Chereads / Mencintaimu Dalam Diam / Chapter 26 - Chapter 25

Chapter 26 - Chapter 25

Malam menjelang saat jam menunjukan pukul 22.00 malam dan sudah waktunya minimarket yang menjadi tempat Aiza bekerja paruh waktu itu tutup. 

Saat ini, Aiza sedang menghitung semua jumlah uang yang ada didalam mesin kasir serta tak lupa ada buku pembukuan yang menjadi salah satu perlengkapannya saat merekap data pemasukan penjualan minimarket hari ini. Seorang pria muda yang sedang menyapu lantai pun menoleh kearah Aiza.

"Aku sudah selesai dengan tugasku. Apakah kamu sudah selesai menulis keuangan di pembukuan?" Tanya Lia, rekan kerja Aiza.

"Aku belum selesai." Ucap Aiza yang fokus dengan catatan di pembukuannya.

"Begitu ya." Lia hanya manggut-manggut mengerti dan segera menuju bagian gudang belakang untuk meletakkan sapu lantai dan sekopnya. Lia pun berjalan kearah loker kerja dan segera meraih jaket dan tas selempang yang biasa ia gunakan kemudian kembali melangkah untuk mendatangi Aiza.

"Kalau aku pulang duluan tidak masalahkan?"

Aiza hanya mengangguk. "Pulang saja."

"Baiklah kalau begitu. Aku duluan ya Aiza. Asalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Dari jarak beberapa meter, Seorang pria yang berusia 30 tahun yang menyamar sebagai jasa tukang perbaikan Ac pun sejak tadi memperhatikan Aiza sambil memicingkan kedua matanya kearah sekitar untuk memastikan bila saat ini kondisi sedang aman.

Aiza tetap fokus dalam mengerjakan tugasnya dan tidak terlalu memperhatikan sekitar. Pak Dani yang merupakan satpam area keamanan saat ini sedang terlihat berbincang dengan rekannya didepan minimarket.

Setelah selesai, Aiza segera membuka brankas kemudian memasukan semua uang tunai dan buku pembukuannya kemudian menguncinya dengan rapat menggunakan akses kode pasword yang terpasang disana.

Perasaan lega karena pekerjaannya hari ini telah selesai membuat Aiza tanpa membuang waktu lagi untuk segera menuju loker kerjanya dan mengambil tasnya. 

Tiba-tiba Aiza merasa sakit di area perutnya. Aiza pun akhirnya memilih ke toilet terlebih dahulu dan mengunci pintunya dengan rapat dari dalam.

"Kenapa tiba-tiba perut aku sakit ya?" gumam Aiza dengan sendirinya.

"Apakah aku ada salah makan menu kateringan malam ini?"

Setelah Aiza berada didalam toilet, seorang pria yang sejak tadi memperhatikan Aiza pun kini menjalankan rencananya bahkan dengan mudahnya ia mematikan sambungan cctv satu jam yang lalu untuk melancarkan aksinya. 

Tak hanya itu saja, pria itu juga memberi obat pencuci perut di makanan kateringan Aiza malam ini saat tidak ada satupun yang menyadarinya.

Pria itu segera menuju toilet dan mengunci pintu toilet dari depan dengan kunci cadangan yang ia miliki kemudian mematikan saklar lampu toilet begitu saja.

Aiza terkejut ketika lampu listrik yang ada didalam toilet saat ini tiba-tiba padam. Minimnya celah yang ada didalam toilet tersebut membuat Aiza sangat susah untuk memperoleh sebuah penerangan cahaya.

Aiza pun mulai panik dan membuka pintunya namun terkunci. Aiza mulai khawatir dan merogoh seluruh isi saku baju serta rok panjangnya untuk mencari ponsel dan berharap bisa menghubungi siapapun namun sungguh disayangkan ia baru sadar jika ponselnya itu berada didalam tas lokernya.

"Tolong, siapapun diluar. Tolong bukain pintunya!" teriak Aiza dari dalam kamar mandi sambil menggedor-gedor pintunya. Seorang pria yang ditugaskan untuk melancarkan aksinya itu hanya tersenyum sinis menatap pintu tersebut dan memilih pergi dari sana bertepatan saat Pak Dani menyapanya.

