"Tidak ada yang perlu disesali ataupun ditakuti. Karena ini bukan lagi tentang 'aku dan kamu', melainkan tentang 'kita'."
****
Kastil Hijau—julukan atas kastil yang dihuni Pangeran Kedua—itu tampak riuh. Lampu kerlap-kerlip menghiasi pilar-pilar dinding yang kokoh. Para pelayan tampak sibuk mondar-mandir, mempersiapkan kedatangan tuan besar dan istri barunya. Para prajurit telah berjaga sejak siang, menanti tuan besar yang dikabarkan telah berada dalam perjalanan pulang.
Hingga akhirnya penantian itu terbayarkan ketika sebuah kereta kuda dengan lencana kerajaan datang dari arah barat. Sontak, para prajurit berbaris dan menunduk dengan hormat untuk menyambut tuan besar mereka.
Begitu kereta kuda itu berhenti, seorang lelaki bersurai perak itu turun dengan elegan. Tatapan yang tajam dengan lekuk bibir yang datar terukir di wajahnya yang tampan. Kemudian tangannya terulur, membantu sang istri untuk turun dari kereta kedua.
Seorang kepala pelayan langsung menunduk hormat pada kedatangan mereka.
"Selamat datang, Tuan Besar dan … Nyonya Besar. Kami telah menunggu kedatangan Anda."
Arthur melirik kepala pelayan itu kemudian menghela nafas panjang. Sementara Arina hanya terdiam, belum mampu beradaptasi pada budaya yang amat berbeda dari negaranya.
"James," suara Arthur terdengar dingin saat memanggil nama kepala pelayan itu.
"Iya, Tuan?"
"Apa aku barusan mendengar jeda panjang saat kamu memanggil istriku?"
James—kepala pelayan itu langsung meneguk ludah ketika mendapat lirikan tajam dari Arthur. Sontak, James menunduk semakin dalam.
"Ma-Maafkan saya, Tuan dan Nyonya Besar! Saya tidak akan mengulanginya lagi!"
Arthur menghela nafas panjang. Kemudian ia melirik Arina dan mengulurkan tangannya. Karena tidak paham, Arina hanya nurut saja dan menaruh telapak tangannya pada uluran tangan tersebut.
"Dengar, semuanya!" Arthur berucap lantang dengan tatapan tajam.
Para prajurit dan pelayan bergidik, merasa takut dengan suara tuan besar mereka yang amat menakutkan. Bahkan Arina sampai mengerjapkan matanya karena bingung dengan sikap Arthur yang tiba-tiba.
"Sekarang istriku, Arina Beliza De Elderian adalah nyonya besar di kastil ini! Dia adalah Duchess of Elderian. Kalau aku mendengar ada orang yang menyepelekannya, aku tidak akan segan untuk menendang kalian dari sini."
Glek!
"Baik, Tuan Besar!"
Puas dengan balasan mereka, Arthur melenggang masuk. Sementara Arina hanya menggandeng lengannya dalam diam.
***
"Hari yang melelahkan," gumam Arthur saat memasuki kamarnya. Kemudian dia tersenyum retorikal saat Arina menutup pintu kamarnya. "Ah, Arina. Kamu tidak perlu segan lagi denganku. Maaf kalau sikapku membuatmu canggung."
"Apa … aku harus berbicara formal denganmu?" tanya Arina pelan.
"Hmm, tidak. Kupikir selama hanya ada kita berdua di ruangan ini, kamu bebas mengekspresikan dirimu," jawab Arthur sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
Arina tersenyum manis. "Terimakasih, Arthur."
"Santai saja. Di sini tak ada siapapun selain kita berdua," sahut Arthur yang kini merebahkan dirinya. "Oh ya, pasti sangat melelahkan juga kan bagimu? Kalau kamu mau mandi duluan, di sana kamar mandinya."
"Baiklah kalau gitu aku mau mandi terlebih dahulu ya."
Arthur hanya mengangguk. Diam-diam ia melirik Arina yang kini melenggang ke kamar mandi setelah mengambil gaun tidur yang telah disiapkan pelayan. Begitu terdengar bunyi pintu yang tertutup, lelaki itu mengalihkan pandangannya pada ukiran symbol ikatan yang berada di punggung tangan kirinya.
Ukiran symbol lingkaran dengan kelopak bunga di dalamnya. Entah bunga apa yang tergambarkan ataupun arti dari symbol itu, Arthur masih belum paham.
Selama ia hidup, Arthur tak pernah menyangka akan menikahi seorang gadis penyihir diumur ke 20 tahunnya. Apalagi gadis itu adalah seorang Putri Pertama Negara Arcadian yang masih berumur 18 tahun. Bagi kebanyakan orang, pernikahan antara manusia dan penyihir adalah hal yang tabu—amat sangat jarang dilakukan jika mereka tidak benar-benar saling mencintai.
Dan hal tabu itu dilakukan oleh mereka. Sama sekali tidak berlandaskan perasaan cinta diumur yang masih amat belia. Tetapi sebaliknya, garis takdir yang mempertemukan mereka dalam keadaan sulit.
Lagi-lagi, Arthur menghela nafas berat dan memejamkan matanya.
"Apakah … ini pilihan yang benar?"
***
Arina merendamkan tubuhnya dalam bathtub, merilekskan tubuh lelah sedari tadi. Gemericik air menjadi melodi yang berpadu dengan senandung riangnya. Kemudian ia menatap ukiran pada punggung tangan kirinyanya. Simbol yang serupa dengan milik Arthur.
