Chereads / Veracious Hearts / Chapter 3 - Si Pangeran Es Elderian

Chapter 3 - Si Pangeran Es Elderian

"Kata mereka, dia adalah seseorang yang berhati dingin. Tapi bagiku, dia hanyalah seorang manusia yang berusaha memahami apa yang dirasakan orang-orang."

******

Pukul delapan pagi, Arina terbangun dengan sendirinya. Ia mengedarkan pandangan, tak menemukan jejak suaminya. Hanya ada sepucuk kertas di meja tidur yang berisikan pesan singkat dari Arthur.

'Jangan lupa sarapan. Aku sudah mengutus pelayan pribadi untuk membantumu. Jika kamu ingin menemuiku, aku berada di arena latihan.' —Arthur.

Arina tersenyum dan menghela nafas panjang. Wanita itu menyeka poninya yang berantakan kemudian menyandarkan tubuhnya sejenak, memikirkan apa yang telah terjadi dalam waktu singkat ini.

Kemarin, ia telah menikah dengan seorang pangeran kedua, sekaligus berbagi mana sihir ke dalam tubuh manusia itu. Kemudian ia diberikan gelar langsung oleh paduka raja dengan gelarnya 'Duchess of Elderian'. Lalu semalam, hanya ada percakapan panjang sampai Arina lupa bagaimana ia bisa tertidur.

Iya, hubungannya begitu platonic tanpa adanya adegan panas yang biasanya terjadi setelah pernikahan.

Arina menghela nafas panjang dan merenggangkan tubuhnya. Sejujurnya ia tak keberatan karena Arthur sangat menghormati dirinya. Lelaki itu tak ingin dianggap mengambil kesenangan semata dan mereka pun telah sepakat untuk membicarakan hal ini di lain waktu. Jadi bukan masalah untuknya sekarang.

[Lagipula umurku masih 18 tahun. Yah setidaknya mungkin masih ada dua sampai tiga tahun lagi untuk hidup]

Tok-tok-tok!

Suara ketukan pintu menyadarkan Arina dari lamunannya. Arina segera menguncir rambut pirang sepunggungnya dan beranjak dari kasurnya.

"Masuk!"

"Selamat pagi, Nyonya Arina. Ini saya, James, kepala pelayan kastil hijau," ucap James seraya membuka pintu kamar Arina dan membungkuk hormat. Kemudian di sebelahnya, muncul seorang gadis yang berpakaian maid yang juga membungkuk hormat.

"Saya membawa Lily, wanita yang akan menjadi pelayan pribadi Anda," ucap James seraya mengenalkan Lily dengan salah satu tangannya.

"Perkenalkan, saya Lily, pelayan yang diutus untuk menjadi pelayan pribadi Anda."

Arina terdiam sejenak seraya memperhatikan dua pelayan itu secara bergantian. Kemudian tersenyum simpul dan mengangguk.

"Terimakasih telah memberitahu, James. Ada lagi yang ingin kamu sampaikan?"

"Iya, Nyonya. Setelah ini saya akan menemani Anda untuk mengenalkan kastil ini pada Anda."

"Baiklah, kamu boleh keluar sekarang."

James langsung pamit undur diri, meninggalkan Arina bersama dengan pelayan barunya. Arina tersenyum melihat pelayan yang sepertinya berumur lebih tua darinya.

Lily memiliki tubuh yang setara dengan Arina. Tak terlalu tinggi ataupun pendek. Tak gendut ataupun kurus. Wanita ini memiliki tubuh yang bagus. Bahkan mungkin bisa dibilang cantik jika rambut coklat yang dicepol itu terurai.

"Lily, begitu aku memanggilmu?" tanya Arina seraya mendekat pada wanita itu.

"Benar, Nyonya."

Arina mengangguk. Kemudian membelakanginya dan beranjak ke kamar mandi. "Siapkan gaun untukku, Lily. Aku ingin mandi sekarang."

