Chereads / Patner For Love / Chapter 4 - 4. Salah Menangkap

Chapter 4 - 4. Salah Menangkap

Suasana Seoul selalu saja ramai walaupun musim dingin, suasana akhir tahun pun tampak terasa.

Sebuah gedung apartement bertingkat 25, lantai 20 sebuah kamar nomor 211, aroma lilin aroma terapi tercium dari kamar itu.

Darah terlihat mengenai lantai.

Seorang wanita terdorong ke arah lemari dan terjatuh, beberapa buku menimpuk kepalanya.

Arrgghhh...

Erangan gadis itu...

Jleb! Jrass...

Sebuah tusukan mendarat di perutnya, darah tergenang di lantai.

SRET! SRET! SRET!

Suara seretan terdengar.

Gadis itu, di tarik dari kakinya. Mata gadis itu membelalak. Darah yang masih berada di lantai mengikuti arah gadis itu di tarik.

Sebuah tangan, membersihkan dan mengatur kembali ruangan tersebut. Kemudian, dia meninggalkan ruangan tersebut.

Kriet! Brak!

Klik! Suara pintu tertutup!

**

"Mau kopi?" Tanya seorang pria sambil duduk di sampingnya. "Kau tidak menolak kafein bukan?" tanyanya lagi sambil memberikan segelas kafein pada Awana. Seakan tahu dengan kesukaan gadis itu sebagai pencinta kafein. "Mengapa hanya memandanginya dengan tatapan kosong? Seharusnya kau senang dong," katanya lagi

Sejenak gadis itu memandangi ID Card Universitas yang baru saja diberikan. Tatapannya kosong melihat benda yang baru saja di terimanya itu.

"Entahlah, aku hanya tak tahu apa ini yang kuinginkan atau ini yang kubutuhkan," kata Awana.

"Wah. Professor termuda di SNU," katanya sambil memberikan applause

"Ya ya ya," kata Awana tidak ingin mendengarkan perkataan pria itu lebih jauh.

"Ou… Kau membuatku kesal. Semua orang memiliki keinginan sukses diusia muda, dengan menjadi seorang professor. Tapi kau sama sekali tak memberikan ekspresi senang,"

"Apa yang harus aku senangi? Ketika kau membicarakanku disana sini? Kau menjadikanku topik pembicaraanmu,"

"Maaf, maaf… aku tidak bermaksud membicarakanmu, aku hanya mengatakan pada mereka jika aku bertemu orang yang membuatku kagum dengan pemikirannya yang logis. Sudahlah. Pulanglah ke rumah, kau pasti lelah seharian. Ini, aku menemukannya," katanya sambil memberikan sebuah file berkas Awana.

"Siapa?" tanya Awana.

"Anak itu, anak yang kau cari,"

"Gumawo," kata Awana mengucapkan terima kasih sambil membuka berkas yang ada di dalam amplop cokelat.

"Aku seorang ateis, namun terkadang aku berfikir jika Tuhan benar ada, mengapa dia menghadirkan rasa bersalah pada hamba-Nya, sedangkan dia tidak memiliki rasa bersalah ketika dia memberikan penderitaan kepada hamba-Nya,"

"Penderitaan adalah jalan agar kita terus mendekatkan diri kepada-Nya, bukan karena Dia tidak memiliki rasa bersalah tapi karena itu adalah cara-Nya memberikan kasih sayang-Nya. Agar Hamba-Nya bisa lebih mengingat-Nya,"

"Akupun dulu, berpikir seperti itu. Jika Dia tidak menyayangiku, jika dia hanya membuatku menderita, tapi ketika ku lihat diriku. Aku yang menyakiti diri sendiri, dia hanya memberikanku peringatan,"

"Kau bisa menyetir?"

"Apa kau tidak ingat? Aku bahkan membuatmu masuk rumah sakit,"

"Aa… Benar. Biar ku pesankan taksi,"

"Tidak perlu, aku ingin berjalan-jalan lebih dulu," kata Awana.

"Pakai ini, jika terjadi sesuatu segera tekan tombol bagian ini, polisi akan segera sampai ke tempatmu," katanya sambil menunjukan cara memakainya alat yang diberikannya pada gadis itu. "Tapi, kenapa dengan tanganmu?"

"Aa. Kecelakaan," kata Awana.

"Apa? Kecelakaan? Kapan?"

"Aku harus pergi," kata Awana sambil melangkah pergi.

"Yak, katakan padaku lebih dulu kapan kau kecelakaan? Kau memang.... Aaaiiisss… Sudahlah, pulanglah jika kau tidak ingin mengatakannya. Dasar gadis nakal," kata pria itu dengan nada bicara sedikit kesal.

Awana hanya melambaikan tangan, meninggalkan pria yang masih kesal dengannya.