"Sudah selesai Mas baikin Ac nya?" tanya Pak Dani pada pria itu.

"Sudah." Jawab Pria itu. Sebisa mungkin ia mencoba untuk terlihat santai.

"Mbak yang jaga kasir juga sudah pulang? Kok saya tidak liat ya?" Pria itu tersenyum dan mencoba meyakini Pak Dani.

"Dia sudah pulang. Saya lihat Pak Dani tadi sibuk ngobrol dengan temannya dan mungkin Bapak tidak melihat kepergiannya."

Pak Dani hanya manggut-manggut. "Iya juga ya? Yasudah kalau gitu terima kasih Mas. Sudah jam 22.15, waktunya Minimarket KITA tutup."

Pria itu hanya mengangguk dan Pak Dani segera menutup rapat pintu minimarket tersebut kemudian menguncinya dengan rapat. Pak Dani yang memang bertugas jaga malam pun kembali ke tempatnya sambil menikmati secangkir cofe untuk menghalau rasa kantuknya.

Dari kejauhan, Alex yang sedari tadi didalam mobil dan menunggu kepulangan Aiza pun mengerutkan dahinya.

"Apakah Aiza sudah pulang? Aku sudah menunggu satu jam yang lalu disini tapi kenapa aku tidak melihatnya keluar ya?"

Alex merasa heran. Ia memang sudah menunggu Aiza satu jam yang lalu karena ada kepentingan dengan gadis itu apalagi semua pesan dan panggilan telepon darinya tidak pernah dihiraukan oleh Aiza. Sekali lagi, Alex pun menghubungi nomor ponsel Aiza berharap kalau gadis itu menerima panggilannya dan hasilnya, sama seperti sebelunya. Tidak direspon.

"Apa mungkin dia sudah pulang?" Alex melirik jam di pergelangan tangannya ketika jam menunjukan pukul 22.15

"Pintu sudah ditutup. Mungkin Aiza sudah pulang." ucap Alex dengan sendirinya dan terpaksa menyalahkan mesin mobilnya untuk pulang kerumah.

🖤🖤🖤🖤

Waktu sudah pukul 08.00 pagi. Shin yang memang mengambil waktu sift pagi saat ini memilih ke toilet terlebih dahulu sebelum bersiap-siap ke ruang loker kerja.

"Kenapa pintu toiletnya dikunci?" tanya Shin dengan heran.

"Tumben sekali, biasa juga tidak di kunci." Shin hanya menghedikan bahu tidak perduli dan memilih ke ruang loker untuk bersiap diri. 

"Wah sayang sekali, biasanya toilet itu tempat aku merenung diri sebelum jam kerja. Kali aja dapat ide buat lanjutin naskah fiksi dirumah." gumam Shin dengan songongnya.

Pintu minimarkert pun terbuka. Masuklah Ayu dan melihat situasi Minimarkert yang masih sepi karena memang baru saja di buka. 

Minimarket yang sudah ia kembangkan selama 5 tahun ini dibuka mulai pukul 08.00 pagi dan tutup pada pukul 21.00 malam, Ayu melihat Shin yang tengah berdiri didepan kasir dan baru saja menyalakan komputernya.

"Laporan tadi malam bagaimana? Bisa saya liat?" ucap Ayu ketika menghampiri Shin.

"Tadi malam Aiza yang hitung semuanya Bu. Sebentar, saya buka brankas dulu."

Ayu hanya mengangguk sembari menunggu Shin membuka brankas menggunakan akses kode pasword dan setelah membukanya, ia segera menyerahkan pembukuan laporan keuangan tersebut pada Ayu.

Sejenak Ayu mengeceknya dan menyunggingkan senyumnya ketika mendapati penjualannya terus meningkat di setiap harinya hingga gelagat Shin yang saat ini terlihat menahan sesuatu membuat Ayu heran.

"Kamu kenapa Shin? Kok terlihat gelisah gitu?"

"Em.." Shin mengigit bibir bawahnya. "Dari tadi saya kebelet Bu tapi toilet di kunci."

"Dikunci? Kok bisa?"

