Aiza masih sesenggukan dalam isakan tangisnya. Kepergian Arvino benar-benar membuatnya terluka ketika beberapa menit yang lalu pria itu meninggalkan didalam kelas. Dari jarak beberapa meter, Reva menatapnya sendu kemudian melangkahkan kakinya menghampiri Aiza dan bersimpuh. Aiza sudah tidak bisa menyembunyikan kesedihannya ketika Reva memeluknya.
"Aku tau bagaimana perasaanmu."
Aiza terus menangis terisak didalam pelukan Reva. Perasaanya begitu sesak dan ia merasa lelah selama tiga tahun ini harus menahan cemburu dengan wanita lain.
"Tapi kamu harus bersyukur Aiza." bisik Reva. "Ada seorang pria yang begitu mencintaimu dan serius ingin meminang kamu. Tidak sepertiku. Yang hanya bisa menyukai seorang pria tapi hatinya memilih ke wanita lain."
"Ta-tapi.. hiks, Reva aku, aku harus bagaimana? Aku, aku takut jika-"
"Untuk apa kamu takut Aiza? Untuk apa?" Reva melepaskan pelukannya pada Aiza kemudian membantu gadis itu berdiri. "Ini hubungan kamu sama Pak Arvino. Bukan sama orang lain. Untuk apa kamu memperdulikan mereka? Segera hapus rasa ketakutan kamu sebelum semuanya benar terlambat. Mungkin kamu tidak menyadarinya, jauh sebelum kamu memasuki universitas ini, seorang Arvino tidak pernah mengejar wanita dan kamu adalah satu-satunya seorang wanita yang ingin diraihnya. Selalu ingat semua perjuangan dia untuk kamu sehingga kamu bisa menerima dia, menerima cintanya dan setidaknya kalian bisa berbahagia. Jangan terus saling menyakiti diri sendiri. Masih banyak diluar sana orang-orang yang saling mencintai namun sulit untuk bersama."
🖤🖤🖤🖤
Aiza terdiam dan terlihat melamun memikirkan semua ucapan Reva tadi siang. Meskipun saat ini ia sedang bekerja, tetap saja semua itu tidak menjamin tentang semua isi hati dan pikirannya bisa teralihkan.
Aiza mengecek jam di pergelangan tangannya. Sebentar lagi jam tutup minimarket akan tiba. Situasi datang bulan yang terjadi pada dirinya lagi-lagi membuat Aiza mengeluarkan air matanya karena kegalauan hatinya.
"Kamu dibayar untuk bekerja. Bukan melamun apalagi menangis."
Suara seorang pria membuat Aiza terkejut dan kembali ke dunia nyatanya ketika pria tersebut adalah Alex.
"Ini."
Aiza terkejut mengetahui ada seorang pria yang ia kenal tepat berada didepannya sambil mengulurkan sapu tangan. Aiza menggeleng dengan lemah. Ia menghapus dengan cepat air mata di pipinya kemudian meraih dua kaleng minuman bersoda milik Alex yang akan dibayarkan kekasir.
"Tidak. Terima kasih."
Dan pria itu kembali memasukkan sapu tangannya kedalam saku celananya. Ia memaksakan senyumnya ketika Aiza menolak secara halus uluran sapu tangannya. Disisilain, Aiza juga tidak ingin berakhir dengan mengembalikan sapu tangan tersebut apalagi bertemu dengan Alex.
"Maaf jika kedatanganku mengejutkanmu walaupun saya bela-belain membeli sesuatu di minimarket sini." lontar Alex. "Tadi siang saya ada singgah ke kampus kamu. Cuma mau memberi ucapan selamat pada teman saya. Dia baru saja menyelesaikan seminar skripsi. Setelah selesai, niatnya sih mau pulang. Tapi saya.."
Alex terlihat salah tingkah sambil mengusap ujung alisnya. "Saya gak sengaja dengar percakapan kamu dengan dosen kamu diluar kelas sewaktu saya melewatinya."
Aiza menatap Alex. Sepertinya Alex mendengar semuanya dan hal itu membuat Aiza malu karena baginya hubungan antara Arvino dan dirinya adalah sebuah aib atau privasi. Hanya Allah dan mereka saja yang tahu.
"Maaf. Totalnya 12.000." ucap Aiza dan berusaha mengalihkannya.
Alex hanya mengeluarkan uang tunai dan menyerahkannya pada Aiza. "Saya harap kakak iparmu sudah menceritakan semuanya padamu."
Aiza berusaha fokus. Namun lagi-lagi ia tidak bisa.
"Mungkin kamu sudah lupa sama saya. Tapi saya tidak akan pernah lupa sama kamu. Termasuk tentang pertemanan kita sejak dulu."
Aiza masih diam dan Alex memperhatikan raut wajah Aiza. Mencoba mencari reaksi yang akan ditunjukkan oleh Aiza setelah mendengar ucapannya. Seperti yang sudah-sudah, Aiza tetaplah seorang gadis yang pendiam dalam merespons suatu hal.