"Ternyata kita mendapat marigold, huh …?"
Arina menghela nafas panjang dan tersenyum sendu. Memikirkan bagaimana takdir mempermainkan hidupnya dengan begitu lucu.
Sekarang gelarnya tak hanya Putri Pertama dari Negara Arcadian, melainkan Duchess of Elderian. Ia tak habis pikir bagaimana sang raja langsung menganugerahinya sebuah gelar penting. Apalagi ia terlahir bukan sebagai seorang manusia biasa, melainkan penyihir pureblood dari negara yang berbeda.
Arina ingat bagaimana ia bertemu Arthur untuk pertama kalinya. Saat dimana mana sihirnya hampir meledak—tak terkontrol lagi. Hanya lelaki itu yang mampu membantunya mengendalikannya dan menjadi dirinya kembali seutuhnya.
Hanya Arthur. Lelaki yang telah ditakdirkan untuknya.
"Aku sama sekali tak menyesal," gumam Arina pelan seraya menyentuh ukiran symbol tersebut. "Kenapa saat itu kamu menanyakan hal seperti itu?"
Tatapan tajam dan nada dingin Arthur yang seringkali ditakuti orang-orang sama sekali tak menggoyahkan hatinya. Bahkan julukan 'Shinigami' yang melekati diri Arthur di medan perang itu pun sama sekali tak membuat Arina takut.
Ia telah jatuh hati pada pangeran dingin itu tepat ketika pandangan mereka bertemu untuk pertama kalinya—dan ia telah sadar siapa manusia yang telah ditakdirkan bersama untuknya.
Arina tersenyum dan mengecup punggung tangannya itu. "Aku tak menyesal jika itu kamu, Arthur …"
****
"Apa kamu benar-benar tidak apa-apa, Arina?" tanya Arthur saat ia tengah duduk menunduk di tepi kasur. Handuk putih masih mengalungi lehernya yang basah sejak ia selesai mandi.
"Apanya yang tidak apa-apa?" tanya Arina tak paham. Ia mengalihkan pandangannya dari majalah yang tengah ia baca. "Maksudmu soal pernikahan ini?"
Arthur mengangguk. "Iya."
Arina terdiam sejenak, mengamati punggung tegap yang membelakanginya. Gadis itu menghela nafas panjang dan beranjak dari kasur. Kemudian menghentikan langkahnya tepat di depan Arthur.
"Lihat aku, Arthur," bisik Arina.
"Apa?" Arthur mengangkat kepalanya.
"Lihat aku saat kita membicarakan persoalan ini, oke?" ucap Arina sambil membelai kedua pipi itu, memaksanya secara halus untuk melihat kedua matanya.
Arthur hanya terdiam, menunggu istrinya melanjutkan ucapannya.
"Aku sama sekali tidak menyesal karena itu kamu, Arthur. Berapa kali aku harus mengulang supaya kamu percaya?" ucap Arina dengan lembut. "Sekalipun kamu belum mencintaiku pun, aku tidak apa-apa. Berada di sisimu saja sudah membuatku bahagia."
Arthur terdiam sejenak, seperti memikirkan hal lain. Ada hal yang ia sedikit takuti daripada perasaan wanita ini. Pasalnya, pernikahan mereka tidak sesederhana yang orang lihat.
"Tapi … mana sihirmu—"
"Iya. Sebagian mana sihirku sekarang telah berada di dalam tubuhmu. Bukankah tadi aku telah mengatakannya tepat setelah kita terikat dengan symbol ini?"
Arthur kembali terdiam seolah terhipnotis pada kedua iris hijau itu. Tapi kemudian ia tersentak dan segera meraih tangan Arina. Wajahnya seketika berubah panik.
"Tunggu—iris matamu! Sejak kapan menjadi warna hijau?"
"Tenanglah," ucap Arina seraya terkekeh pelan. "Iris mataku tidak melulu berwarna merah. Sekarang, iris merah hanya akan menandakan bahwa aku sedang menggunakan sihirku. Begitu pun dengan kamu."
"Eh? Aku?"
"Iya. Ah, benar juga ya. Kamu tidak bisa bercermin saat iris matamu juga berwarna merah tadi."
Arthur mengerjap pelan. Ia baru tahu kalau pernikahannya dengan seorang penyihir bisa merubah kehidupannya. Arthur mengira cerita seperti itu hanya ada di dongeng jaman dahulu yang selalu ia baca. Tapi siapa sangka kalau ternyata dia akan mengalaminya sendiri?
Sekarang ia bukan lagi seorang manusia biasa. Selama symbol itu masih mengikat diri mereka, ia tak akan lagi menjadi manusia biasa seutuhnya.
"Tapi … aku tak tahu agar bisa mencintaimu," bisik Arthur seraya tersenyum pahit. Ia menunduk dan mencengkram bajunya. "Karena dari dulu pun, hanya ada kekosongan di sini. Kamu sudah tahu itu kan, Arina?"
"Aku tahu itu, Arthur," balas Arina seraya memeluk Arthur lembut. Merasakan hembusan nafas yang menggelitiki kulit lehernya. "Tapi aku sama sekali tidak menyesal bisa bersamamu sekarang."
Karena sejujurnya, Arina telah mengetahui garis takdir mereka jauh sebelum hari ini tiba. Wanita itu bisa melihatnya dengan jelas bahwa garis kutukan telah menyelami diri Arthur dan takdir mereka di masa depan.
Tapi ia yakin, tidak ada yang perlu disesali untuk saat ini.