"Saya juga tidak tahu. Tadi saya cek pintunya terkunci."

"Coba kamu panggil Pak Dani diluar ya."

Shin segera menuruti perintah Bu Ayu dan segera mendatangi Pak Dani yang hendak bersiap pulang setelah menyelesaikan waktu jaga malamnya. Pria paruh baya itu menoleh ketika namanya dipanggil oleh Shin.

"Ada apa mbak?"

"Pak." Shin meringis karena sudah tidak tahan menahan rasa kebelet. "Em, itu toilet terkunci. Bisa tolong bukain? Saya kebelet nih."

Dengan sigap Pak Dani yang tadinya hendak pulang pun batal begitu saja dan segera menuju toilet. Pintu memang terkunci, ia pun segera mencari kunci cadangan yang ada di sakunya kemudian membukanya. Seketika Pak Dani terkejut. Kedua matanya terbelalak saat mendapati Aiza tidak sadarkan diri didalam toilet sambil bersandar di pintu yang baru saja ia buka.

"Mbak?!!" Pak Dani memegang bahu Aiza. Wajahnya sudah dingin memucat. Ia pun memegang pergelangan tangan Aiza dan mengecek urat nadinya yang mulai melemah. Tanpa banyak bicara lagi, ia pun segera menggendong tubuh Aiza keluar.

"Bu!! Bu Ayu!!"

"Ada ap- Ya Allah mantuku!!!" Ayu mendekati Pak Dani. "Pak, ya ampun Pak! Aiza kenapa? Aduh, aduh cepet kita bawa rumah sakit!!!!"

Ayu hendak meneteskan air matanya. Sementara Shin, ia sangat terkejut dan tidak menyangka jika Aiza berada didalam toilet.

"Shin setelah kamu dari toilet, Ibu minta tolong ya handle minimarkert dulu. Jangan lupa suruh operator untuk mengecek CCTV semalam. Nanti ibu hubungin dia suruh kesini. Ibu mau kerumah sakit dulu." 

🖤🖤🖤🖤

Arvino baru saja menyelesaikan kegiatan rapat dengan para Dosen diruang Dekan. Ia terdiam menatap jendela besar yang kini menampilkan gedung-gedung jurusan lain yang berada dikawasan sekitar tempat ia mengajar. Arvino menenggak habis sisa soda didalam kaleng kemasannya kemudian meremuknya dengan amarah yang tidak tertahankan.

Tiga puluh menit sebelum ia melakukan rapat, Ayu menghubunginya dan memberi kabar tentang hal yang sedang menimpa Aiza. 

Arvino ingin sekali melihat keadaan Aiza namun sebuah kewajiban penting di Universitas membuatnya harus mengurungkan niatnya dan mengesampingkan urusan pribadinya sejenak. Selama waktu rapat berlangsung, lagi-lagi Ayu mengabarinya dengan sebuah pesan singkat di ponselnya kalau semua ini adalah ulah Devika. 

Bahkan setelah rapat berakhir, tak tanggung-tanggung lagi Arvino langsung menghubungi Bundanya.

Ayu menjelaskan bahwa ia menghubungi hacker terpercaya untuk memeriksa cctv semalam dan mengetahui bahwa Devika lah yang menyuruh seorang pria yang menyamar menjadi jasa tukang perbaikan Ac untuk melancarkan aksinya dan mencelakai Aiza. 

Tak hanya itu saja, Pak Dani yang memang bertugas jaga malam saat itu sempat kehilangan salah satu kunci cadangan toilet yang ia punya. 

Tanpa banyak bicara lagi, Arvino segera meraih ponselnya dan segera mengetik sebuah pesan singkat untuk di kirimkan ke dua wanita sekaligus.

Arvino : "Aku sedang dirumah sakit. Bisa datangin aku? Tidak perlu repot-repot membawa sesuatu karena aku sedang membutuhkan dirimu. Aku ada diruang VIP, pintu nomor 2."

Send Devika, Adila.

