Chereads / Skandal Pil Biru / Chapter 23 - Mau Kemana?

Chapter 23 - Mau Kemana?

Lita mencuri pandang pada Elanda yang sedang mengemudikan mobil sport-nya dalam keheningan. Tatapannya tidak henti-hentinya untuk mencuri pandang pada kaca mata hitam yang digunakan Elanda, Lita tidak tahu apa Bosnya itu sedang kembali tebar pesona, karena ya--menyebalkan bagi Lita saat melihat kaca mata hitam itu terlihat cocok bertengger di hidung mancung Bosnya itu.

"Kamu silau? Mau pakai kaca mata juga?" Tanya Elanda lalu menarik kaca mata hitamnya, menyodorkan pada Lita.

Lita menggeleng, "Hidung saya pesek, nanti kaca matanya malah merosot."

Elanda tersenyum, "Syukurlah,"

Lita memicingkan netranya menatap kembali Bosnya itu dengan tatapan bingung bercampur sebal.

"Bapak bersyukur karena hidung saya pesek? Oh, makasih Pak atas ledekannya, untuk si hidung pesek." Ketus Lita.

Senyum yang semula terukir di bibir Elanda memudar perlahan, "Baru saja saya pikir kamu udah getting calm." Skandal menghela napas sementara Lita mendengus.

"Bapak sih, kalau ngomong bikin kesel. Siapa coba yang enggak bakal kesel pas saya bilang hidung saya pesek terus Bapak malah bilang syukur?"

"Terus kamu mau saya bilang apa?" Tanya Elanda dengan nada mengalah, akhirnya.

Lita memberenggut, "Ya apa kek, misal; Enggak kok Lita, hidung kamu enggak pesek, atau, eh hidung pesek itu awet muda lho. Kalau Bapak jawab gitu kan saya seneng. Itu namanya Bapak menghibur saya yang rakyat jelata berhidung pesek ini. Eh Bapak malah jawab syukur." Lita melipat tangan di perut, "Ah atau Bapak sebenarnya ngeledek saya? Secara langsung bilang syukurin hidung pesek?!" Lita mendecih,

Elanda membuka mulut hendak berbicara, namun Lita terus berbicara tidak memberinya kesempatan untuk berbicara barang satu kata pun.

"Dipikir-pikir Bapak kalau ngomong sama kayak Dirga. Saya jadi penasaran siapa yang nularin siapa, buat punya lambe yang nyebelin. Atau dari masih embrio udah bawaannya begitu apa." Ketus Lita antara menyindir namun ia tidak berbohong soal penasaran.

Elanda menggeleng samar. Salah satu kebiasaan Lita kalau sudah sebal, ia tidak memberikan kesempatan pada siapa pun untuk berbicara.

"Saya enggak bermaksud buat kamu kesel, saya cuma senang karena kamu enggak terlalu sinis lagi. Saya kira kamu bakal bilang; apaan sih Bapak, sok-sokan kayak tokoh film atau novel atau apa, seperti biasanya kalau saya buat kamu blushing. Eh tapi belum sedetik kamu sensi lagi." Ungkap Elanda jujur membuat Lita terbelalak merasa kesal namun juga menyadari bahwa ia bersalah.

"B-blushing? Enggak tuh, Pak! Ini semua karena tekanan frustasi Pak. Tapi kalau dilihat lagi, segini saya kuat lho, enggak langsung bunuh diri." Ungkap Lita dengan dengan nada melunak. Sebenarnya ia bermaksud bercanda juga mencoba untuk mencairkan suasana.

"Kamu mau bunuh diri cuma gara-gara cowok?" Tanya Elanda. Lita menarik napas samar, padahal Lita berharap Elanda akan membalasnya dengan logat bercandanya yang khas.

Lita menghempaskan tubuhnya pada kursi mobil, "Bukan Pak, tapi karena bucin saya."

Elanda terkekeh pelan, "Akhirnya mengakui, bucin. Tapi tetap aja kamu enggak seharusnya kepikiran bunuh diri cuma karena co-"

"Kalau dihitung, mungkin tabungan saya ada sekitar lima ratus juta yang di pakai buat modal restoran dan itu semua atas nama dia." Lita yang semula menatap ke arah depan, menoleh pada Elanda dengan senyum datar menghibur dirinya sendiri seolah ia tahu ekspresi apa yang akan ditunjukkan Elanda.

"Enggak usah ngatain saya bego, ya Pak. Ya, saya emang bodoh di level bego, tapi cukup saya aja yang mengakui. Bapak dilarang, jadi Bapak jangan ikutan ngeledek, ngeledek enggak membantu. Nanti saya beneran bunuh diri, lagi." Ungkap Lita menyadari sebagian ucapan Elanda adalah kebenaran, lalu mempertanyakan pada dirinya kenapa dulu ia bisa sebodoh itu.

"Jadi itu alasan kamu sampai kepikiran ide ekstrim campurin pil biru ke bir?" Tebak Elanda dijawab Lita dengan hembusan napas berat.

Lita terlihat berpikir, "Mungkin, tapi sebenarnya uang bisa dicari lagi, kan. Yang jadi masalah itu soal perasaan. Kalau soal perasaan itu enggak bisa dilepaskan gitu aja." Lita menatap jalanan yang kosong. Kenapa hanya ada satu dua mobil? Dan kenapa jalannya benar-benar mulus tanpa kemacetan khas Jakarta?