"Tapi saya bersyukur. Setidaknya kamu sehat dan sudah pulih dari amnesiamu meskipun pada akhirnya kamu tidak ingat sama saya. Apalagi sejak pertama kalinya kita kembali bertemu saat kamu magang di kantor saya beberapa bulan yang lalu."
"Maafkan saya." hanya itu respon yang diberikan Aiza dan menyerahkan dua kaleng bersoda pada Alex yang sudah Aiza kemas.
"Tidak apa-apa. Karena kebetulan kita ketemu, lebih baik saya bicarakan sekarang hal penting ini."
Aiza merasa was-was. Ia mulai mempersiapkan hatinya yang sepertinya Alex akan berucap sesuatu yang akan membuatnya terkejut.
"S-soal apa Pak?"
"Minggu depan liburan semester. Saya harap kamu bisa pulang ke rumahmu di Balikpapan. Saya dan kedua orang tua saya akan berkunjung kerumahmu."
"Untuk apa?"
Alex menyunggingkan senyumannya. "Saya suka sama kamu. Saya akan melamar kamu dan saya sudah membicarakan hal ini dengan Naura."
"A-apa?
🖤🖤🖤🖤
Hari sudah berganti. Sudah seminggu berlalu semenjak kejadiannya bersama Arvino yang meninggalkan didalam kelas. Aiza semakin terpuruk dan ia dilema untuk pulang kerumahnya di Balikpapan atau tidak. Naura menyuruh Aiza pulang setiap liburan semester dan Aiza bimbang apalagi Alex akan kerumahnya.
Sekarang, berhubung libur semester nya akan tiba, Aiza berinisiatif melakukan jadwal bimbingan skripsinya bersama Pak Doni yang akan dilakukan hari ini.
Aiza berjalan lesu. Sejak tadi ia merasa gelisah dan ia merasakan ada sesuatu yang hilang didalam hatinya..
Arvino.
Nama pria itu sudah melekat dihatinya sejak sekian lama. Sangat susah untuk dihilangkan begitu saja atau selamanya akan terukir dihatinya sampai kapanpun.
Dari kejauhan, Arvino menatap Aiza dengan sendu yang kini berada didepan matanya. Ia sangat-sangat merindukan Aiza. Sudah lama ia tidak melihat gadis itu. Namun ia bisa apa jika Aiza sudah menolaknya?
Berusaha untuk santai, Arvino melangkahkan kakinya untuk menuju ruangan hingga akhirnya, Aiza yang sejak tadi menundukan wajahnya kini beralih menatap ke depan ketika kedua matanya menatap Arvino dari kejauhan.
Pandangan mereka saling beradu dalam diam. Rasa rindu membuncah dihati Aiza. Sudah lama ia tidak melihat pria itu meskipun hampir setiap hari ia memikirkannya.
Berusaha tenang, Aiza melanjutkan langkahnya hingga posisi mereka sudah semakin dekat. Arvino tau, dibalik sikap Aiza yang pendiam.. ia berharap gadis itu akan menegurnya meskipun hanya sebatas soal materi kuliah ataupun bimbingan skripsinya. Ia tidak bisa berbohong ketika saat ini ia juga merindukan suara Aiza.
Disisilain, Aiza tau mungkin saat ini Arvino marah padanya, kecewa dengannya, bahkan lelah terhadapnya dirinya. Namun, dengan hal yang sama ia berharap Arvino akan menegurnya meskipun hanya sebatas hal-hal yang berhubungan dengan bimbingan skripsinya.
Jarak mereka semakin dekat dan Aiza semakin mencengkram erat materi skripsinya yang saat ini ia peluk didepan didadanya. Jantungnya berdebar sangat kencang.
Tapi.
Harapan itu musnah. Arvino tidak menegurnya sama sekali saat melewatinya. Pria itu tetap berlalu bahkan mengabaikannya seperti orang asing. Aiza semakin mempercepat langkahnya ketika Arvino sudah melalui dirinya. Kedua matanya memanas.
Arvino benar. Ia sudah menyakiti dirinya dan Arvino secara bersamaan. Disislain, perasaan Arvino hancur mendapati kenyataan jika Aiza mengabaikannya dan tidak menegurnya. Seharusnya ia sudah tau. Seharusnya ia sudah mengerti. Mungkin memang benar. Aiza memang tidak menginginkannya.
🖤🖤🖤🖤
"Kali ini skripsi kamu sudah benar."
suara Pak Doni membuat Aiza menghela napasnya dan bersyukur. Akhirnya, setelah penantiannya yang panjang dan segala usahanya.. skripsi Aiza pun disetujui oleh Pak Doni.
"Alhamdulillah, terima kasih Pak."
Rasa syukur tak terkira didalam hati Aiza. Untuk sejenak, ia melupakan rasa sedih dan kegalauan dihatinya. Namun hanya sesaat ketika ia melupakan satu hal penting.
