Setelah berakhirnya masa KKN di sebuah instansi pemerintahan kota Samarinda, kini Aiza di sibukkan dengan masa menyusun skripsi.
Skripsi yang Aiza ambil kali ini berjudul tentang semiotika komunikasi. Semiotika merupakan bidang ilmu yang mempelajari tentang tanda, dan melalui tanda itu menjadikan suatu pesan komunikasi secara non verbal.
Saat ini, Aiza berada di sebuah perpustakaan provinsi kota Samarinda untuk mencari bahan materi untuk mengerjakan skripsnya. Suasana terasa hening di ruangan perpustakaan tersebut meskipun terlihat ramai oleh pengunjung yang mayoritas para mahasiswa dan pelajar.
Aiza mengecek jam di pergelangan tangannya. Satu jam lagi ia akan bertemu dengan Arvino untuk melakukan bimbingan konsultasi skripsinya.
Ya Allah, lagi-lagi Arvino. Sepertinya takdir benar-benar tidak berpihak pada Aiza mengingat sebulan yang lalu ketua Prodi di universitasnya memberinya informasi kalau Arvino menjadi Dosen pembimbingnya meskipun ada suka dan dukanya.
Suka disaat bertemu Arvino dengan bimbingannya yang lancar dan duka disaat para wanita menatapnya picik karena Dosen tampan itu sering mendekati Aiza.
Aiza membereskan semua buku-buku kuliah beserta laptopnya dan segera keluar gedung untuk menuju kampusnya. Membutuhkan waktu kurang 15 menit untuk tiba disebuah gedung universitas yang sudah ia pijak selama 3 tahun ini.
"Aiza!"
Suara seorang wanita berhijab bernama Lisa yang merupakan teman satu angkatan dengannya itu memanggil dan Aiza pun segera menoleh.
"Ya?"
"Aku ketemu Kak Dina. Dia lagi nyariin kamu di gedung B ruang 3 tuh."
"Ada apa?"
"Aku tidak tahu." ucap Lisa. "Kesana saja gih, kayaknya penting."
Aiza mengangguk. "Terima kasih."
"Sama-sama. Aku pergi dulu ya." Ucap Lisa sambil meninggalkan dirinya.
Sekali lagi Aiza mengangguk. Ia pun segera menuju gedung B untuk mendatangi Dina yang saat ini sedang menunggunya.
Aiza memeluk erat sebuah skripsi yang akan ia konsulkan dengan Arvino. Pintu ruang nomor 3 terlihat didepan matanya dalam jarak beberapa meter, Aiza pun segera kesana kemudian membuka pintunya- Byur!!!
Seketika Aiza mengalami basah kuyub ketika tanpa diduga sebuah ember kecil yang berisi air menumpahkan dirinya dari atas pintu. Aiza tidak menyangka kalau ia terkena jebakan saat membuka pintu. Suara wanita tertawa dan perkataan sinis akhirnya terdengar.
"Basah ya? Ck kasihan."
Wanita itu mendekati Aiza dan mendorong bahunya dengan kasar. "Eh Adik tingkat! Jangan sok ya jadi cewek."
Aiza terkejut dan masih syok. Bahkan tidak menyangka jika Dina menyakitinya dengan sebuah jebakan."Ma-maksud Kakak apa?" tanya Aiza dan berusaha sabar yang kesekian kalinya.
"Masih nanya juga HAH?! jauhi Pak Arvino! OKE?!"
"Saya tidak bisa menjauhi beliau." ucap Aiza lagi.
"Saya sedang melakukan bimbingan-" Plak!
Satu tamparan keras mengenai pipi Aiza. Kulit wajah Aiza yang memang putih sejak lahir kini meninggalkan bekas merah di pipinya setelah Dina menamparnya. Ia tidak menyangka jika Dina mencarinya hanya untuk menyakiti fisik dan hatinya. Dengan kasar Dina merampas skripsi yang Aiza peluk dari tadi.
"Ini skripsimu? Cih!"
"Kak tolong jangan-"
"Pinjam! Pelit banget sih."
"Tapi-"
Dina tidak menggubris Aiza dan hanya raut wajah sinis saja yang ia tampakkan sambil membanting kasar skripsi tersebut kelantai kemudian menginjaknya. Kedua mata Aiza membulat seketika dan terkejut.
"Ya Allah, apa yang Kakak-"
"Ini balasan buatmu yang masih saja mengelak untuk berdekatan dengan Pak Arvino!"
"Kak Dina! Tolong jangan lakukan." Aiza hendak menunduk dan meraih skripsi tersebut yang telah basah sejak tadi dan saat ini sudah kotor akibat injakan dari Dina namun sungguh disayangkan jika Dina mendorong tubuhnya dengan kasar.
