Lita melirik Elanda yang sedang sibuk dengan telepon genggamnya, sepertinya ia sedang mengetik sebuah pesan yang cukup panjang dan ia membalas pesan lebih dari satu, dua orang. Sementara Lita terdiam canggung menunggu Elanda selesai dengan urusannya seraya mengetuk-ngetuk tangannya di atas paha jenjangnya.
"Kamu enggak mau lihat pemandangannya?" Tanya Elanda saat Lita tidak kunjung turun dari mobilnya. Lita tak menjawab, ia malah melirik pintu mobil dengan tatapan miris, ia benar-benar tidak tahu bagaimana cara membuka mobil mahal ini, haruskah ia mengatakan pada Elanda? Tapi bukankah itu sangat memalukan?
"Ah kamu nungguin saya, ya?" Tanya Elanda dengan senyum. Lita ikut membalas senyum itu dengan terpaksa. Menutupi ketidak tahuannya dengan cara yang cerdas.
"Iya lah, Pak. Kan Bapak yang bilang sendiri saya sebagai karyawan harus inisiatif." Ungkap Lita dengan bangga. Elanda yang semula sibuk dengan telepon genggamnya menatap Lita sejenak lalu memajukan tubuhnya untuk menepuk pucuk kepala gadis itu dengan lembut.
Lita merasakan hatinya bertalu tidak karuan, sementara wajahnya merona panas. Lita ingin menggelengkan kepalanya agar bisa lebih dingin. Tapi merasakan nyaman dan lembutnya sentuhan Elanda di atas kepalanya membuatnya tak bisa melakukan apa pun selain menikmati perlakuan manis itu. Anehnya Lita rasanya bisa mendengar alunan musik lembut. Apakah Elanda memutar sebuah lagu romantis? Lita terperangah, ternyata Bos nya bisa bersifat sangat romantis.
"Tuh, kamu tuh ya kalau diajarin langsung nangkap dan pintar, sebenarnya." Ungkap Elanda yang seketika membuat ekspresi kagum Lita pudar. Langsung nangkap dan pintar, katanya? Kenapa Lita merasa bahwa Elanda seolah memuji binatang peliharaannya?
"Saya bukan binatang peliharaan lho, Pak. Bapak kok muji saya kayak muji binatang peliharaan?" Pekik Lita tidak terima.
Elanda terkekeh, "Ini otak kamu emang diciptakan Tuhan untuk berpikir negatif tentang saya, ya? Selalu saja berpikir negatif tentang saya padahal saya enggak bermaksud apa pun. Saya itu orangnya to the point sebenarnya. Kalau saya mengatakan sesuatu ya memang itu yang ingin saya katakan. Enggak ada maksud tersembunyi apa pun."
Lita menghela napas samar mendengar penjelasan Elanda, kalau begitu pas Bosnya itu mengatakan ia benar-benar bodoh, karena benar-benar bodoh bukan bermaksud bercanda, ya? Itu agak membuat hati Lita sakit menyadari pandangan Elanda terhadapnya yang sepertinya benar-benar rendah.
"Mau sewa Villa yang mana? Yang ini privat, kolam renangnya juga bagus. Tapi makanan di restorannya kurang enak. Yang ini bagus semua sih. Cuma suka banyak turis. Saya enggak terlalu suka yang ramai." Elanda menunjukkan layar telepon genggamnya yang menampilkan slide berisi foto-foto dari setiap Villa.
Lita memicingkan alisnya kaget, "Sewa Villa?"
Elanda menatap Lita bingung, "Katanya mau liburan? Di pikir-pikir saya juga sudah lama enggak liburan."
"Bentar-bentar Pak, bukannya kita mau ketemu mas Dirga bahas soal proyek kerja sama kita? Lagi pula saya enggak bawa baju ganti! Dalaman aja enggak ada!" Ujar Lita mengingatkan tujuan awal mereka.
"Saya belum bilang ya, kalau Dirga harus jemput partnernya dari Jepang, jadi pertemuannya di undur?" Tanya Elanda dengan raut wajah polos tanpa dosa.
Lita merasa alisnya berkedut, jadi tadi Elanda memarahinya dan menuntutnya buru-buru saat ia sedang membuat ancang-ancang untuk membongkar perselingkuhan Harry dan ibunya untuk apa? Lagi pula jika mereka berlibur, Lita tidak membawa baju ganti satu pun!
"Terus tadi Bapak buru-buruin saya di depan kantor, marah-marah karena saya bikin meeting Bapak terlambat itu, bohongan?" Tanya Lita emosi.
Elanda mengangguk tanpa ragu, "Habisnya kamu buat keributan di depan kantor, sampai ada yang videoin, kan itu malu-maluin, menarik perhatian dan kamu tahu jejak digital itu berbahaya?"
Lita memberenggut kesal, memangnya jika ia ingin mengungkapkan emosinya itu adalah hal yang memalukan? Ia hanya melampiaskan isi hatinya. Apakah itu salah?
"Bapak tahu enggak? Saya bela-belain bertahan ga jadi resign karena saya pikir mau penuhi tugas saya di meeting ini!" Ungkap Lita dengan emosi yang meluap. Teringat bagaimana tadi usahanya untuk terlihat profesional dan tegar.
Elanda menatap Lita sejenak, dan Lita menyadarinya, namun entah karena mood swing atau memang ia sangat sensitif. Mendengar omongan Elanda membuatnya kesal, padahal apa yang dikatakan Elanda ada benarnya juga, sih.
