"Jika saja aku bisa mengulang waktu, mungkin aku bisa mengubah garis takdir kita menjadi lebih baik lagi." —Arina Beliza Arcadian.
***
Tidak ada pesta, tidak ada gedung bertingkat mewah, dan tidak ada kerumunan manusia. Hanya ada ruangan yang cukup luas, dengan pilar-pilar yang menjulang tinggi yang berhiasi ukiran dinding yang amat apik.
Kemudian pintu terbuka lebar, menunjukkan sepasang mempelai yang tengah memasuki ruangan diriingi dengan dentingan piano waltz. Senyuman retorikal terukir di kedua bibir itu seiring dengan langkah tegapnya memasuki ruangan.
"Kau benar-benar yakin akan melakukan ini?" bisik lelaki itu ketika merasakan getaran dari tangan sang calon istri. Diliriknya ujung-ujung ruangan, menangkap sosok-sosok manusia yang menatapnya dengan sinis.
"Ya. Aku … tidak akan menarik ucapanku," bisik gadis itu dengan pelan. "Aku … sudah tidak punya waktu lagi."
Lelaki itu kini melirik calon istrinya. Wajah gadis itu sedikit memerah dengan nafas yang sedikit tersenggal-senggal. Bukan karena malu ataupun gugup. Tetapi karena adanya gejolak dari dalam tubuh gadis itu yang membuatnya menahan diri.
[Dia … sudah berapa lama tersiksa seperti ini?]
Langkah itu terhenti ketika mereka telah berada di tengah ruangan, menghadap pada seorang lelaki tua berjubah biru. Lelaki tua itu berdeham sebelum mengangkat tangannya dan menatap keduanya secara bergantian.
"Wahai Pangeran Kedua Elderian, Arthur Charleson De Elderian," suara lelaki tua itu tertahan sebelum melirik pada gadis yang ada di hadapannya. "Serta Putri Pertama Arcadian, Arina Beliza Arcadian."
Sringgg!
Sebuah lingkaran sihir muncul dari tempat mereka berpijak. Bersinar amat terang dengan hembusan angin yang mulai mengelilingi mereka.
"Apakah kalian bersedia bersumpah … akan saling mengasihi dan menjaga satu sama lain sebagai pasangan sehidup semati?"
Sepasang mempelai itu kini saling berhadapan sambil bergengam tangan, bertatapan satu sama lain seolah berkomunikasi lewat kontak mata. Arthur, lelaki itu dapat melihat wajah Arina yang semakin memerah, membuatnya semakin mengeratkan genggamannya.
[Maafkan aku, Arina.]
Sementara sang gadis hanya tersenyum dan mengangguk, mengisyaratkan apa yang telah mereka sepakati sebelumnya.
[Tidak ada yang perlu disesali. Karena aku sama sekali tak akan menyesal.]
"Kami bersedia," ucapan itu akhirnya terucap dari bibir mereka secara lantang. "Sampai maut memisahkan!"
Whuussshh!
Lingkaran sihir itu bersinar semakin terang, diiringi dengan pusaran angin yang mengelilingi keduanya. Tatapan Arthur terkunci pada kedua iris Arina yang berangsur merah. Arina menyentuh pipi itu dengan salah satu tangannya, menariknya mendekat dan menyatukan kedua kening mereka.
"Maaf dan terimakasih, Arthur," bisiknya sebelum mengecup bibir itu dengan pelan.
Sepasang mata Arthur terpejam seiring dengan adanya gejolak aneh yang merasuki dalam tubuhnya. Tanpa sadar, sebuah symbol lingkaran dengan ukiran kelopak bunga di dalamnya terukir di punggung tangan kirinya.
Begitu kecupan mereka terlepas, pusaran angin itu pun berangsur mereda. Kemudian Arthur membuka matanya dan terbelalak ketika melihat sepasang iris Arina yang berubah warna.
Bukan sepasang iris merah lagi yang menatapnya. Melainkan merah dan hijau. Dua iris warna berbeda dalam kedua mata Arina.
"Arina …."
"Dengan begini, kamu bukan manusia seutuhnya lagi, Arthur."
Mereka tahu bahwasanya mereka tak akan pernah bisa melangkah mundur lagi.
***
"Andai saja aku bertemu denganmu lebih cepat, apakah sekarang aku bisa merasakan jatuh cinta itu?"— Arthur Charleson De Elderian.