"Jauhi Pak Arvino! Semenjak kehadiranmu dikampus ini, kamu sudah membuat banyak wanita kesal hanya karena dirimu!" Setelah puas mengatakan hal itu, Dina pergi begitu saja dan meninggalkan Aiza yang terdiam sambil menatap skripsinya dengan sendu.
Semalaman Aiza bersusah payah untuk menyusun skripsinya tapi sepertinya, Allah menguji kesabarannya saat ini. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Keperluannya untuk bertemu Arvino sepertinya batal. Mana mungkin Aiza melakukan konsultasi bimbingan skrips pada Arvino dengan kondisi seperti ini kan? Aiza pun segera meraih skripsi tersebut dengan lesu.
"Jangan pulang."
Aiza mendongakkan wajahnya dan mendapati Arvino menjulang tinggi dihadapannya. Sebelum Aiza menyentuh skripsinya, Arvino sudah terlebih dahulu meraihnya duluan dan menuju kursi untuk duduk.
"Maaf Pak. Skripsi saya-"
"Jangan banyak komentar. Sekarang kamu duduk. Ini waktunya kamu konsul skripsimu sama saya."
Aiza menggeleng. "Skripsi saya saat ini sedang tidak layak Pak. Lebih baik saya perbaiki dulu."
"Tidak perlu. Biar bagaimanapun penyebabnya bukan salahmu."
Tanpa Aiza sadari, Arvino yang sebenarnya tidak sengaja melewati ruangan tersebut beberapa menit yang lalu memilih diam dari jarak beberapa meter ketika mendengar suara Dina yang sedang membentak Aiza.
Ini adalah hal yang sudah biasa terjadi selama ini dan Arvino tidak habis pikir kalau Aiza masih saja bertahan dengan hal tersebut. Aiza memilih diam sambil menundukan wajahnya
"Maaf saya tidak bisa menghentikan kalian. Saya tidak ingin kejadian dimasalalu terulang." tambah Arvino seolah-olah mengetahui isi pikirannya.
"Dulu ada dua mahasiswi bertengkar. Saya mendatangi mereka mencoba untuk melerai tapi yang ada saya malah disalahkan dan menjadi penyebab perselisihan mereka. Kamu tahu sendiri kan sejak dulu saya tidak memberi harapan sama mereka? Mereka saja yang terus mendekati saya." lontar Arvino berusaha meyakini Aiza.
Perlahan, Arvino mulai membuka halaman demi halaman skripsi Aiza yang basah. Itu semua adalah hasil jerih payah seorang Aiza dan ia tidak ingin mengabaikan begitu saja sekalipun saat ini kondisi skripsi tersebut memang tidak layak.
"Ini ada yang salah.." Aiza segera menatap Arvino dan kembali menatap skripsnya.
"Eyd tanda baca halaman ini salah. Seharusnya ini pakai huruf kapital. Spasinya jangan terlalu banyak."
Arvino memberi tanda yang salah dengan bulatan menggunakan pulpennya. "Kamu mengambil teori ini dari siapa?"
"Ini saya ambil berdasarkan teori Roland Barthes Pak."
Arvino hanya menggut-manggut mengerti. Ia kembali membuka halaman demi halaman berikutnya.
"Ini juga ada yang salah." tunjuk Arvino pada halaman berikutnya. "Semiotika harus lengkap dalam penjabarannya. Ini kamu persingkat ya?
Aiza mengangguk dan membuat Arvino kesal. "Skripsi jangan di singkat. Semua harus lengkap. Perbaiki lagi, Eyd dan lain-lain!" dan Arvino tetap konsisten dalam urusan profesinya meskipun ia menyukai Aiza bahkan tetap menyalahkan bila Aiza memang salah.
Aiza mengangguk. "Maafkan saya Pak."
"Segera perbaiki dan setelah itu hubungin saya kalau sudah selesai."
Arvino segera menutup skripisnya karena konsul tersebut akhirnya berakhir. Arvino menatap Aiza yang sedang sibuk membereskan perlengkapan buku-buku kuliahnya.
"Aiza."
"Ya Pak?"
"Saya minta maaf."
Aiza menghentikan niatnya yang ingin beranjak dari sana. "S-soal apa pak?" Tanya Aiza gugup.
"Saya sudah kasar dan berkata lantang sama kamu."
Aiza menggeleng. "Bapak tidak seperti itu."
"Saya minta maaf karena tadi berkata lantang saat melakukan bimbingan skripsi denganmu. Sebenarnya saya tidak tega tapi saya hanya bermaksud bersikap profesional sesuai profesi saya."
"Saya mengerti Pak. Kalau begitu saya permisi."
Aiza hendak pergi namun sebuah cekalan di pergelangan tangannya membuat Aiza terhenti.
"Jangan pergi."
