Chereads / Patner For Love / Chapter 8 - 8. Seorang Saksi

Chapter 8 - 8. Seorang Saksi

"Sebenarnya itu masuk akal, namun tidak masuk akal jika semua tulisan di dinding Tkp begitu sama, mana mungkin semua korban bisa menulis huruf tersebut di dinding. Aku sudah katakan tadi jika pembunuhan ini tidak lepas dari pembalasan dendam. Rache dalam bahasa Jerman artinya pembalasan dendam. Jika kalian pernah membaca atau penggemar novel detektif Sherlock Holmes pasti tahu. dalam novelnya terdapat kata yang sama yang ditulis dengan darah. Jika di novel Sherlock Holmes mengunakan darah pelaku, namun kali ini pelaku mengunakan darah para korban. Jika pelaku mengunakan darahnya sendiri, otomatis dia akan segera tertangkap,"

Penjelasan yang di berikan oleh Awan masuk akal, membuat mereka hanya bisa termangun-mangun.

"Kita akan membahas mayat korban. Lihat, luka-luka sayatan ini bukan penyebab kematiannya. Namun luka sayatan ini adalah luka yang dibuat pelaku saat menikmati pembunuhannya." Kata Awan sambil melihat luka sayatan ditubuh korban.

"Penyebab kematiannya adalah kehabisan darah, namun yang membuatnya kehabisan darah, pelaku mengiris leher korban. Kemudian membiarkannya begitu saja. Pelakunya pasti beranggapan jika para korban layak mendapatkannya. Ketika korban tidak memiliki darah lagi ditubuhnya atau seluruh darah korban telah tergenang dilantai pelaku membersihkan semua darah kemudian menaruhnya di bathtub agar terlihat seperti kolam darah," kata Awan menjelaskan, seakan dia tahu apa yang terjadi di tempat itu.

"Kejadiannya pasti ketika semua orang tengah sibuk. Berarti sekitar jam 11 atau 12 siang. Untuk membuat semua darah habis dari tubuh korban membutuhkan waktu sekitar 4-5jam bahkan lebih," kata Awan. "Kita tunggu hasil forensic," kata Awan sambil duduk didekat mayat wanita itu.

Sebuah telfon masuk di ponsel seorang pria paruh baya;dia adalah ketua tim. Saat mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh tim forensic di seberang telpon raut wajahnya seketika berubah, ia melihat ke arah Awan yang saat ini tengah berdiri.

"Apa hasil forensiknya sudah keluar?" Tanya Awan dijawab anggukan oleh ketua tim.

"Penyebab kematiannya adalah kehabisan darah karena sayatan dileher, waktu kematiannya adalah pukul 11-12 siang," kata ketua tim sambil menatap Awan dengan penuh tanda tanya.

Noey pun terlihat terkejut dengan apa yang baru saja di katakan oleh Awan.

Pria itu, belum menyadari identitas Awana dengan IQ 200, banyak yang mengatakan jika mereka yang memiliki IQ seperti itu, sama dengan seorang Psikopat atau bahkan calon Psikopat.

"Sekarang, anak itu bisa dibebaskan bukan?" tanya Awan. "Bisa kalian melepaskannya sekarang?" tanya Awan sambil memakai kacamata hitamnya lagi.

Seorang anak remaja, rambutnya acak-acakan. Wajahnya pucat, seperti belum makan seharian, bola matanya bersinar ketika gembok jeruji besi dibuka. Sebuah perasaan senang dan bahagia terlihat dari raut wajahnya yang pucat.

Awan melangkahkan kakinya keluar dari kantor polisi, diikuti oleh anak remaja itu.

"Namamu min-na bukan?" tanya Awan sambil mempererat mantel miliknya, karena hawa dingin sangat terasa.

"Ye, ottokhae alji?" jawabnya dengan Ya, kemudian bertanya kembali pada Awan mengunakan bahasa hanguk yang berarti bagaimana kau tahu

"Kau tidak ingat denganku? Kita pernah bertemu tahun lalu di Indonesia," kata Awan, raut wajahnya dingin, datar, nada bicara tegas.

