Keesokan harinya.
Suasana akrab ditambah dengan aroma bumbu dapur beserta aroma makanan yang sudah masak akhirnya selesai. Saat ini, Aiza dan Ayu pun tengah membuat menu makanan cemilan seperti kue blackporest dan puding mangga kesukaan Arvino.
Jam menunjukan pukul sebelas siang dan sebentar lagi Arvino akan tiba untuk makan siang bersama keluarga tersebut.
Azka pun memilih duduk di kursi meja makan sembari menunggu semua makanan terhidang didepan matanya sambil membaca komik andalan sambil mengusir rasa kebosanannya.
Lalu satu jam kemudian, semuanya terhidang diatas meja makan. Diseberang Aiza, sudah ada Arvino yang tiba lima belas menit yang lalu dan tengah lahap menyantap masakan buatan Ayu dan Aiza yang begitu lezat.
"Lahap banget sih makannya, tumben sudah habis dua piring." goda Ayu pada Arvino sambil melirik kearah Aiza yang sejak tadi fokus menyantap makannya dalam diam.
"Masakannya enak Bun." lontar Arvino disela-sela kunyahan makanannya.
"Oh ya? ini semua Aiza loh yang masak. Bunda bagian motongin sayurnya aja. Sedangkan Aiza, dia yang memasak sampai mencicipi cita rasanya. Bunda salut banget sama calon mantu bunda ini. Sudah baik, Solehah, Pintar masak pula. Kapan sih kamu mau jadiin Aiza mantu bunda beneran?"
Aiza mengentikan kunyahannya. Tak hanya Aiza, Arvino pun juga melakukan hal yang sama. Ia menatap bundanya dan memberanikan diri menatap Aiza yang terlihat terkejut oleh lontaran Ayu yang begitu santai. Tidak mau terlihat kikuk, Aiza pun hanya menyunggingkan senyum kecilnya sebagai tanda kesopanannya pada Ayu kemudian melanjutkan makanannya dengan perasaan campur aduk.
Azka pun berdeham "Kemarin Ayah liat anak bayi lahir kembar enam. Lucu banget gak sih." Azka terdiam sejenak. Ia sadar jika semuanya saat ini sedang menatap kearahnya dengan mengerutkan dahi dan sedikit terkejut.
Arvino mendengus kesal karena Ayahnya itu sering menyampaikan hal-hal yang aneh. Ada-ada saja Ayahnya itu. "Mana ada bayi lahir kembar sekaligus enam anak Yah."
"Ada."
"Dimana?" sambung Ayu pada suaminya oleh raut wajah berbinar. "Kok Bunda jadi pengen si Vino lamar Aiza dan segera hamilin Aiza ya? Bunda-"
Aiza tersedak disaat mengunyah makanannya. Ia terbatuk-batuk sambil memukul-mukul dadanya sendiri kemudian meraih segelas air putih.
"Aduh cah ayu, pelan-pelan dong makanya. Kalau tidak bisa pelan-pelan nanti Bunda suapin deh." Aiza menenggak minumannya hingga tandas kemudian mengatur napasnya yang terasa sesak dan tersenyum miris.
"Em, tidak perlu Bun makasih. Saya bisa makan sendiri kok."
"Hamilin Aiza ya?" Arvino menampakan raut wajah smirknya. "Boleh. Sekarang juga bisa. Tuh kamar Vino dilantai atas lagi kosong buat hamilin Aiza sebagai saksi bisu. Ayo Za kita keatas." tanpa diduga, Arvino berdiri dari duduknya seolah-olah sedang mengajak Aiza pergi bermain bagaikan anak-anak.
"Hush! Kamu ini ya. Tidak boleh! Nikah dulu baru bikin cucu buat Bunda. Iya kan Aiza?"
"Ha?"
Aiza mengerjapkan kedua matanya dengan bingung dan pikirannya sedikit linglung apalagi omongan Ayu barusan membuatnya tidak nyaman hati. Arvino terbahak-bahak melihat ekspresi Aiza yang begitu polos dan memilih duduk kembali meskipun sebenarnya ia tadi hanya bercanda semata-mata hanya untuk menggoda Aiza. Bahkan saat ini, Aiza merutuki kepolosannya dengan raut wajahnya yang merona merah.
Azka menyela. "Sudah-sudah jangan bikin Aiza jadi tidak enak hati. Tu lihat, pipinya saja memerah karena kamu Vin."
"Sudah biasa Yah. Sejak pertama kali bertemu 3 tahun yang lalu bahkan sampai sekarang pun Aiza memang begitu didepan Vino. Lagian Ayah ada-ada saja sih, mana ada bayi kembar lahir sebanyak enam anak."
Azka terbahak. Padahal ia hanya bercanda sejak tadi. Dan suasana keakraban pun sangat terasa meskipun tanpa adanya Fikri yang saat ini sedang tidur dikamarnya setelah semalaman suntuk mengerjakan skripsiannya.