"Pak. Saya-"
"Tetaplah bersamaku Aiza, jangan pergi." Aiza tidak bisa menahan debaran jantungnya saat ini. Perkataan Arvino, cara dia menggenggam tangannya bahkan tatapannya membuat sekujur tubuh Aiza panas dingin.
"Maaf. Maafkan saya. Saya harus pergi." Aiza melepaskan tangan Arvino dan pergi namun sungguh disayangkan jika Arvino kembali menghadang dirinya.
"Apa kamu masih bersikap keras kepala denganku Aiza? Aku memintamu jangan pergi!"
"Kenapa?" lirih Aiza karena ia merasa frustasi dan dilema antara ketakutan dan bahagia menjadi satu.
"Karena aku mencintaimu."
"Aku tidak pantas untuk Bapak. Aku-"
"Kamu wanita yang pantas untukku." Arvino melangkahkan kakinya, mendekati gadis itu secara perlahan dan Aiza tidak sedikitpun menghindar hingga jarak diantara keduanya sudah semakin sedikit.
"Dan kamu adalah wanita yang pantas aku bahagiakan. Hargai aku Aiza. Aku sudah berusaha untuk memperjuangkanmu. Apakah tidak ada sedikitpun rasa kebahagian yang kamu rasakan karenaku? Apakah tidak ada sedikitpun kamu menghargai usahaku? Kenapa kamu selalu menghindar Aiza kenapa? Kalau kamu bahagia denganku dan kalau kamu memang mencintaiku kenapa kamu menjauhiku? Apa karena semua wanita itu?"
"Aku, a-aku.." Aiza sudah tidak mampu berkata-kata lagi. Apa yang dikatakan Arvino benar. pria itu sudah berusaha selama tiga tahun memperjuangkannya. Tapi kenapa ia tidak menghargai usaha pria itu selama ini? Merasa tidak bisa menjawab, Aiza menundukkan wajahnya.
"Jangan takut." Sentuhan jari Arvino yang berada didagunya membuat kedua mata mereka saling bertemu dan bertatap dalam diam ketika Aiza mendongakkan wajahnya.
"Tidak ada yang perlu ditakutkan kecuali Allah."
Kedua mata Aiza memanas. Ia mencintai Arvino begitu dalam hingga ia berusaha menahan rasa egois untuk tidak menerima pria itu ketika diluar sana masih banyak para wanita yang mencoba mengharap cinta dari Arvino.
Sebulir air mata mengalir begitu saja dipipi Aiza dan Arvino pun menghapus dengan jarinya.
"Aku mencintaimu Aiza. Aku sangat-sangat mencintaimu. Cuma kamu satu-satunya wanita yang aku inginkan."
"Ta-tapi, aku-" Tanpa diduga, Sebuah ciuman lembut di kening Aiza yang berasal dari Aiza membuat gadis itu terdiam dan tidak bisa berkata-kata lagi. Ia tidak menyangka jika Arvino akan mencium keningnya dengan segenap hati dan perasaan bahkan membuat hatinya dipenuhi rasa haru. Perlahan, Aiza pun membalas memeluk Arvino-
"Astaghfirullah."
Aiza terbangun dalam tidurnya dengan peluh di dahinya yang begitu banyak. Napasnya tersengal-sengal bahkan debaran jantungnya begitu kencang. Aiza menoleh kearah dinding ketika jam menunjukan pukul tiga pagi.
Aiza menghela napasnya. Sudah satu minggu ia melakukan sholat istikharah dan sudah tiga kali mimpinya bersama Arvino hadir begitu saja dengan situasi dan alur yang berbeda. Dan ya, mimpinya barusan mengatakan jika Arvino tidak ingin ia pergi.
Aiza berusaha sabar. Ia merasa bingung sendiri dengan hatinya. Kedilemaan, ketakutan dan keinginannya untuk bisa bersama Arvino menjadi satu dalam hati dan pikirannya.
Semua tidaklah mudah. Ia sangat mencintai namun bayangan Devika yang pernah mencelakainya membuat kedua air mata Aiza lirih begitu saja.
"Ya Allah sungguh hamba begitu mencintai Arvino tapi mengapa hamba begitu takut?" lirih Aiza.
Hatinya tertekan. Ia begitu mencintai Arvino tapi tidak bisa berbuat apapun. Dan lagi, dalam keheningan malam Aiza hanya bisa menangis untuk kesekian kalinya ketika ia mencintai Arvino dalam diam.
🖤🖤🖤🖤
Hai, Assalamualaikum ...
ikutin saja alur cerita ini ya. Mohon bersabar seperti karya-karya sebelumya karena mencintai dalam diam itu tidak semudah untuk mengucapkan kata jatuh cinta seperti sikap yang di miliki seorang Aiza. Semoga kalian bisa memakluminya dan bersabar :)
Terima kasih.