"Setuju ...!" jawab para anggota inti Kerajaan dengan kompak kecuali Pangeran Adanu yang memang nampak kurang serius mengikuti musyawarah penting itu.
Melihat Putra mahkotanya bersikap seperti itu Raja Damantara merasa tidak suka, lalu beliau pun menegurnya.
"Adanu! Kamu ini sudah dewasa dan kamu ini juga Putra Mahkota, tidak semestinya kamu bersikap seperti itu!" bentak Prabu Damantara.
Mendapatkan bentakan dari Ayahandanya Pangeran Adanu malah langsung pergi meninggalkan ruang musyawarah dengan tanpa bicara sedikitpun.
Melihat prilaku Pangeran Adanu seperti itu Ratu Dewi Cahya yang juga sebagai ibu kandungnya merasa malu kepada para Permaisuri yang lain, terlebih kepada kedua Penasehat Prabu Damantara yaitu Dang Acarya Sidharta dan Dang Acarya Surapraja.
"Maafkan saya Kanda Prabu saya yang bersalah karena tidak bisa mendidik Cayapata menjadi Putra Mahkota yang baik, tapi saya akan terus menasihatinya sampai dia bisa berubah," ujar Ratu Dewi Cahya.
"Saya merasa gagal untuk mempersiapkan calon penerus tahta Kerajaan, saya merasa malu kepada Ayahanda Linggarjati yang telah bersusah payah mendirikan Kerajaan Mulya Jaya ini," timpal Prabu Damantara sambil menguburkan wajah ke dalam dua telapak tangannya menggambarkan bahwa beliau sangat sedih.
"Tenanglah dulu Nanda Prabu ... sebaiknya Nanda Prabu jangan terlalu berpikir yang berat-berat dulu, karena Nanda Prabu baru sembuh dari sakit," ujar Dang Acarya Surapraja mencoba untuk menenangkan sang Prabu.
"Gimana saya bisa tenang Bapak Dang Acarya, sebagai seorang Raja sudah semestinya saya bisa menjadi contoh bagi rakyatku dalam hal mendidik anak, terlebih saya memang harus mempersiapkan putraku untuk menjadi penerus tahta Kerajaan, tapi kenyataannya apa yang terjadi pada Putraku sangatlah jauh dari apa yang aku harapkan."
"Nanda Prabu Damantara ... saya bisa mengerti dengan apa yang membuat Nanda Prabu risau, tapi pada kenyataannya memang orang tua bukanlah segala-galanya dalam urusan kebaikan pada seorang anak, memang tugas untuk mendidik ada pada orang tua tapi bila mana tugas tersebut sudah dijalankan maka perkara anak itu nanti bisa sesuai harapan atau tidak itu sudah bukan wewenang dari orang tua Nanda Prabu ..." tutur nasehat Dang Acarya Surapraja.
"Ya memang begitu Bapak Dang Acarya, tapi masalahnya Adanu adalah Putra Mahkota, sebagai calon pewaris tahta Kerajaan, lha kalau dia sendiri gak bisa menjaga diri mana mungkin dia bisa menjadi pemimpin dan sekaligus contoh bagi rakyatnya?" terang Paduka Raja Damantara.
Sesaat kedua Penasehat itu tidak menjawab, mereka memilih untuk berdiam diri, bukannya tidak bisa untuk lanjut menasehati akan tetapi lebih karena merasa kasihan dengan kondisi Baginda Raja yang masih dalam proses penyembuhan, mereka tidak ingin sang Raja kembali jatuh sakit lantaran beban pikiran akibat dari perilaku Putra Mahkotanya sendiri. Memang prilaku Pangeran Adanu sangat tidak patut sebagai Putra Mahkota, dia sangat gemar mabok, foya-foya dan bahkan juga menggoda perempuan-perempuan istana seolah tidak lagi memperdulikan dengan statusnya sebagai Putra seorang Raja.
Disaat mereka masih terdiam kalut dalam pikirannya masing-masing, tiba-tiba Permaisuri Dewi Cahya yang juga sebagai Ibu kandung dari Pangeran Adanu berkata memecah keheningan suasana.
"Ampun Kanda Prabu ... urusan Ananda Adanu biarlah nanti saya yang menasehati dengan Yunda Dewi Sinta, saat ini lebih baik Kanda Prabu melanjutkan pembahasan masalah jabatan Senopati Bagaskara tadi."
"Benar Kanda Prabu ... selagi Bapak-bapak Penasehat masih disini sebaiknya Kanda musyawarahkan dulu kapan rencana untuk menentukan pengangkatan Bagaskara sebagai wakil Patih Kerajaan?" sahut Ratu Dewi Sinta menimpali perkataan Ratu Dewi Ayu.