Lita mengedarkan tatapannya, posisinya dari duduk santai berubah tegap, sebelum detik selanjutnya Lita menyadari bahwa mereka memasuki jalan tol.

"Lho, lho, kok kita lewat tol Pak? Kita mau ketemuannya di mana emang? Bukannya sekitaran Jakarta, ya?" Tanya Lita bingung.

Elanda menoleh menatap Lita dengan tatapan seribu makna, dan anehnya tatapan itu terasa ganjil.

"Coba tebak?" Tanya Elanda dengan nada sok misterius.

Lita memicingkan netranya sinis, "Kalau Bapak masih pengen menghibur saya dengan main tebak-tebakan, udah cukup ya Pak. Saya udah enggak terlalu stress lagi. Kan Bapak bilang saya bisa dapatkan yang lebih ganteng, tajir dari pada mantan saya. Eh belom mantan sih." Ralat Lita.

Elanda tidak menyahuti pembicaraan Lita, detik selanjutnya ia malah menemukan Elanda membawanya ke jalanan sempit yang dipenuhi kebun di kanan kirinya. Lita menatap was-was Elandah, namun Elanda tidak bereaksi apa pun. Ia terus melajukan mobilnya ke jalan tikus yang mulai sepi dari rumah-rumah.

Lita menahan napas, kemana sebenarnya Elanda akan membawanya?

"Hahaha, tadi saya kira mungkin mau ke Sentul, tapi kok jalannya banyak kebun begini ya Pak? Jalan tikus?" Tanya Lita dengan tawa hambar. Ia berbicara dengan tenang dan sangat hati-hati namun dalam hati ia merasakan jantungnya berloncatan karena panik dan takut. Apa sebenarnya yang hendak direncanakan Bos nya?

"Kamu penasaran?" Tanya Elanda kemudian seraya menatap Lita, lagi-lagi dengan tatapan tak terbaca. Membuat adrenal Lita semakin berpacu karena ketegangan.

"Saya nanya karena penasaran lah, Pak." Ungkap Lita tetap berusaha santai.

Elanda kembali tersenyum, namun kali ini ia tidak menatap Lita.

"Begini, siapa ya yang tadi menyebut saya psikopat dan memiliki semua ciri-ciri orang psikopat?" Ungkap Elanda yang seketika membuat tubuh Lita memegang. Keringat mulai bercucuran di lehernya, dua tangannya mulai memegangi lututnya di balik rok menahan rasa takut.

"Hahaha Bapak ngelawak ya, tapi ini enggak lucu lho." Ungkap Lita dengan tawa hambar yang mengambang. Astaga Tuhan! Lita benar-benar takut. Apakah Eland serius dengan ucapannya? Lita merutuk. Tapi tapi ia sendiri yang mengatakan Elanda psikopat dan semua ciri-ciri psikopat ada pada Elanda. Ia tidak benar-benar benar-benar mengatakan Elanda psikopat, meskipun ia juga tidak bohong dengan mengatakan ciri-ciri psikopat ada pada Elanda.

Lita mengatakan itu karena ia merasa bahwa aneh sekali pria tampan, kaya, dan otoriter Elanda mau bersamanya dan bahkan menghiburnya saat ia terluka oleh tunangannya sendiri. Parahnya Lita dan Harry sudah melanggar kode etik perusahaan, kinerja Lita juga buruk, dan satu lagi yang paling parah. Ia lah sumber semua gosip tentang Elanda.

Lita memejamkan netranya. Katanya sebelum kita menemui ajal semua dosa, kenangan, dan memori akan datang mengiringi kematian kita sebelum kita benar-benar menutup mata untuk selamanya. Lita menggigit bibirnya apakah ini akhir dari kehidupannya? Dosa-dosa nya pada Elanda berseliweran di otaknya.

"Tatapan kamu, lho. Udah kaya orang yang mau ditimbang dosa nya. Mau mengakui dosa?" Ungkap Elanda yang seketika membuat Lita seketika membuka mata.

Suara mobil Elanda sudah tidak terdengar lagi. Sepertinya Elanda sudah menghentikan mobilnya. Lita menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia menemukan pemandangan perbukitan yang indah di luar kaca mobil.

"Bagus kan?" Tanya Elanda yang seketika membuat Lita menoleh ke arahnya.

"Ini kita di mana, Pak?" Tanya Lita bingung.

"Tadinya saya mau ajak jajan PSK di puncak." Ujar Elanda yang membuat Lita seketika terkejut.

"PSK itu sate kambing muda. Bukan jajan PSK beneran. Jangan negatif thinking dulu Lita. Tapi karena ini weekend, macet. Saya jadi malas ke sananya." Ujar Elanda membuat Lita tertohok.

"Jadi Bapak ceritanya bawa saya liburan ke Puncak?" Tanya Lita dengan wajah memanas.

Elanda tersenyum, "Jadi kamu maunya kita liburan?" Tanya Elanda dengan nada rendah yang menggoda.

Lita segera membuang tatapannya karena malu, "E-eh, maksud saya..."

Lita merasakan sebuah tepukan di atas kepalanya, "Ya udah, sehabis ini kita cari hotel, ya. Kita nikmati liburan kita."