🖤🖤🖤🖤

Adila tidak bisa berhenti tersenyum sejak tadi ketika ia mendapat pesan singkat bahwa Arvino sedang membutuhkan. Apakah pria itu mulai menaruh hati padanya? Adila berusaha menormalkan debaran jantungnya ketika saat ini ia melangkahkan kakinya menuju koridor rumah sakit untuk mencari ruang VIP kamar nomor 2. 

Sedangkan Arvino, pria itu tengah bersikap santai sambil duduk di sofa ruangan rawat inap VIP tersebut meskipun rasa kekesalannya saat ini tidak ia tampakkan dibalik raut wajahnya yang tenang.

Arvino menatap Aiza yang saat ini terlihat lemah. Kenyataan mendapati diagnosa dari Devian bahwa Aiza terkena penyakit tifus ditambah dehidrasi selama berjam-jam membuat Arvino marah berkali-kali lipat akibat ulah Devika. 

Masa bodoh dengan Devika meskipun saat ini ia kembaran dari sahabatnya yang bernama Devian. Devika itu benar-benar keterlaluan! Apakah dia berniat membunuh Aiza secara perlahan hingga menyebabkan gadis itu nyaris kehabisan oksigen didalam toilet yang berukuran kecil yang minim celah udara?

"Sayang, kamu harus makan ya? Atau mau Bunda suapin dengan buah Apel?" tawar Ayu penuh harap.

"Aiza, apa yang dikatakan Bu Ayu itu benar. Setidaknya kamu harus isi perutmu." sela Reva lagi yang saat ini ikut menjenguk Aiza bersama Fikri.

"Aku, aku tidak berselera untuk makan." lirih Aiza dengan raut wajah pucat.

Aiza masih syok ketika mendapati kenyataan bahwa Devika lah yang telah mencelakainya. Apakah itu semua terjadi karena beberapa hari yang lalu wanita itu melihat dirinya sedang makan bersama di keluarga Arvino? Inilah yang Aiza takutkan. 

Bagaimana bisa ia menerima sebuah lamaran dari Arvino sedangkan diluar sana masih banyak wanita yang berniat mencelakai dirinya? Pintu terbuka dan munculah sosok Devian yang ditemani oleh suster sambil membawa data rekam medis Aiza dan alat tensi.

"Maaf mengganggu. Saya ingin mengecek keadaan Aiza." ucap Devian dengan sopan hingga akhirnya Ayu, Reva dan Fikri pun menyingkir sejenak.

Sesekali, Devian melirik ke arah Arvino yang sedang sibuk dengan ponselnya hingga pintu pun kembali terbuka. 

Di sanalah Adila berdiri dengan penampilan yang memang cantik sejak lahir. Adila mengucapkan salam dan sedikit heran melihat Aiza yang terbaring di brankar. Ia pikir Arvino yang sakit, dan ternyata ia salah. 

Dan ya, kedatangan Adila membuat Devian gugup apalagi sudah tiga tahun ini ia berusaha mencari perhatian wanita itu meskipun hasilnya selalu nihil.

"Nak Adila sama siapa kesini?" tanya Ayu dan menyambut kedatangan wanita itu sambil memeluknya dan tidak lupa ia mengulurkan punggung tangannya untuk menerima ciuman salam dari Adila.

"Saya kesini sendirian Bun. Em, yang sakit Aiza ya?"

"Iya." Ayu terlihat sedih. "Dia dehidrasi dan terkena tifus-"

"Asalamualaikum." Suara yang berasal dari Devika menghentikan obrolan Ayu dan Adila yang memasuki ruangan VIP tersebut dengan langkah tergesa-gesa namun begitu didepan brankar, raut wajah khawatir tentang Arvino yang sakit hilang begitu saja dan tergantikan oleh raut wajah tidak suka begitu melihat Aiza.

Devika pun menoleh kearah Devian. "Kak Dev, bukankan Kak vino yang sedang sakit?"

"Arvino?" tanya Devian dengan bingung. Ia pun menoleh kearah susternya. "Em sus, duluan saja ya. Nanti saya akan menyusul ke ruang Dokter."

Suster itu hanya mengangguk dan pergi meninggalkan semua yang ada diruangan VIP tersebut. Setelah pintu tertutup, Arvino yang sejak tadi tidak sabar ingin melampiaskan kekesalannya akhirnya beranjak dari duduknya di sofa kemudian berdiri.