"Baiklah, untuk langkah selanjutnya besok akan aku panggil Paman Patih Badrika dulu untuk diberi tahu tentang rencana ini, lalu kemudian Senopati Bagaskara dan setelah ada kesepakatan dari mereka berdua baru nanti diresmikan pada tahun baru saka yang kebetulan akan jatuh kurang dari sepuluh hari lagi sekaligus acara memandikan pusaka Kerajaan, dan pada hari itu juga akan saya adakan pesta Kerajaan sebagai penutup untuk acara ini," terang Raja Damantara yang langsung disambut antusias oleh para anggota musyawarah.
"Yah tepat sekali Kanda Prabu, setelah dua bulan kita semua berselimut duka lantaran sakitnya Kanda Prabu kini saatnya Kita memberikan hiburan pada rakyat kita, biar mereka bisa senang dan lebih bersemangat lagi untuk menjalankan tugas bagi yang menjadi Abdi Kerajaan dan lebih giat lagi bekerja bagi mereka para rakyat biasa," ujar Ratu Dewi Sinta.
"Baiklah kalau begitu saya kira pertemuan kali ini sudah cukup, dan saya ucapkan terimakasih untuk semua yang telah hadir yaitu Bapak Dang Acarya Sidharta, Bapak Dang Acarya Surapraja dan terkhusus buat Bunda Ratu Dewi Sukmawati, do'a restu Bunda Ratu selalu saya harapkan," ujar Raja Damantara sambil menoleh kepada Ibunya yang memang duduk di sampingnya itu.
"Semoga Sang Hyang Widhi Wasa selalu memberkati hidupmu putraku," ujar Ratu Dewi Sukmawati sambil tersenyum kepada Raja Damantara.
"Kalau begitu kita berdua mohon undur diri Nanda Prabu ..." ujar Dang Acarya Sidharta sambil menatap Prabu Damantara dengan tangan memegang pundak Dang Acarya Surapraja yang duduk di sampingnya.
"Baiklah Bapak Dang Acarya, semoga Bapak berdua senantiasa di beri kesehatan dan umur panjang agar supaya bisa terus menasehati saya." Nampak dua orang tua itu melangkah keluar dengan diiringi dua prajurit pengawal.
Dan begitu beliau berdua tiba di halaman istana nampak kereta kencana sudah terparkir dan siap untuk mengantar dua guru besar di pendidikan Mandalawangi milik Kerajaan Mulya Jaya itu.
Lalu setelah kedua ilmuwan Kerajaan itu masuk ke dalam, kereta pun langsung bergerak pelan meninggalkan istana.
Sementara itu setelah semuanya pergi, Prabu Damantara nampak melangkah menuju ke dalam ruangan pribadinya, dia terlihat sedang melihat-lihat pusaka milik Kerajaan peninggalan para leluhurnya. Diperhatikannya satu persatu senjata pusaka itu, dan akhirnya pandangan sang Raja tertuju pada sebuah tombak yang mengeluarkan sinar kuning kemerah-merahan, yaitu tombak bernama kiyai Trunojoyo.
Tombak kiyai Trunojoyo adalah pusaka tertua dan bisa dibilang paling ampuh dan paling bersejarah dibanding pusaka-pusaka yang lain, itu dikarenakan pusaka tersebut didapatkan oleh mendiang Prabu Linggarjati setelah melakukan pertapaan di tengah lautan, yang dimana dalam pertapaannya itu Prabu Linggarjati hanya menaiki lima lembar daun jati yang dianyam dengan menggunakan lidi membentuk sebuah tikar. Dan tombak pusaka tersebut adalah pemberian dari Raja Jin penguasa laut itu.
"Oh ... tombak pusaka ini sudah saatnya untuk dibersihkan, dia cukup berjasa dalam berdirinya Kerajaan Mulya Jaya ini, aku harus mengambilnya sekarang."
Lalu Prabu Damantara pun mengambil tombak pusaka tersebut, dan keanehan pun terjadi ketika tombak pusaka itu dipegang oleh Prabu Damantara, tombak yang semula mengeluarkan sinar terang kuning kemerah-merahan itu tiba-tiba menjadi redup, dan semakin lama semakin suram hingga akhirnya pun menjadi padam.
Melihat kejadian aneh itu Prabu Damantara pun menjadi bingung dan bertanya-tanya, 'Kenapa tombak pusaka ini tiba-tiba padam sinarnya? Aneh, padahal sudah berpuluh-puluh tahun tombak ini selalu aku jaga, dan selama itu pula tombak ini tidak pernah padam. Bahkan sekalipun ketika saya mandikan sinarnya pun tetap terang. Ada apa dengan tombak pusaka ini? Apakah ini pertanda buruk bagi Kerajaan Mulya Jaya?' gumam Prabu Damantara bertanya-tanya di dalam hati.
Sambil terus merasakan heran tanpa menemukan jawaban Prabu Damantara nampak menimang-nimang senjata pusaka tersebut, dipegangnya gagang tombak pusaka itu dengan tangan kanannya dan kemudian ujungnya dia pukul-pukulkan ke telapak tangan kirinya.
Bersambung ...