"Silakan diminum, Pak, Bu," ucap Ustadz Uwais pada Bu Kartika dan Ayah Usman.
Ayah Usman dan Bu Kartika mengangguk penuh hormat dan sopan santun. Mereka benar-benar gugup dan gerogi berada di hadapan sang Ustadz.
"Sepertinya saya baru pertama kali bertemu dengan Bapak dan Ibu. Kalau boleh tahu, Bapak dan Ibu ini tinggal di mana, ya?" Ustadz Uwais mulai mengajak Bu Kartika dan Ayah Usman berinteraksi.
Ustadz muda yang tampan itu memang sangat ramah dan hangat. Sebagai pemimpin pondok pesantren As-Salam, ia selalu bersikap baik dan dikenal sebagai Ustadz yang rendah hati dan tidak sombong. Ya, sejak kepergian Ayahandanya menghadap ilahi Robbi, Ustadz Uwais yang adalah seorang putra tunggal di keluarga Kiyai besar itu terpaksa harus meneruskan perjuangan Ayahandanya untuk memimpin pondok pesantren itu.
Bukan tidak sulit untuk Ustadz Uwais meniti jalan kehidupan yang sesungguhnya belum siap baginya. Tetapi, takdir dan paksaan sang Ibunda dan juga para tokoh pemuka agama yang berperan dalam kesuksesan pondok pesantren itu, akhirnya Ustadz Uwais pun bersedia menjadi pemimpin pengganti Ayahandanya yang telah wafat. Ya, tentunya karena tak ada lagi pewaris yang berhak melanjutkan memimpin pondok pesantren itu selain Ustadz Uwais sendiri.
"Benar, Ustadz. Kami memang baru pertama kali datang ke tempat ini menemui Ustadz Uwais. Sebenarnya ... kedatangan kami kemari, ingin meminta tolong pada Ustadz. Kami datang dari Jakarta, sengaja ingin ke sini bertemu dengan Ustadz," jawab Ayah Usman dengan sangat hati-hati dan tidak mengurangi rasa hormat serta sopan santunnya.
Ustadz Uwais tersenyum manis dan mengangguk kecil, "Panggil saja Aa, Pak," ucapnya memberitahu panggilan ramahnya di sana, "Maa Syaa Allah. Semoga Allah jadikan pertemuan kita menjadi ladang pahala dan keberkahan. Menjadi silaturahmi antara umat muslim dan menjadi keluarga dalam satu mahabbah kepada illahi Rabbi. Aamiin," lanjutnya dengan suara yang lembut dan sangat berkharisma.
"Aamiin," kata Ayah Usman dan Bu Kartika secara bersamaan.
Bu Kartika sampai lupa untuk menghubungi putrinya yang sedang asyik melihat-lihat keadaan di area pesantren As-Salam. Pesantren yang dihuni oleh kebanyakan anak yatim, yatim piatu dan orang-orang yang tidak mampu. Ya, tentunya tidak ada pendidikan sekolah di pondok pesantren itu. Hanya khusus pendidikan agama saja.
"Kalau boleh tahu, apa yang bisa saya lakukan untuk Ibu dan Bapak?" tanya Ustadz Uwais dengan kelemahlembutannya.
Ayah Usman dan Bu Kartika tampak saling beradu pandang dan mereka terlihat bingung harus bicara apa. Terlalu gerogi dan gugup berhadapan dengan seorang Ustadz yang sangat berkharisma itu.
Sementara itu di luar, Safira tampak berjalan sembari memperhatikan setiap bangunan di kawasan pondok pesantren yang besar itu. Sesekali ia bertanya-tanya dalam hatinya sendiri saat melihat beberapa anak-anak yang sedang berlari dengan ceria di kawasan pondok pesantren itu.
"Apakah mereka tinggal di pondok pesantren ini dengan orang tua mereka?" tanya Safira dalam hati.
Tak ingin mati penasaran, akhirnya Safira pun bergegas melangkahkan kakinya mendekati anak-anak kecil yang sepertinya masih berusia di bawah sepuluh tahunan.
"Hello, adik-adik," sapa Safira pada ketiga anak kecil itu.
Ketiga anak perempuan yang memakai gamis dan jilbab bergo itu tampak menatap heran dan tidak menjawab. Mereka hanya saling merapatkan barisan dan saling beradu pandang satu sama lain.
Merasa dikacangin oleh ketiga anak itu, Safira tampak bingung dan sedikit kesal. Namun, sepertinya ia harus kembali menyapa agar anak-anak itu tidak diam seperti itu.
