Tebak-tebakan jodoh.
Pria memakai sarung dan baju kemeja koko berjalan setengah cepat keluar dari majelis di area pesantren miliknya. Beberapa detik yang lalu, seseorang memberitahunya jika ada tamu yang ingin bertemu dengannya.
Ustadz Uwais al-Qarni namanya. Pemuda tampan berusia tiga puluh dua tahun pemilik Pondok Pesantren As-Salam di daerah kota Tangerang. Usianya sudah matang, namun ia belum memiliki pendamping hidup yang mengisi penuh relung hatinya.
"Siapa yang ingin bertemu denganku? Apakah Pak Husein?" tanya Ustadz Uwais pada khodimnya (Khodim=pembantu/asisten pribadi).
"Bukan, Aa. Sepertinya orang baru," jawab khodimnya.
"Baik. Sudah kau layani dengan benar?" tanya Ustadz Uwais.
"Alhamdulillah sudah, A. Sudah saya sediakan minum serta camilannya," jawab khodim yang bernama Jamal.
"Khair." Ustadz Uwais berkata sembari menepuk kecil punggung khodimnya.
Sementara itu di ruang tamu khusus, terlihat tiga orang yang sedang menunggu sang Ustadz tampan yang memiliki kemampuan mengobati penyakit ghaib dan semacamnya. Mereka adalah Safira, Ibu Kartika dan Ayah Usman.
"Tempatnya enak, ya, Bu. Terasa tenang dan damai," ucap Safira sembari mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru ruangan.
Bu Kartika mengangguk seraya tersenyum, "Ya, Nak. Namanya juga rumah Kiyai. Apalagi ini area pondok pesantren. Pasti sangat tenang dan nyaman karena banyak yang mengaji," balasnya yang juga merasa tenang dan damai ketika berada di tempat itu.
"Kamu mau menjadi salah satu santri di pondok pesantren ini, Fira?" celetuk Ayah Usman bertanya sembari tersenyum meledek.
Safira mendelikan matanya dan tersenyum kecil, "Fira 'kan sudah tua, Yah. Sudah bukan gadis tujuh belasan lagi. Mana mungkin Fira menjadi santri di sini," protesnya.
"Memangnya kenapa? Siapa tahu kau menjadi salah satu penghuni di pesantren ini setelah kau bertemu dengan Ustadz Uwais," seloroh Ayah Usman sembari tersenyum usil.
Safira terdiam dan hanya memutar bola matanya.
"Kenapa lama sekali ya, Yah?" ucap Ibu Kartika yang kini tampak gelisah.
"Sabar. Mungkin sedang mengajar ngaji," balas Ayah Usman.
"Yah, Bu, Fira mau lihat-lihat ke luar, boleh tidak?" tanya Safira.
"Mau ke mana? Memangnya kau tidak malu pada santri-santri di sini?" Bu Kartika menatap penuh selidik pada putrinya.
"Malu? Memangnya Fira mau ngapain? Joged-joged? Astaga. Fira 'kan hanya lihat-lihat saja. Lagipula, Ustadz nya belum ke sini juga," protes wanita cantik itu dengan bibir yang manyun.
"Hmmm, begitu saja ngambek anak Ayah ini," ledek Bu Kartika sembari tersenyum usil.
"Loh, bukannya anak Ibu juga, ya?" seloroh Pak Usman sembari memencengkan bibirnya.
"Iya juga sih, anak Ibu dan Ayah." Bu Kartika menjawab sembari menggaruk pelipisnya yang sama sekali tidak terasa gatal.
"Hmmm, kalau tidak ada yang mau mengakui Fira. Ya sudah, Fira akan tinggal saja di pesantren ini," celetuk Safira dengan tingkahnya yang manja.
Bu Kartika dan Ayah Usman tampak tersenyum kecil dan saling beradu pandang.
"Sudah ah, Fira mau lihat-lihat dulu ke luar. Siapa tahu dapat jodoh di sini. Hihihi," kelakar Safira sembari cekikikan ceria.
"Aamiin. Kalau kamu dapat jodoh di sini, berarti jodohmu santri, Fir," kata Bu Kartika.
"Itu lebih baik, Bu. Ayah akan setuju sekali kalau Fira sampai nikah dengan santri. Siapa tahu nanti jadi Kiyai besar dan punya pondok pesantren seperti Aa Ustadz Uwais ini," timpal Ayah Usman yang terdengar semangat empat lima.
