Setelah kejadian hari itu, Athala jatuh sakit dan banyak bergumam hal yang aneh. Binar yang sedang bersamanya terus di salahkan oleh Athur dan Athaya, tetapi dia tetap Binar.
"Lagipun dia yang maksa ikut, kenapa aku yang kalian salahkan?" desak nya kesal,
Dia bahkan tidak tau bahwasannya Athala akan selemah itu, lagipula dia tidak membunuh bukan? Hanya memberikan pelajaran kepada orang menyebalkan itu.
"Karena lo yang bikin dia balik lagi ke rumah sakit, lo yang harus jagain dia."
Binar membulatkan matanya, tidak ada yang bisa dia lakukan dalam merawat orang sakit.
"Tap—"
"Gak ada tapi tapian, gue sama Athaya sibuk. So, lo yang harus stay disini,"
"TAPI! F U!"
Binar berteriak kesal pada dua manusia yang baru saja meninggalkan ruangannya, dia tidak tau harus apa. Menangani orang sakit? dia sendiri saja jarang sekali jatuh sakit, terakhir kali saat umur lima tahun itupun hanya batuk pilek saja.
"So, aku harus apa?" gumamnya,
Fyi, Binar sudah benar-benar mencoba untuk berhenti dari pekerjaannya. Dia benar-benar memutuskan untuk berhenti karena ketidaknyamanan mulai terasa terlebih lagi dia berkuliah di Universitas umum negara Jerman yang pasti membuatnya harus tetap bergaul Karena pribadinya yang tidak terlalu pendiam. Tetapi itu belum terealisasi karena harus mempunyai izin dari pria tua yang paling Binar benci itu. Tidakkah ia baru sadar bahwa keluarganya adalah kelompok manusia yang mengekang dan bodoh? Benar bukan?
Saat sedang mengeluh kesah di dalam pikirannya, Binar mendengar lenguhan dari Athala yang terbaring di atas brankar rumah sakit. Dia pikir pria itu bangun dari tidurnya, tetapi ternyata Athala sedang mengigau.
"Tolong, jangan ~" rintih nya berkali-kali,
Binar tidak tau harus bagaimana, mendengar itu saja dia langsung panik. Tangannya menekan tombol untuk memanggil perawat, dan dia langsung mendekat ke arah Athala.
"Tha...." panggilnya pelan,
Athala masih mengigau dan beberapa kali seolah-olah mengedipkan mata tetapi dalam keadaan terpejam.
"Apa separah itu trauma nya?" tanya Binar panik,
Saat tenaga medis datang, Binar memundurkan tubuhnya membiarkan perawat yang menyelesaikan urusan mengigau milik Athala.
Entah bagaimana Athala menjadi masuk ke rumah sakit padahal trauma nya mungkin ringan karena dia tidak menyaksikan dengan jelas, tetap saja kenapa dia ada di rumah sakit? Bukankah jika memiliki masalah trauma harusnya datang ke bagian psikis atau konsultasi langsung ke psikiater?
Arthur yang mendengar kabar Athala siuman pun langsung menuju ke rumah sakit dengan pakaian ala kadarnya.
"Firasat gue gak enak pas nitip ini anak ke lo, ternyata bener."
Binar mengernyitkan dahinya merasa tidak adil, apa Athala menceritakan bahwa dia membunuh seseorang di depan matanya atau bagaimana? Bagaimana bisa Arthur yang dari kemarin tidak berani menatapnya dan meminta follow back ke akun instagram miliknya mendadak berubah menjadi manusia dingin es ini.
"Aku bahkan hanya diam tidak melakukan apapun," gumam Binar merasa terus disalahkanya.
Dia tidak memiliki keluarga yang ramai, dia tidak punya saudara, dia tidak punya orang tua yang perhatian, dia tidak punya kakek dan nenek yang harus dia kunjungi saat liburan, tidak ada. Jadi, saat banyak orang mendadak ingin dekat dengannya dan mengakrabkan diri, itu suatu keberuntungan. Tetapi benar saja, ketika dia atau mereka mengenal Binar lebih dalam, satu bahkan seluruh pasukan mereka akan menghilang dalam sekejap. Jangan pikir dengan identitas yang dikenal publik menjadikan Binar manusia yang kuat mental.