"Bukan Aiza yang sakit. Tapi aku." Semuanya pun menoleh kearah Arvino yang kini menatap Devika dengan sinis.

"Kak Vino, sa-sakit apa?" Devika beralih ke Arvino dan ingin mendekat namun dengan kesal Arvino mencegahnya terlebih dahulu.

"Jangan mendekatiku!" bentak Arvino yang membuat seisi ruangan terkejut mendengar suara pria itu dengan lantang yang saat ini terlihat kesal.

"K-kak Vin. A-aku cuma mau tanya Kakak sakit apa?"

"Ck! Khawatir denganku ya?" sinis Arvino pada Devika. "Hati saya yang sakit."

"Kak Vin-"

"Hatiku yang sakit melihat Aiza kamu sakiti! Kamu mencoba mencelakainya dengan cara menguncinya di toilet sehingga menyebabkan Aiza dehidrasi kan?!"

"I-itu, aku- Kak Dev." Devika beralih menatap Devian dan mendapati kakaknya itu terkejut mendengar semua lontaran Arvino yang penuh amarah.

"K-kak Dev, i-itu aku, itu ti-tidak benar. Aku-"

"Masih saja berbohong? Baiklah kalau begitu." kesal Arvino dan langsung mengubungi seorang hacker yang sudah menjadi kepercayaan Ayu dan kebetulan ia mengenalnya.

"Kita lihat saja nanti." sinis Arvino. Situasi terlihat tegang, baik semuanya yang ada diruangan itu tidak ada yang berani berbicara sedikit pun hingga 5 menit kemudian, masuklah sosok pria yang dimaksud Arvino.

"Langsung saja ke intinya." Pria itu mengangguk dan segera membuka laptop kemudian melihatkan semua bukti jika Devika tengah berbicara serius dengan seorang pria yang menyamar sebagai jasa tukang perbaikan Ac. 

Ayu tak habis pikir, padahal 3 hari yang lalu Shin sudah memberitahunya kalau Ac sudah diperbaiki. Tak hanya itu saya, bukti-bukti rekaman cctv yang berhasil diretas oleh kepercayaan Ayu dan Arvino itu semuanya sudah jelas.

Devika terdiam seribu bahasa. Bertepatan saat itu,, seorang bodyguard bertubuh tinggi masuk keruangan itu sambil mengunci tubuh seorang pria yang merupakan suruhan Devika.

"Apa benar kamu disuruh Devika untuk mencelakai Aiza tadi malam?" tanya Arvino dingin. Dengan terpaksa dan ketakutan, pria itu hanya mengangguk pasrah. Arvino tersenyum sinis kearah Devika. "Masih berbohong juga Dev? Bahkan suruhanmu itu saja sudah mengakuinya."

"Kakak, please aku minta maaf sudah melakukannya. A-aku suka sama Kakak sejak kecil dan aku tidak ingin Aiza memiliki Kakak." tangis Devika pun pecah dan Devian pun tidak bisa banyak berkomentar mengingat Adiknya itu memang salah setelah melihat semua bukti yang ada.

"Bawa dia pergi dari sini, setelahnya biar Ibu saya yang menindak lanjuti." ucap Arvino pada seorang bodyguard yang kini hanya mengangguk dan segera pergi dari sana membawa pria tadi.

Arvino beralih menatap Devika. "Jangan menyukaiku. Aku bukanlah pria yang diperuntukkan untuk Dev."

"Kak-"

"Dan aku terlanjur kecewa denganmu. Kamu sudah aku anggap seperti adikku,, tidak sepantasnya dirimu melakukan hal itu Dev."

"Tapi-"

"Pergi dari sini." Arvino menatap kelain. "Kamu harus ingat mulai detik ini jangan berharap apapun dariku. Terutama soal hatiku. Maaf aku tidak menyukaimu. Sejak kecil, aku hanya menganggapmu sebatas adik dan keluarga. Tidak lebih."

Devika pun menangis sambil menundukan wajahnya. Merasa iba, Devian mendekati adiknya dan hendak memegang bahunya namun Devika sudah menepisnya duluan dan pergi dari sana dengan perasaan hancur. 