Safira tampak terkekeh mendengar celotehan Ayah dan Ibunya. Tentu saja ia hanya bicara asal dan bercanda, "Hehehe. Sepertinya Ayah terlalu berlebihan, deh. Mana mungkin Fira dapat jodoh santri. Fira 'kan tidak pernah menjadi santriwati. Agaknya kurang cocok dan kurang pantas saja jika wanita seperti Fira yang kurang pandai dalam ilmu agama, mendapat jodoh kalangan santri," celotehnya panjang lebar.
Bu Kartika dan Ayah Usman tampak tersenyum dan saling beradu pandang. Keduanya sangat merasa senang karena kini putri tunggal mereka sudah kembali ceria dan banyak bicara seperti semula.
"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Fira. Soal jodoh, siapa yang tahu? Bukan tidak bisa kau memiliki jodoh seorang santri jika Allah sudah menghendaki." Bu Kartika berkata dengan nada yang serius.
"Ya, benar yang dikatakan Ibumu, Fira. Jodoh itu sungguh rahasia Allah. Baik atau buruknya dirimu, itu bagaimana Allah yang ingin memberikanmu jodoh. Kita sebagai manusia tidak bisa menawar ataupun menebak." Ayah Usman menimpali dan mendukung ucapan istrinya.
Safira tampak manggut-manggut tanda mengerti. Ya, soal jodoh di tangan Tuhan, ia sungguh sudah fasih menghafalnya. Sudah tahu dan paham perihal itu semua.
"Ya sudah, bagaimana Allah saja." Wanita cantik itu berkata sembari tersenyum malu-malu, "Kalau gitu, Fira izin ke luar sebentar, ya. Siapa tahu ada tempat yang indah untuk swafoto. Hehehe," lanjutnya meminta izin.
Bu Kartika tersenyum manis serta mengangguk, "Ya sudah sana. Tapi jangan lama-lama, ya. Nanti kalau Aa Ustadznya sudah datang, Ibu akan menelponmu," ucapnya.
"Baik, Bu!" jawab Safira dengan sigap.
Safira pun keluar dari ruang tamu yang besar dan luas itu. Ruang tamu yang khusus untuk tamu-tamu yang hendak bertemu dengan Ustadz Uwais. Ruang tamu bersifat outdoor dengan gaya khas Sunda yang terbuat dari kayu dan bambu. Lebih cocok disebut villa, sebenarnya.
Safira melangkahkan kakinya dengan pelan. Melewati gajebo yang di bawahnya kolam ikan. Sungguh indah dan damai ia melihatnya. Sepertinya di sana memang kawasan rumah Ustadz Uwais. Maka tak heran jika Safira tidak menemukan banyak santri putra ataupun santri putri di sana.
"Swafoto di sini sepertinya cantik juga," gumam Safira sembari melirikkan manik matanya ke sana kemari.
Merasa aman, Safira pun mulai mengarahkan kamera di gawainya pada wajah cantiknya yang memakai hijab segiempat simple. Senyum manis yang selalu ia pancarkan ketika swafoto begitu terpampang nyata di wajah cantiknya.
Satu foto, dua foto, tiga, empat, lima hingga sepuluh foto sudah ia dapatkan. Dan itu, ia lakukan dengan cara yang berbeda-beda. Tanpa sadar, seorang pria tampan memakai sarung hitam, kemeja koko biru langit serta peci hitam di kepalanya tampak tersenyum kecil saat melihat tingkah Safira yang sedang swafoto.
Safira benar-benar tidak sadar jika dirinya sedari tadi diperhatikan di balik pohon pakis yang besar. Ia mengira jika di tempat itu tidak ada siapa-siapa. Karena, jarak antara dirinya dengan ruang tamu yang seperti villa itu lumayan jauh. Hal itu membuatnya yakin jika dirinya hanya seorang diri di sana.
"Duh, cantiknya yang ini. Sekarang, waktunya posting-posting di story Instragram dan whatsapp," gumam Safira sembari tersenyum sumringah. Puas dengan hasil jepretannya sendiri.
Sementara itu di ruang tamu villa...
"Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh," terdengar suara Ustadz Uwais mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh," jawab Bu Kartika dan Ayah Usman secara bersamaan.
Mereka berdua tampak sedikit terjingkat kaget dan begitu gugup saat Ustadz Uwais yang tampan dan berkharisma itu masuk dan menyunggingkan senyum pada mereka berdua.
BERSAMBUNG...