sumi seperti neneknya sendiri.
Itu karena usia bi Sumi yang sudah tidak muda lagi. Beliau pula yang sudah mengasuh Brama sedari masih bayi.
"Tumben banget macet. Padahal ini bukan ibu kota."
Brama tak henti mengoceh saat mobilnya terjebak macet di jalanan. Berkali-kali ia melirik jam tangan yang melingkar indah di pergelangan tangannya.
"Aji ke mana, sih? Dia belum juga bales sms gue."
Kesal sudah hati Brama. Selain macet, Aji juga sukses membuat moodnya memburuk hari ini.
"Udah lancar, nih. Gue harus cepet sampe ke rumah Aji."
***
Setelah sampai, Brama langsung melepas sabuk pengaman yang dikenakan. Membuka pintu mobil dengan cepat dan menutupnya cukup keras.
"Ji, Aji."
Berulang kali laki-laki itu mengetuk pintu kosan milik kekasihnya yang tertutup rapat.
"Kayaknya dia nggak ada di rumah. Tapi dia ke mana?."
Brama mulai lelah. Ia duduk di kursi plastik yang ada di depan kosan Aji.
"Gue tunggu dia aja deh di sini," putusnya.
***
"Apa? Apa yang kamu mau dari aku?"
"Cuma satu. Aku mau kamu."
"Kamu gila, ya? Aku udah punya pacar. Buat apa kamu ngarepin aku lagi?."
Dua orang yang sedang berbincang namun terselubung emosi yang terpendam itu mendadak diam.
"Aku udah cinta sama kamu dari dulu. Sebelum kamu pacaran sama dia. Aku kurang apa sama kamu? Semua yang kamu pengen, selalu aku kasih. Dari dulu, dari kita masih sekolah. Apa kamu gak sadar?," ucap salah seorang dari mereka.
"Aku tau. Tapi aku gak bisa bales cinta kamu. Mending kamu cari aja yang lain. Karena kita nggak mungkin bersama."
"Tunggu! Aku akan tunggu sampai kamu putus sama dia."
***
Sudah hampir dua jam Brama duduk di depan kamar Aji. Tapi laki-laki itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
"Aji ke mana, sih? Udah dua jam gue nunggu. Tapi dia gak dateng-dateng."
"Lho, Brama."
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Baru saja menelan ludah satu detik, Aji datang dan tiba di hadapan Brama.
"Kamu dari mana aja, sih? Aku nunggu kamu udah dua jam, lho." Brama beranjak sebari mengomeli kekasihnya itu.
"Maaf, Sayang. Aku nggak tau kalau kamu mau ke sini," jawab Aji sebari menekuk wajah.
"Iyah, gak apa-apa. Kita masuk ya, aku pengen rebahan sama kamu," ujar Brama sambil berbisik.
Aji mengangguk dan langsung membuka pintu yang ia kunci.
"Kamu kenapa nggak bilang-bilang kalau mau ke sini?."
"Aku kan sms kamu berkali-kali. Tapi kamu nggak bales. Makanya aku ke sini. Aku khawatir sama kamu."
Aji menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Maafin aku, ya. Tadi aku ada urusan sebentar."
"Gak apa-apa. Yang penting kamu udah balik."
Brama memajukan tubuhnya dan mendekat ke arah Aji yang sedang duduk di atas tempat tidur.
"Aku kangen sama kamu," bisik Brama sebari membelai kedua pipi Aji yang terawat.
Walaupun pada kodratnya Aji adalah seorang lelaki, tapi Brama selalu memberinya uang untuk biaya perawatan wajah layaknya perempuan.
"Aku juga, Ma. Aku kangen banget sama kamu."
Aji memeluk tubuh Brama yang kekar. Ia menelungkupkan wajah di atas Brama yang bidang.
Krucuk... Krucuk...
"Sayang, kamu laper?."
Aji hanya memberi Brama sebuah cengiran lebar.
"Maaf. Aku belum sarapan dari pagi," jawab Aji tersipu malu.
"Ya udah. Kita pesen makanan online aja, ya. Biar nggak capek ke luar."
Kekasihnya mengangguk patuh. Menuruti apapun yang Brama tentukan.
"Sayang, kamu ada urusan apa? Kamu nggak ketemu sama orang lain, kan? Kamu nggak ngekhianatin aku, kan?."
DEG!