"Gieog-i anna ," kata jawab anak remaja itu, lagi-lagi mengunakan bahasa hanguk, yang berarti aku tidak ingat.

Awan menatap manik mata hitam anak itu, bagaimana bisa seseorang lupa? Apakah itu mungkin?

Tapi, dia pun lupa tentang beberapa hal, karena kejadian hari itu.

Langkah kaki Awan berhenti disebuah restoran makanan, ketika gadis itu melihat Min-na—anak remaja yang di keluarkannya tadi dari kantor polisi tengah memperhatikan mereka yang tengah mencicipi makanan di dalam restoran tersebut.

"Ayo kita masuk, aku lapar," kata Awan sambil melangkah masuk ke dalam restoran.

Ahn Min-na, usianya 17th seperti usia adik laki-laki Awan, melihat anak remaja itu dia teringat dengan adiknya yang di Indonesia, satu-satunya adik laki-laki yang tidak menjauhinya hanya karena tidak lagi se iman, satu-satunya adiknya yang menjadi penyemangatnya di saat dia terpuruk.

Awan memesan beberapa makanan, membuat gadis mua'laf itu cukup bahagia melihat seseorang yang mencicipinya begitu lahap menghabiskan makanan yang dimakannya. Hingga membuat pipi anak itu merah merona, karena di perhatikan sedari tadi oleh Awana.

"Maaf, aku menghabiskan semua makananya," kata Min-na.

Awan hanya tersenyum sambil mengambil selembar tisu dan di berikan pada anak itu.

"Ada sisa makanan disini," kata Awan.

"Terima kasih. Tapi, kenapa kau tidak ikut makan? Kau mengatakan jika kau lapar,"

"Em, aku akan makan di rumah," kata Awan. "Jika sudah selesai, kita bisa pulang sekarang?" tanya Awan, anak itu hanya menganggukkan kepalanya.

Awan menahan taksi, dan masuk di ikuti oleh Min-na, mobil-mobil telah kurang di jalanan, dan para pejalan kaki juga mulai kurang terlihat. Tidak ada yang membuat suara selama mereka berada di dalam mobil, sekali pun anak remaja itu ingin mengatakan sesuatu pada Awan, namun di urungkannya niatnya itu untuk bertanya.

Untuk negara yang cukup maju, harus waspada apalagi di tawarkan bantuan, dan anak itu jelas takut jika Awan berbuat baik padanya untuk memanfaatkannya atau menjual organ tubuhnya.

Dekat dengan TKP, Awan memilih kembali ke Apartement.

"Ganti pakaian dulu," Awan memberikan sebuah paperbag pada anak itu. Membuat anak itu, menatapnya dengan penuh pertanyaan tentang mengapa dia di berikan pakaian dan di bebaskan oleh gadis berkerudung itu.

"Terima kasih," kata Min-na dengan terbata-bata.

"Untuk apa?"

"Karena telah menolongku," jawab Min-na.

Awan hanya menatapnya diam, ia tidak membalas. Melihat wajah Awan yang begitu dingin seakan tidak ada ekspresi Min-na hanya bisa menundukan kepalanya.

"Kenapa kau memakai pakaian itu?" Tanya Awan yang penasaran.

Anak itu tampak ragu untuk mengatakan pada Awan apa yang sebenarnya terjadi.

"Karena…"

"Sebaiknya kita tidur," potong Awan membuat Min-na menghentikan perkataannya. "Kau bisa tidur di sofa untuk malam ini?"

"Iya,"

"Cah, pakai ini. karena musim dingin,"

Waktu menujukan tengah malam, namun tidak membuat mata Awan tertutup, dia tidak bisa tidur saat itu, banyak yang berada di dalam pikirannya, tengah nelangsa membuatnya tidak dapat memejamkan mata, dan masuk ke dalam mimpi.

Meraih, jaket miliknya dan keluar dari Apartement, melintasi kamar yang di temukannya mayat, tidak membuatnya takut.

Bersambung...