Pria berambut kecoklatan itu menyesap kopinya resah. Latte dengan kopi spesialti dari Sumatra, ditambah susu creamy yang di-steam lembut, biasanya menjadi obat terbaik untuk menenangkannya, tapi kali ini setelah ia menghabiskan gelas keduanya pun, moodnya tidak kunjung membaik, malah ia mendapati rasa kesal semakin bergelayut di hatinya.
"Kamu lihat kan reaksinya tadi? Kamu yakin Lita enggak tahu soal apa yang kita lakuin dibelakang dia?"
Keadaan hatinya semakin memburuk karena wanita tua di hadapannya ini terus menyodorinya pertanyaan yang tak ingin ia dengar. Ia tengah berusaha menenangkan hatinya sendiri, namun wanita ini malah mengacaukan usahanya dengan terus mengoceh hal-hal yang tidak ingin didengarnya.
"Kamu bisa diem dulu enggak? Aku juga lagi mikir ini!" Akhirnya pria itu membentak. Ia tidak bisa lagi membendung kejengahannya pada ocehan wanita dihadapannya itu.
"Aku bukan minta kamu mikir, aku tanya kamu lihat ekspresi Lita enggak, tadi? Dia nyindir kita! Enggak, dia itu nyindir aku. Dia bilang aku suka daun muda tapi aku enggak sadar kalau aku daun tua. Dia bilang daun muda enggak bakal tertarik sama aku, karena aku tua!" Wanita itu terus sibuk dengan celotehannya sendiri.
"Terus dia bilang kalau apa yang kamu lakuin ke aku itu sama kayak kamu lakuin ke Mama kandung kamu. Dia jelas-jelas nyindir kita! Dia pasti tahu kejadian di toilet semalam, dia pasti tahu kita selingkuh! Sayang! Kamu nyimak enggak sih aku ngomong apa?!" Tanya wanita itu saat menyadari bahwa orang yang ia panggil dengan sebutan sayang itu tidak kunjung bereaksi atas gerutuannya.
"Maya, bisa diem dulu enggak sih? Terus kamu itu kalau mau manggil sayang-sayangan, lihat tempat sama situasi dong. Kita lagi di kantin kantor, gimana kalau ada yang dengar? Terus laporin ke dia?" Pria itu menyisir rambutnya dengan jari tangan, raut frustrasi bercampur kesal tergurat jelas di wajahnya.
"Lita itu orang yang meledak-ledak emosinya. Kalau dia udah tahu kita selingkuh, seharusnya dia bakal langsung putusin aku atau bongkar perselingkuhan kita pas dia lihat. Tapi dia enggak lakuin itu." Harry mengusap dagunya dengan jari, tatapannya fokus pada kopi di hadapannya, namun pikirannya berusaha mengingat setiap detail kejadian hari kemarin. Mungkinkah ia harus menemui pemilik restoran dan bertanya apakah di malam itu Lita sebenarnya datang?
"Lita dulu pernah juga marah-marah enggak jelas, kayak gini. Dan itu gara-gara stress ngerjain proposal dan ngehadepin Bosnya."
"Bosnya yang tadi?" Tanya Ibu Lita memastikan.
"Iya. Bos paling sok, cuih." Hina Harry, teringat tadi pagi Elanda yang menegurnya di ruang smoking room juga menghinanya di depan Lita. Itu adalah penghinaan paling buruk yang terjadi padanya. Di hina di depan kekasihnya sendiri.
"Aku bakal cari tahu nanti soal Lita. Kamu juga korek informasi tentang Lita. Cari tahu kalau Lita udah tahu soal perselingkuhan kita, atau belum." Ujar Harry memberi arahan pada Maya, ibu dari Lita.
Maya mengepalkan dua tangannya menatap Harry serius, "Pasti. Tapi aku mau tanya satu hal," Maya menghela napasnya, terlihat ragu dengan apa yang ingin ia katakan, "Kalau Lita memang udah tahu perselingkuhan kita, apa yang bakal kamu lakuin? Kamu bakal pilih aku atau Lita? "
Harry melirik Maya dalam keterdiaman. Maya merasa bahwa baru saja ia menginjak ranjau. Ia merasakan tatapan tak enak dari Harry. Apakah ini pertanyaan yang boleh ia tanyakan?
"Kamu nanya apa sih Yang, ya aku tetap pilih kamu dong. Kan aku udah bilang, kalau Lita itu cuma alasan supaya aku bisa ketemu kamu."
Maya menarik napas lega, Harry menjawab pertanyaannya dengan nada yang tenang. Tidak seperti dugaannya. Semula, ia berpikir, mungkin Harry akan membentak dan marah dengan pertanyaan yang dilontarkannya.