"Ini sudah saya ACC, sekarang tugas kamu mendatangi Pak Arvino."
Raut wajah yang tadinya tersenyum lega, kini kembali meredup. Pak Doni menyadarinya dan menegur Aiza.
"Ada apa? Masih ada yang kurang?"
"Eh?" buru-buru Aiza menggelengkan kepalanya. "Ti-tidak ada pak. Em baiklah saya akan menemui Pak Arvino."
"Baiklah. Semua semua sudah selesai. Setelah mendapat persetujuan dari Pak Arvino jangan lupa ke Prodi ya untuk meminta jadwal seminar skripsimu sekaligus ruangannya."
"Baik pak. Saya mengerti. Terima kasih."
Pak Doni hanya mengangguk dan segera beranjak dari duduknya bertepatan saat Aiza mulai membereskan skripsinya dan membawanya sambil memeluk didepan dadanya kemudian segera meraih ponselnya untuk menghubungi Arvino.
Untuk sementara, ia akan mencoba mengesampingkan urusan pribadi dengan urusan skripsiannya didepan Arvino nanti. Namun, lagi-lagi ia menghentikan niatnya ketika baru menyadari bahwa Arvino tidak memiliki ponsel beberapa bulan yang lalu setelah memberinya dengan suka rela pada perampok dimalam hari saat berusaha menolongnya.
Mungkin Arvino sudah memiliki ponsel baru, atau mungkin nomor ponsel baru dan Aiza merutuki kebodohannya jika selama ini ia tidak meminta nomor ponsel tersebut meskipun Arvino sudah memberinya jadwal bimbingan skripsi yang diperuntukkan khusus dirinya jauh sebelum insiden kerampokan itu terjadi.
"Ini jadwalnya saya khususkan untuk kamu. Jadi kamu gak perlu repot-repot hubungin saya. Saya juga akan simpan catatan ini dalam bentuk salinan. Nanti, kalau jadwal bimbingan skripsinya tiba, kita bisa ketemuan diruangan saya. Jam 09.00 pagi. Nah kalau ada keperluan dadakan yang sekiranya ditunda, saya akan hubungin kamu. Kamu tenang aja. Jadwal ini gak bentrok kok sama mahasiswa lainnya. Spesial buat calon istri kesayangan saya. Saya gak pernah loh kasih jadwal begini sama mahasiswa lain. Cuma sama kamu."
Aiza mengingat semua ucapan Arvino dan hal itu membuatnya tersenyum sendiri. Hanya sebentar karena pada akhirnya ia menyadari satu hal bila itu semua hanyalah sesaat.
Tanpa membuang waktu lagi, Aiza segera menuju ruangan Arvino dan berharap jika pria itu masih ada disana untuk menyetujui skripsinya agar ia bisa mengurus kelanjutannya di prodi untuk jadwal seminar skripsinya.
Pintu ruangan dosen Arvino sudah berada didepan matanya. Pintu ruangan yang kali ini tidak tertutup dan hanya terbuka setengah. Tanpa ragu, Aiza segera memasukinya dan-
Brak!
Aiza menjatuhkan skripinya begitu saja di lantai kelas dan membulatkan kedua matanya tidak percaya. Ia terkejut. Hatinya sesak, bahkan air matanya kembali meluruh tak di inginkan. Aiza tak mampu berkata.
Arvino terkejut ketika melihat Aiza berada didepan matanya disaat situasi yang tidak tepat.
"A-aiza, A-aku. Aku bisa jelaskan. Ini-"
Aiza terlalu syok dengan apa yang ia lihat.. dengan tubuh gemetar, Aiza memundurkan langkahnya kemudian membalikan badannya untuk segera keluar. Bahkan, ia meninggalkan skripsinya begitu saja yang ia jatuhkan di lantai.
"Aku.. aku salah, a-aku menyesal. i-ini semua salahku. A-aku, hiks.. aku terlambat menyadari dirinya yang sekarang sudah memiliki wanita lain." isak Aiza penuh pilu sambil berlari meninggalkannya kampusnya.
Arvino panik. "Aiza. Aku bisa jelaskan-AIZA TUNGGU!" Arvino pergi meninggalkan seorang wanita yang bersamanya, dialah Kumala. Kumala merasa marah dan tidak terima. Kumala mengepalkan kedua tangannya
"Awas saja kamu Aiza! Kita lihat saja nanti apa yang akan terjadi! Kamu benar-benar gadis pembawa sial!"
Kumala pun pergi dengan amarahnya yang terpendam. Segala cara dan rencana jahat mulai memenuhi isi pikirannya kemudian segera mengeluarkan ponselnya. "Aku butuh bantuanmu! Ini tentang gadis itu, aku mau kamu mencelakainya!"
🖤🖤🖤🖤
Nah kan, sekarang Aiza nyesel.
Penyesalan itu memang datangnya selalu belakangan..