Tanpa diduga Fikri pun ikut keluar untuk mengejar Devika bahkan mengabaikan Reva yang sepertinya berusaha menahan cemburu melihat Fikri yang sejak dulu menyukai Devika. Hati Aiza saat ini terasa campur aduk. 

Ntah Aiza merasa senang atau sedih, ia sendiri masih bingung harus seperti apa mengingat kondisinya saat ini masih lemah untuk banyak berpikir.

"Dan kamu Adila."

Adila yang sejak tadi banyak berdiam tidak tahu harus berbuat apa, kini menatap Arvino yang sepertinya akan mengatakan hal yang serius dengannya.

"Aku menyuruhmu kemari karena ada hal penting yang ingin aku sampaikan padamu."

Adila dilanda rasa kegelisahan, bayangan tentang Arvino menolaknya sudah membuat hatinya tersayat. Tapi, hanya tawakal kepada Allah saja yang bisa Adila lakukan saat ini.

"Soal apa Mas Vin?"

Arvino sudah memikirkan hal ini matang-matang. Dengan yakin, ia tersenyum tipis "Maaf aku tidak menyukaimu. Sebelum semuanya terlalu jauh, lebih baik aku mengatakannya sekarang. Bun.." Arvino melirik kearah Bundanya.

"Maafkan Vino. Vino menolak perjodohan ini yang sudah berjalan selama 3 tahun. Jangan bertanya kenapa Vino belum bisa meraih hatinya Aiza, karena Aiza terlalu takut untuk menjalin hubungan dengan Vino apalagi diluar sana masih banyak wanita-wanita yang mendekati Vino dan cemburu pada Aiza sehingga berakhir dengan Aiza yang celaka atau bullyan. Maafkan sikap Arvino yang dulunya playboy."

"Vino juga tidak bisa menerima Adila di hidup Vino, karena Vino suka dengan Aiza. Bukan dengan Adila."

Sebuah pernyataan yang begitu menyesakkan didada bagi Adila. Hatinya hancur berkeping-keping. Selama tiga tahun ia menunggu seorang Arvino dan selama tiga tahun pula ia berusaha menarik perhatian pria itu namun, kalau Arvino memang tidak menyukainya ia bisa apa?

"Maafkan aku Adila. Mulai detik ini, jangan berharap apapun denganku. Aku tidak menyukaimu."

Ingin rasanya Adila menangis. Namun, ia berusaha tegar. "Aku tidak apa-apa Mas Vin." senyum Adila. ". Aku minta maaf jika selama ini sudah membuat Mas Vin merasa terganggu."

Ayu merasa iba dengan perasaan Adila karena biar bagaimanapun mereka sama-sama seorang wanita. "Nak Adila-"

"Saya tidak apa-apa Bunda. Bunda tidak perlu khawatir, saya akan menjelaskan semuanya nanti sama Papa dan Mama."

Devian sungguh terkejut mendengar semua lontaran Adila yang begitu tegar. Bukan seperti adiknya yang tadi marah-marah Adila menarik napasnya sejenak. Sejak tadi, ia memperlihatkan senyuman teduhnya dan kini mulai berjalan mendekati Aiza.

"Saya kira yang sakit Mas Vin. Ternyata kamu Za. Cepat sembuh ya." kemudian tanpa diduga, Adila memeluk Aiza secara perlahan dan erat bahkan berbisik ditelinga Aiza.

"Maafin aku jika selama ini sudah membuatmu cemburu. Semua sudah jelas. Mas Vin milih kamu. Bukan milih aku. Semoga kamu bahagia dengannya." bisik Adila dengan tulus namun tidak bisa mengelak jika kedua matanya saat ini mulai memanas.

Sebuah cinta bertepuk sebelah tangan....

🖤🖤🖤🖤

Butuh waktu 3 tahun akhirnya Arvino berani mengambil keputusan untuk memilih siapa...

Terimakasih sudah membaca. Sehat terus buat kalian ya. 

With Love

LiaRezaVahlefi

Instagram: lia_rezaa_vahlefii 🖤