"Ngomong-ngomong kapan nih kamu minang Aiza? Sudah tiga tahun loh Vin. Masa pria setampan kamu tidak berhasil mendapatkan Aiza sih? Kalah dong sama Ayah waktu jaman muda." Ucap Azka santai dengan pertanyaan yang menohok pada putranya.
Azka pun kembali menatap kearah Aiza ." Aiza, kamu maukan jadi menantu Ayah?"
"Eh?"
"Arvino sudah mapan. Tampan. Dia dosen dan sudah tiga tahun jalanin usaha bisnis properti loh. Masa kamu gak mau sih? Tuh, kamar Vino diatas udah on going buat saksi bisu kalau kalian bikin cucu nanti buat Bunda." harap Bunda sambil tersenyum manis.
Arvino menyela. "Bundaaaaaaa-"
"Gimana Aiza?" Azka menyeruput secangkir teh dan mengabaikan selaan Arvino "Kalau kamu menerima Arvino, Ayah sama Bunda bersedia datangin keluarga kamu di rumah supaya Arvino bisa melamarmu. Kamu tinggal di Balikpapan kan? Tenang saja. Perjalanan Samarinda ke Balikpapan cuma 2 jam kok."
Aiza menatap Azka sesaat ketika pria paruh baya itu meletakan secangkir tehnya diatas meja. Aiza dihadapkan dilema. Arvino sudah melamarnya selama tiga tahun ini dan sekarang, orang tua pria itu memintanya menjadi menantunya bahkan tidak tanggung-tanggung bersedia mendatangi rumahnya di kota Balikpapan. Oh ayolah, bukankah ini kesempatan yang baik? Tapi. Bayangan tentang para wanita yang menyakitinya itu membuatnya kembali dilema. Hatinya terasa sedih dan sesak karena tidak mudah untuk menerima semua kebahagiaan yang ia harapkan sejak dulu.
"Assalamualaikum, hai semuaaaa." Suara seorang wanita hadir begitu saja keruang makan kediaman orang tua Arvino saat ini. Semua yang ada diruangan itupun menoleh kearah sumber suara yang ternyata berasal dari suara Devika dan terlihat sedang membawa goddy bag berisi oleh-oleh dari liburannya.
Ayu pun tersenyum menyambut kedatangan "Devika?"
"Haiiiii Bun, aaaa Dedev kangen."
Aiza menatap Devika yang kini menghampiri Ayu kemudian memeluknya. Ada rasa tidak rela didalam hatinya namun sebisa mungkin Aiza menepisnya. Ia tidak boleh bersikap egois dan hanya berpositif thinking kalau Ayu memang welcome pada siapapun terutama sama anak perempuan.
"Ya Allah, kamu cantik banget sih.. Bagaimana liburan kamu?"
Devika tersenyum manis. "Alhamdullilah lancar Bun. Ini Devika bawa oleh-oleh buat Ayah, Bunda dan Kak Vino."
Ayu hanya tersenyum manis. Sementara Arvino, pria itu hanya menghedikan bahu tidak perduli karena sudah terbiasa dengan pemandangan itu sejak dulu.
Tapi, senyum yang sedari tadi mengembang di bibir Devika pun lenyap begitu saja saat ia melirik ke arah Aiza yang sedang memakan potongan pudding. Aiza terlihat tidak berani menatap Devika. Kehadiran Aiza benar-benar membuat hati Devika panas.
Inilah yang ditakutkan Aiza ketika jatuh cinta sama Arvino, bagaimana ia bisa menerima Arvino jika diluar sana masih banyak wanita-wanita yang tidak rela bahkan menyakitinya ataupun membullynya? Contohnya Devika saat ini.
Suara Azka yang berdeham membuat Devika menoleh kearah pria paruh baya itu. "Kamu sudah makan? Ayo Dev makan bareng disini. Kebetulan yang masak calon mantu Om Azka hari ini."
"Apa? Calon mantu? Ini tidak bisa di biarkan!" kesal Devika dalam hati.
Mencoba menutupi rasa kesal dan bencinya pada Aiza, Devika menolak dengan halus tawaran Azka. "Maaf Om Azka, Dedev sudah kenyang. Dedev kesini cuma mau antar oleh-oleh buat Bunda, Om Azka dan Kak Vin."
Azka hanya manggut-manggut mengerti. Berbeda dengan Arvino yang saat ini memilih memainkan ponselnya setelah perutnya terasa kenyang.
Akhirnya, Devika pun memilih pamit setelah berbasa-basi dan segera keluar meninggalkan keluarga tersebut sambil merogoh ponselnya ketika sudah berada dihalaman rumah besar itu.
"Halo. Ini aku, Devika."
"..."
"Ini hal penting dan aku butuh bantuanmu."
"...."
"Soal Aiza. Aku ingin mencelakainya dan memberinya perhitungan." sinis Devika dengan tatapan amarahnya.
🖤🖤🖤🖤
Kira-kira Devika mau ngapain sih 😥 jdii cemas 😭
Terimakasih sudah membaca. Sehat terus buat kalian ya.
Terimakasih.
With Love
LiaRezaVahlefi
Instagram: lia_rezaa_vahlefii 🖤