Lita kembali menarik napas samar, namun kemudian Elanda memanggilnya, "Lita, coba menghadap sini deh." Titah Elanda namun Lita malas menyahut, karena kepalang kesal.
"Bukannya kamu enggak tahu cara buka pintu makannya kamu milih bertahan di mobil, nunggu saya yang bukain?"
Lita yang semula membelakangi Elanda dengan ekspresi kesal, merasakan wajahnya memanas karena malu. Bagaimana bisa Elanda menyadari itu?!
"Enggak tuh!" Tukas Lita.
Elanda menyeringai, "Oya? Kalau begitu coba buka." Titah Elanda dengan nada renyah, bahkan senyum. Tapi di dalam otaknya, Lita mendengar bunyi Sambaran petir di siang bolong. Ia tidak tahu cara membukanya!
"Coba menghadap sini dulu, Lita." Pinta Elanda lagi dengan nada lembut. Namun Lita bersikukuh untuk membelakanginya.
"Begini lah susahnya kamu itu, lho. Padahal niat saya bantuin kamu supaya kamu enggak malu. Tapi ya gimana, yang ditolongin enggak mau ditolongin. Nanti jangan marah-marah enggak jelas sama saya karena saya enggak ngasih tau atau ngambilin sisaan nempel di dagu kamu." Ungkap Elanda yang seketika membuat tubuh Lita menengang. Sisa makanan di dagu? Sejak kapan? Dan lagi-- kenapa Elanda tidak memberi tahunya sedari tadi?
"Bapak kok enggak bilang dari tadi?! Tuh kan, Bapak tuh begitu, tega orangnya. Liat orang yang lagi malu-maluin, butuh bantuan, bukannya ditolongin malah didiemin sambil dalam hati ketawa ketiwi."
"Negatif thinking lagi. Untung saya sudah terbiasa sekarang. Makannya kan saya tadi bilang kamu menghadap ke sini dulu." Ujar Elanda lagi yang akhirnya membuat Lita mau tidak mau membalikkan tubuhnya, menghadap Bos nya itu yang memandangnya dengan tatapan jengah.
"Majuan sedikit," titah Elanda. Lita mendorong wajahnya sedikit.
"Maju, Lita. Kejauhan saya." Titah Elanda lagi.
"Kurang maju." Ungkap Wlanda membuat Lita kesal.
"Maju-maju terus! Saya bukan kuda atau jerapah, Pak."
Elanda berdecak, "Memangnya siapa yang nyuruh kamu panjangin leher? Maju dong. Saya tahu kalau pantat kamu mungkin baru bertambah besar dan berat buat di geser, tapi geser dikit enggak akan bikin bikin kamu kempes mendadak, ke sini, majuan lagi."
Lita akhirnya mengalah, meskipun dengan berat hati, ia memajukan tubuhnya juga kepalanya, sementara tangan Elanda menahan dagu kita dengan satu tangannya.
"Oke, tunggu sebentar." Ungkap Elanda lalu mengambil tisu. Ekor netra Lita mengikuti gerak tangan Elanda yang menarik selembar tisu, namun netra Lita berubah membola saat ia merasakan sebuah benda lembab dan kenyal, hinggap di atas bibirnya tiba-tiba.
Lita membawa irisnya menatap sang pelaku yang setelah mencium, kini memagut bibirnya lembut. Selembar tisu putih yang diambilnya menjadi tirai kecil yang menutupi adegan romantis mereka.
Ciuman itu hanya berlangsung beberapa detik, Elanda sudah melepaskan pagutannya pada bibir Lita, namun mereka masih berada di jarak pandang yang dekat, wajah Lita pun masih ditangkup tangan Elanda.
Saat tatapan keduanya bertemu, Elanda tersenyum puas ke arah Lita, "Nah kalau udah begini, jadi lebih tenang, kan?" Ucapnya dengan sumringah. Lalu kembali menanggalkan sebuah kecupan singkat yang manis. Sementara Lita mematung dengan perasaan campur aduk.
"M-modus! Katanya ada sisaan makanan di dagu saya! Tapi bapak malah cium-cium saya. Dasar kang modus!" Tuding Lita menunjuk-nunjuk hidung Bosnya itu dengan suara bergetar.
"Memangnya saya bilang sisaan makanan? Coba cerna lagi dialog saya tadi. Saya cuma bilang ada sisaan." Ujar Elanda yang membuat Kita berseru dalam hati bahwa itu hanya alasan.
"Ya tapi intinya Bapak bilang ada sisaan! Sisaan ya sisaan apa lagi kalau bukan makanan?" Tanya Lita berusaha mencari pembenaran.
Elanda terkekeh renyah, "Sok tahu. Kan saya yang lihat. Maksud saya, sisaan itu, sisaan ciuman saya. Terlihat jelas dari sini, tapi kayaknya mulai luntur, makannya biar enggak luntur saya timpa lagi pakai ciuman." Ungkap Elanda yang seketika membuat Lita merasa bahwa hati dan otaknya meledak bersamaan.
Namun cara itu benar-benar berhasil membuat Kita akhirnya diam dan tidak lagi menggerutu.
"Oh iya karena kita ga bawa baju, nanti kita mampir beli baju dulu. Kamu juga nanti cari baju dalaman yang bagus, ya. Mau pakai Lingerie juga enggak papa. Saya suka kok lingerie." Ungkap Elanda yang seketika membuat Lita ternganga.
"L-lingerie?!"