"Hei, kenapa kalian diam saja? Jawab dong sapaan Kakak tadi." Safira berkata sembari tersenyum manis dan hangat.
"Maaf, Kak. Kami tidak biasa mendengar sapaan seperti itu. Jika Kakak orang islam, maka sebaiknya ucapkan salam ketika bertemu," ucap salah seorang anak di antara ketiga anak kecil itu.
Safira tampak terlonjak kaget mendengar ucapan anak kecil di hadapannya itu. Wajahnya seketika memerah karena menahan malu. Ya, ia sungguh malu karena anak kecil di hadapannya itu mengajarinya.
"Ya Tuhan, aku benar-benar malu sekali. Kenapa hal seperti ini saja tidak kuketahui," gumam Safira dalam hati.
Safira meremas ujung jilbabnya dan melipat bibirnya ke dalam. Sementara ketiga anak kecil itu tampak bengong melihat wanita dewasa di hadapan mereka.
"Emh, iya. Kakak sampai lupa tadi. Soalnya, Kakak sangat senang melihat keceriaan kalian bertiga," ucap Safira yang tampak beralibi.
"Oooooh begitu, yaaaa!" seru ketiga anak kecil itu secara serempak dan bersamaan.
Safira mengangguk serta tersenyum, "Ya, adik-adik. Emh, kalau boleh diulangi, Kakak akan mengulangnya. Sebentar," ucapnya yang kemudian memutar tubuhnya dan melangkahkan kakinya sampai lima langkah.
Setelah lima langkah, Safira menghentikan langkahnya lalu kembali memutar tubuhnya dan melangkah lagi menghampiri ketiga anak perempuan itu.
"Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh, adik-adik!" Safira mengucapkan salam disertai senyuman manisnya.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh, Kaaaaak!" ketiga anak itu menjawab dengan serempak.
Safira tersenyum hangat. Ia benar-benar tidak menyangka jika anak-anak kecil di hadapannya itu dapat mengingatkannya tentang salam yang nyaris sudah jarang ia ucapkan.
"Boleh kenalan, tidak?" tanya Safira.
Ketiga anak kecil itu mengangguk mengiyakan.
"Boleh, Kak," jawab salah satu orang di antara ketiga anak itu.
"Nama kalian si—" belum sampai Safira menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja terdengar suara seorang wanita yang berhasil menggantung ucapannya.
"Assalamualaikum," ucap wanita yang tiba-tiba datang menghampiri Safira dan ketiga anak kecil itu. Tidak, bukan menghampiri Safira, mungkin yang sebenarnya adalah menghampiri ketiga anak kecil itu.
"Waalaikumsalam," jawab Safira dan ketiga anak kecil yang belum tahu namanya itu.
"Anak-anak, sedang apa kalian di sini? Ustadzah mencari kalian sedari tadi. Ayo kita ke asrama, anak-anak." Ustadzah itu berkata sembari meraih tangan salah satu anak di antara ketiga anak itu.
Safira tampak canggung dan bingung mau berkata apa. Entah mengapa ia merasa seperti sedang dicurigai oleh wanita yang memakai pakaian syar'i di hadapannya itu.
"Maaf, Ustadzah. Kami hanya sedang bermain," ucap salah satu anak yang memakai jilbab merah.
"Oh, bermain, ya. Terus, Kakak ini siapa, ya? Orang tua santri atau siapa?" tanya Ustadzah sembari menatap heran pada Safira yang mematung canggung.
Safira tersenyum kikuk dan memainkan jari jemarinya, "Anu, saya ... calon santri, eh!" jawabnya gugup dan gerogi.
"Calon santri?" Ustadzah itu terlihat heran dan seperti tidak percaya.
"Oooh, mungkin Kakak ini mau jadi santri baru kali, ya?" tebak anak yang berbadan gemuk.
Safira tersenyum kecut dan menggaruk pelipisnya yang sama sekali tidak terasa gatal. Tak berapa lama, dering di gawainya berhasil membuyarkan suasana hening yang sesaat terjadi.
Dengan cepat Safira merogoh saku celana kulotnya dan meraih gawainya, "Ibu?" gumamnya sembari mengerutkan dahinya.
"Kalau gitu, kami permisi ya, Kak," ucap Ustadzah yang sepertinya adalah pengajar sekaligus pengasuh di pondok pesantren itu.
Safira mengangguk kecil sembari tersenyum, kemudian ia pun bergegas menekan tombol jawab dan mendekatkan gawainya pada telinganya.
BERSAMBUNG...