"Maksud kamu?"
Lita merasakan rasa tidak nyaman dari nada bicara ibunya.
"Lita cuma ingetin Mama, Mama udah lima puluh tahun dan Pak Elanda itu tiga puluhan, Mama pikir Pak Elanda suka daun tua?" Lita terdiam menatap ibunya, namun dalam hati ia merasakan perasaan tidak nyaman yang amat mengganggu. Hatinya bergemuruh dengan gelombang kegundahan dan kesedihan yang kuat. Ia tahu bahwa sindirannya cukup keterlaluan, tapi sindiran itu menggelincir begitu saja dari bibirnya. Ia mungkin sudah menjadi anak durhaka. Tapi ia tidak akan bersikap seperti itu, jika ibunya tidak membohonginya.
Sang ibu menatap nanar, "Kamu mau nyebut Mama tua?"
Melihat keadaan yang tegang, Harry menghampiri ibu dan anak itu khawatir, dua tangannya memegang masing-masing pundak wanita yang memiliki keterikatan hubungan darah itu.
"Kamu ngomong apa sih, Beb, sama Mama? Kenapa Mama jadi marah?" Tanya Harry mengawasi Lita dengan tatapan tajam menuntut penjelasan.
Lita mengepalkan tangannya kuat, lehernya terasa panas, begitu pun hati dan otaknya. Inilah yang membuatnya tak ingin bertemu Harry atau ibunya, ia sudah menduga bahwa keadaan ini akan terjadi. Ia akan terperangkap pada perdebatan yang membuatnya terlihat bersalah.
"Lita! Aku lagi nanya sama kamu!" Bentak Harry menekan pundak Lita. Lita tak tahan. Ia ingin menepis tangan pria itu, memaki dan mengatakan bahwa ia tahu perselingkuhan sialan itu. Ia ingin memberi tahu bahwa gadis yang ia sebut bodoh dan akan ia manfaatkan, mendengar semua percakapan dan desah menjijikkan di toilet itu. Lalu ia akan mengakhiri dengan menampar wajah Pria ini kuat.
Memakinya sebagai pria yang tidak bermodal karena menginginkan harta Lita, bahkan tak memiliki uang untuk sekedar check-in di hotel sekelas hotel kapsul dan melakukan aksi mesumnya di toilet restoran. Mengumumkannya di speaker kantor membuat seisi kantor menertawakannya.
"Kamu bukan Bapak aku, ya!"
Harry melepaskan pegangannya pada pundak Lita, menatap terkejut atas bentakan Lita. Kenapa hari ini Lita terus bersikap aneh? Mungkinkah Lita benar-benar sudah mengendus suatu kejanggalan dari kedekatan Harry dan Mamanya? Harry mulai merasakan panik menyerang, ia melirik Ibu Lita dan mendapati tatapan keterkejutan yang sama dengannya.
"Berisik!" Lita membentak ke arah belakangnya saat mendengar bunyi klakson nyaring dari mobil Elanda. Napas Lita terlihat naik turun berat, netranya memerah dengan tangan yang mengepal.
Orang-orang yang berlalu lalang di area lobby gedung itu menatap Lita yang dikelilingi kabut emosi dengan tatapan beragam. Ada yang menatapnya aneh seperti makhluk asing yang baru menapaki bumi, ada yang menatap sinis karena terkejut, ada yang menatap kaget, bahkan ada yang sempat-sempatnya mengambil gambar dan video dari situasi itu. Dan Elanda mengenal bahwa bajingan kecil yang mengambil video itu adalah salah satu karyawan dari divisi yang sama dengan Lita.
Elanda menggenggam stir mobilnya kuat-kuat. Ia salah mengira bahwa Lita sudah baik-baik saja. Ia pikir senyuman tadi adalah gambaran situasi hati Lita, ia bahkan sudah merasa bangga karena berhasil membuat gadis itu tersenyum saat harus menghadapi dua orang yang menyakitinya. Namun ternyata ia terlalu percaya diri, mungkin saja Lita tadi hanya berusaha kuat di hadapannya. Tapi ia bahkan tidak bisa merasakan apalagi melihatnya. Ia tidak sedikit pun mengenal Lita.
Suara bantingan pintu terdengar, Elanda melangkah cepat ke arah Lita, menarik kuat tangan yang masih mengepal karena amarah hingga tubuh Lita berputar arah menatapnya.