Gadis itu memilih untuk berjalan di trotoar, entah bagaimana kakinya membawanya ke sebuah tempat penitipan anak. Langkah kakinya berhenti di tempat itu, menatap beberapa anak yang tengah bermain, ada pula anak bayi, dan balita di tempat itu.

Kakinya melangkah masuk ke tempat itu ketika mendengar suara tangisan seorang bayi.

"Boleh ku gendong?" tanya Awana sambil tersenyum pada seorang wanita yang menjaga bayi itu. "Aku bukan penculik kok, aku hanya suka dengan anak kecil. Jadi... Apa boleh? Mungkin aku bisa membuatnya diam..." Kata Awana sambil kembali tersenyum.

Walaupun dalam keadaan bingung melihat Awana yang ingin mengendong bayi yang tengah berada di pelukannya. Dia tetap memberikan bayi itu pada Awana.

"Hei... kenapa menangis anak cantik?" tanya Awana sambil mencoba menenangkan bayi itu. "Kau tidak punya teman ya? Kasian ... Mau main denganku?" tanya Awana.

Suara Awana yang lemah lembut, perlahan-lahan membuat tangisan bayi itu berhenti, dan tertawa di dalam pelukan Awana.

Begitu bahagianya menjadi seorang wanita yang utuh, bisa mengandung dan melahirkan bayi secantik ini.

Sadarlah Awan, selain dirimu begitu banyak pula wanita yang tidak bisa memiliki keajaiban.

Beberapa pengasuh melihat kearah Awana yang membuat bayi itu tertawa.

"Bagaimana bisa? Biasanya anak itu tidak tertawa,"

"Iya benar... aku saja yang menggendongnya, dia tidak pernah tertawa..."

Beberapa pengasuh yang ada di tempat penitipan anak itu merasa heran.

Awana bermain sebentar dengannya anak kecil itu, setelah anak itu terlelap. Awana pun pergi meninggalkannya.

Ada kebahagiaan tersendiri untuknya, apalagi ketika dokter memvonis dirinya tidak bisa memiliki hamil. Dia begitu menyukai sebuah kehidupan hadir di dalam perutnya, namun Tuhan berkata lain untuk takdirnya.

"Bisakah aku bermain dengannya nanti?" tanya Awana pada para pengasuh.

"Oh iya bisa... Tapi... Bagaimana anda membuatnya diam dan tertawa? Kami bahkan tidak bisa membuatnya tertawa..."

"Ah. Namaku Awana, panggil saja Awan," kata Awana memperkenalkan namanya. "Aku hanya mengendongnya dengan perasaan bahagia, mungkin aku beruntung, aku permisi dulu... Aku akan datang lagi besok..." kata Awana sambil keluar dari tempat penitipan anak.

Di saat Awana keluar, gadis itu berpapasan dengan Noey yang masuk ke tempat penitipan anak, untuk melihat anaknya.

"Oh Letnan..."

"Putriku..."

"Putri anda... Em..."

"Kenapa dengan Momo?" tanya Noey.

"Tidak ada yang terjadi tuan, hanya saja Momo tadi bisa akrab dengan seseorang," kata wanita pengasuh itu.

"Benarkah?"

"Ya, dia bahkan tertawa saat di ambil oleh wanita itu,"

Noey terdiam sejenak, kemudian teringat sesuatu. "Apakah dia orangnya?" tanya Noey itu.

"Tidak, bukan wanita ini," kata wanita itu sambil menggelengkan kepalanya.

"Ah, begitu ya..." kata Noey.

"Dia baru saja keluar..."

"Benarkah?" tanya Noey.

"Iya benar..."

Drrzzz...

Sebuah nama terlihat di ponselnya.

"Letnan... salah satu buronan kini menuju sebuah jalan xx, kami tengah mengejarnya..." kata seorang pria dari seberang telfon.

"Baiklah... dekat dengan lokasiku," kata Noey sambil menutup telfonnya.

"Mohon bantuannya... aku harus..."

"Tentu... tenang saja, tidak perlu khawatir dengan Momo..." kata wanita pengasuh itu sambil tersenyum.

"Terima kasih..." kata Noey sambil keluar dari tempat penitipan anaknya.

Noey tidak tega untuk meninggalkan anaknya, tetapi ada yang harus dia lakukan sebelum itu. Sebagai polisi, tugas negara adalah hal yang harus dia prioritaskan. Kakinya berlari ke arah lokasi yang di sebutkan jika ada seorang buronan terlihat.

Drap... Drap... Drap

Suara langkah kaki seorang pria tengah berlari terdengar, di antara puluhan orang yang tengah berjalan kaki di trotoar.

"Yaaaakkk... berhenti di sana," teriak sebuah suara seorang Pria dengan rambut yang telah acak-acakan. Noey Ardanult, pria itu tengah mengejar seseorang. "Ku bilang berhenti di situ," teriak Noey.

Bersambung...