"Tapi, kamu bisa bayangin gimana canggungnya aku nanti kalau jadi Papa Lita, sementara aku itu mantan tunangannya? Menurut kamu, kira-kira Lita bakal mau panggil aku dengan sebutan Papa? Dia enggak akan canggung atau musuhi aku?"
Harry menatap Maya "Sementara kalau aku tetap nikah sama Lita, aku tetap bisa berhubungan sama kamu dengan baik, enggak bakal ada musuh-musuhan. Ini cuma masalah waktu, sampai kita bisa bersama-sama. Kecuali kamu memang mau kita putus."
Senyum Maya luntur saat mendengar kelanjutan ucapan Harry. Nada bicara Harry pun terdengar berubah rendah, Harry tidak hanya sekadar berbicara. Ia terdengar serius bahkan sedikit mengancam.
"Kamu ngancam aku?" Tanya Maya. Suaranya bergetar sementara netranya memanas.
Harry menyipitkan netranya, mendengus pelan dan membuang tatapannya sekilas, "Kamu nuduh aku?" Harry menyesap kopinya lalu beranjak dari kursinya, "Udahlah, enggak ada gunanya bahas ini kalau kamu ternyata emang enggak percaya sama aku. Mending kita putus."
Maya mengangkat wajahnya, kali ini bulir-bulir bening sudah berjatuhan di pipinya. Membuang pikiran dan tuduhan negatifnya pada Harry, ia menarik tangan Harry, mencengkeram erat tak ingin melepaskannya pergi.
"Enggak, aku enggak mau putus. Aku enggak mau kehilangan kamu."
Harry yang sudah bersiap pergi melirik Maya yang menatapnya dengan untaian air mata, "Aku juga. Makannya kamu harus percaya sama aku. Nah, sekarang kamu bayar kopi ini ya. Jam istirahat aku udah habis. Aku mesti balik ke kantor." Ujar Harry menepuk pundak wanita yang masih berusaha tersenyum seraya menghapus jejak-jejak air mata di pipinya.
"Oke. Sayang, kamu enggak mau peluk aku?"
"Maaf sayang, enggak bisa. Biasanya di sini ada karyawan kantor yang nongkrong. Aku enggak mau ada yang laporin hubungan kita ke Lita. Kamu paham kan?" Tanya Harry dengan senyum, Maya terdiam lalu ikut tersenyum meskipun terpaksa.
"Pinter! Oh ya karena aku lagi stress aku nambah latte sama cake ya. Nanti aku masukin ke tagihan kamu, enggak papa kan?" Tanya Harry dengan senyum, Maya mengangguk dan kali ini ia benar-benar merasa tenang karena sepertinya mood Harry sudah membaik, pria itu sepertinya sudah tidak marah lagi.
"Oke, aku duluan ya...." Pamit Harry
"Oke. semangat ya, kerjanya!" Balas Maya mengelus punggung tangan pria yang memiliki jarak usia jauh dengannya itu. Detik selanjutnya ia melihat pria itu melangkah keluar kafe.
Maya terdiam seraya mengelus mulut gelas kopinya. Hitam pekat kopi long black itu seakan menyedot perhatiannya. Permukaan kopi yang terdapat gelembung-gelembung kecil seakan merefleksikan sesuatu di sana. Gelembung itu memutar memori kilas balik yang tak diundangnya.
"Kamu perasaan telponan mulu Ta, telponan sama siapa sih, pacar ya?" Maya meledek anak gadisnya yang baru saja selesai melakukan panggilan dengan seseorang. Panggilan itu terdengar begitu mesra dan intim, sebagai orang tua yang juga pernah melalui masa muda, ia tidak bodoh untuk tidak menyadari bahwa anak gadisnya itu sedang dilanda kasmaran.
"Ih Mama apaan sih," gadis dengan wajah ceria itu merenggut malu-malu.
"Apanya yang apaan? Kamu udah gede, udah waktunya pacaran. Mama enggak bakal larang." Ujar Maya tersenyum hangat.
Gadis itu memutar bola matanya, terlihat menimbang, "Um Lita bakal kenalin, tapi nanti kalau udah jadian. Sekarang Lita kasih tahu aja ya namanya." Lita menutup wajahnya dengan telepon genggam, "Namanya Harry Januardi. Dia satu perusahaan sama Lita tapi beda divisi. Ini fotonya." Ujar Lita seraya menunjukkan foto seorang pemuda bertubuh tinggi, kurus namun terlihat cukup tampan di mata Maya.
"Wah lumayan ganteng," puji Maya.
"Nanti Lita kenalin ya Ma, Lita mau dengar pendapat Mama gimana."
Maya memejamkan netranya berat. Ia benci memori itu, jika ia bisa meminta pada Tuhan secara langsung, ia akan meminta Tuhan untuk menghapus memori itu.
Tapi ia tidak bisa. Ia hanya bisa melanjutkan langkahnya, menuai apa yang ia tanam.