"Saya sudah bilang untuk tidak membawa masalah pribadi ke kantor! Baru beberapa detik yang lalu saya mengevaluasi, belum kering bibir saya setelah menegur kamu sama Harry, dan sekarang kamu bikin keributan di depan kantor saya?" Tanya Elanda menentang tatapan gadis dihadapannya ini yang sepenuhnya telah buta karena amarah dan dendam.
"Saya sudah memperingati kamu, bahwa kamu dapat perhatian lebih dari saya atas apa yang kamu lakukan. Dan kamu sudah membuat kekacauan yang lain. Bisa kamu katakan sama saya hukuman yang pas untuk kamu apa?" Tandas Elanda.
Lita tidak bergeming, tatapannya masih terkunci pada Elanda. Sial, ia kira ia bisa mengendalikan emosinya, ia sudah mengatakan pada dirinya sendiri dengan begitu yakin, bahwa ia akan membuat rencana balas dendam yang hebat pada dua orang ini.
Tapi bagaimana ia bisa membuat rencana yang luar biasa sementara ia sedikit pun tidak bisa menguasai emosinya?
"Hapus air mata kamu dalam lima belas menit. Jika kamu tidak berhasil dan berani tunjukkan wajah nangis kamu di depan tamu meeting saya, saya akan memecat kamu."
Elanda melirik dua orang yang berdiri canggung di belakang Lita. Ia melirik Harry cukup lama sebelum hendak mengatakan sesuatu.
"Saya juga sudah memperingati kamu, Harry, untuk tidak membawa masalah pribadi di kantor. Tapi sekarang lihat apa yang terjadi. Bahkan belum satu hari lewat dari saat saya menegur kalian."
"Maafkan saya, Pak." Ujar Harry tertunduk.
"Kamu mau terus emosi kayak kucing liar di sana, atau ikut saya?" Tanya Elanda melirik Lita yang tidak bergerak dari tempatnya.
"Maafkan saya, Pak." Ujar Lita pelan.
"Saya enggak akan menerima permintaan maaf kamu. Saya lihat kamu membuat ibu kamu marah, sebaiknya kamu minta maaf. Terus sepulang kantor coba kamu cari solusi. Sekarang bersikaplah profesional." Ujar Elanda lalu menarik tubuh Lita dengan tangannya untuk meminta maaf pada sang ibu.
"Minta maaf, nanti sepulang ngantor kamu selesaikan masalah kamu." Titah Elanda yang membuat Lita tidak bisa menyanggah apalagi menolak.
"M-maafkan Lita, Ma." Ujar Lita pelan. Tak ada jawaban terdengar, membuat Elanda melirik ibu Lita penasaran apakah ibu itu akan menolak permintaan maaf anaknya ini atau sebaliknya menerima begitu saja dengan lapang dada?
"Enggak papa, benar kata Pak Bos kamu, kita harus bahas masalah ini di rumah. Saya juga minta maaf Pak karena kami jadi buat keributan." Ibu Lita menggeser arah berdirinya hingga menghadap Elanda, lalu menunduk untuk meminta maaf secara tidak langsung. Elanda mengangguk sekilas.
"Kalau begitu, ayo pergi. Kamu udah buat saya hampir telat." Ajak Elanda kali ini tanpa menggenggam tangan Lita. Sementara Lita hanya bisa mengekor tanpa suara. Ia jadi lebih tenang dan memilih untuk diam. Dan keadaan itu membuat Elanda juga canggung, tidak tahu apa yang sebaiknya ia katakan agar situasinya menjadi lebih baik.
Mobil Porsche tipe 198 Spyder itu melintas di jalanan seperti kumbang yang melesat di atas udara. Bunyi desingan halus, memberi sensasi yang terasa nyaman bagi Lita, karena sedari tadi keheningan menjadi satu-satunya hal menemani mereka. Lita membenci situasi seperti ini. Tapi ia sadar bahwa ialah penyebab terjadinya keadaan ini. Dalam keheningannya, ia melirik Elanda yang fokus dengan jalanan, saat lampu merah memberhentikan mereka, Lita berharap Elanda akan mengambil waktu untuk berbicara padanya, tapi Elanda memilih telepon genggamnya membuat Lita merasa sedih tanpa sebab.
"Maaf Pak, saya pasrah aja kalau Bapak mau berhentiin."
Dalam keadaan hening itu Lita tiba-tiba mengatakan hal yang membuat Elanda meliriknya tak senang.
"Kamu emang harus diberhentiin. Hari ini, kamu saya berhentikan."