"Kalau begitu tandanya aku gak dibutuhkan lagi bukan? So, aku bakal balik ke apart."
Binar melenggang, persetan dengan segala masalah trauma milik Athala. Menurutnya melakukan hal itu bukanlah sesuatu yang menegangkan. Yang menegangkan adalah ketika harus menjerat elang tepat di sarangnya langsung.
***
Tadi, Binar benar-benar pulang. Dia kembali ke Apartemennya karena sejak kemarin dia tidak pulang, tapi meskipun dia tidak kembali tak ada yang mencarinya karena dia hidup sendirian. Berbeda dengan orangtuanya yang tinggal nomaden dan terus berpindah tempat.
"Malam ini kayaknya bakal hujan deras," Binar berjalan menutup hordeng.
Malam dengan hujan disertai petir adalah hal yang paling menakutkan, dan Binar sendiri.
Dia masuk ke kamarnya dan membersihkan tubuhnya sebentar, kemudian duduk di depan laptop dengan earphones dan camilan yang mengelilinginya. Tangannya bergerak lincah menelpon seseorang, tidak lain itu adalah Farhan. Mengganggunya saat jam-jam begini sangat menyenangkan.
Panggilan tersambung, Binar terkejut saat pria itu memanggilnya dengan keras. Kemudian dia tertawa, tetapi wajahnya langsung berubah.
"Lihat prakiraan cuaca, malam ini akan datang hujan dengan petir. Apa kau disana baik-baik saja, atau aku atau Marcel perlu menghampiri mu?"
Binar terdiam, tangannya menggenggam ponsel dan membuka prakiraan cuaca.
"Malam ini, pukul delapan malam."
Saat melihat jam digitalnya menunjukkan pukul setengah delapan, tidak mungkin untuk Farhan atau Marcel menghampirinya.
"Ngga apa-apa, lagipula udah kedap suara," sahut Binar dengan santai, ralat. Mencoba santai, dan tidak mengkhawatirkan.
"Ada apa lo nelpon gue?" tanya Farhan,
"Random aja, gangguin kamu belajar," jawab Binar,
"Lagi gak belajar, udah pinter." sahut Farhan dengan wajah datarnya, sedari tadi dia berkutat dengan buku tetapi tiba-tiba sambungan telpon masuk dan akhirnya meninggalkan Buku-buku tadi.
"Marcel bakal marah kalau tau aku main laptop, see you next tima Neve. Kalau ada apa-apa langsung kabarin,"
"Yah yah, YAH!"
Dimatikan secara sepihak.
***
Binar malam ini terus terjaga menunggu hujan turun dan segala prediksi nya. Dia tidak akan bisa tidur di tengah situasi hujan, jika memang dia tidur, pasti dia akan terbangun dengan keadaan sesak napas seperti habis tercekik. Itu terjadi berulang kali saat Binar lupa dan terlalu lelah, poinnya hanya Binar selalu terkejut berlebihan saat mendengar suara petir. Ketakutan dan Trauma yang dia miliki sejak kecil.
"Awas kalau aku tidur hujannya turun," tukas Binar kesal saat memandang jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan.
Saat mencoba memejamkan mata, Cahaya petir datang dan langsung membuat Binar terkejut. Dia menjatuhkan dirinya ke bawah dengan selimut yang menutupi sekujur tubuhnya. Berkali-kali dia mencoba untuk pergi mengobati keterkejutan nya pada petir, tetapi tidak pernah berhasil dan dia harus hidup dengan situasi seperti ini. Dalam kata lain dia juga memiliki Trauma yang tidak semua orang miliki, dan dia juga merasakan apa yang di rasakan orang lain hanya dia memilih untuk tidak merasakannya.
"AAAAKH!" Binar masuk kedalam lemari pakaian dan meringkuk di sana, tangannya menutup rapat pintu dan terus menutup tubuhnya, dia tidak menangis sampai seseorang datang dan memeluknya dengan erat.
"Itu hanya petir," ucapnya pelan.
"Dia tidak akan membunuhmu,"
Dalam pelukan itu Binar menangis sejadi-jadinya mengingat trauma yang dia alami akibat tragedi hujan petir, kejadian sa seperti hari ini. Traumanya—