"Baik, Nyonya. Tapi apakah saya perlu menyiapkan air panas juga?" tanya Lily dengan ekor mata yang mengikuti langkah nyonya besarnya.

"Tidak perlu. Siapkan saja gaunku. Aku ingin mandi sendiri hari ini."

"Baik, Nyonya."

Lagi-lagi Arina tersenyum. Sebelum akhirnya menutup pintu kamar mandi dan membiarkan tubuhnya berendam di dalam bathtub yang dingin.

***

"Sudah berapa lama kamu bekerja di sini, Lily?" tanya Arina ketika Lily menyisiri rambut hitam panjangnya. Gadis itu menatap pelayannya dari pantulan cermin.

"Saya sudah tujuh tahun bekerja di sini, Nyonya."

"Wah, lama juga ya," gumam Arina seraya memanggut-manggut.

Tujuh tahun tentu bukan waktu yang sedikit. Entah apa saja yang sudah Lily rasakan di kastil ini sampai sebetah itu. Tapi jika pelayan ini benar-benar berada di sini selama tujuh tahun, seharusnya dia juga mengenal tuan besarnya dengan baik, bukan?

Arina tersenyum tipis.

"Menurutmu … bagaimana rasanya diperintah oleh tuan besarmu di kastil ini, Lily?" tanya Arina dengan gamblang. "Apa kamu menyukainya? Atau justru sebaliknya?"

Arina merasakan sentuhan tangan Lily berhenti sejenak. Sepertinya wanita itu cukup kaget dengan pertanyaan aneh dari nyonya besarnya. Tapi tak butuh waktu lama sampai tangan pelayan itu bergerak kembali menyisiri rambutnya.

"Maaf, Nyonya. Kami dilarang untuk membicarakan Tuan Besar di belakang. Saya takut jikalau Tuan Besar akan marah ketika membicarakan beliau," ucap Lily dengan sedikit getaran pada ucapannya.

Arina menghela nafas panjang. "Apa julukan 'Pangeran Es' itu masih melekat dalam dirinya di kastil ini?"

"Err … itu … saya tidak pantas menjawabnya, Nyonya. Maafkan saya."

Dari pantulan cermin, Arina dapat melihat mimik wajah yang berubah. Arina jadi merasa tidak enak pada Lily. Tapi di sisi lain, dia juga penasaran dengan sifat suaminya itu. Padahal kemarin bersamanya pun, Arthur sama sekali tidak menakutkan baginya.

"Apa Arthur benar-benar sekeras itu orangnya?"

"Tuan Besar sangat menjunjung tinggi peraturan, Nyonya. Siapapun yang berbuat salah sedikitpun, pasti akan langsung dikenakan hukuman."

Lagi-lagi Arina menghela nafas panjang dan memilih untuk bungkam. Mungkin Arthur memang sekeras itu hingga disegani para pelayan. Atau memang mereka hanya segan jika terlihat di depan saja?

Ah, entahlah. Arina masih belum mengetahuinya. Masih banyak yang harus ia pelajari tentang suaminya ini.

***

Trang! Trang! Trang!

Dentingan pedang yang beradu terdengar amat memekikkan telinga. Di tengah lapangan latihan, Arthur sibuk beradu pedang dengan salah satu ksatrianya. Melatih pergerakan dan kecepatan tangan, serta kemampuan yang telah ia tempa sebelumnya.

"Master hari ini bersemangat sekali," gumam Zeira, salah satu ksatria wanita yang mengamati pertarungan tersebut. "Apa hanya perasaanku atau memang kelincahannya cukup terlihat memukau lebih dari biasanya?"

"Kamu tidak salah. Aku juga merasakan seperti itu," sahut Rheno, salah satu ksatria yang muncul secara tiba-tiba di samping Zeira. "Tapi rasanya senang sekali ya melihat Master membara seperti ini."

Zeira mengerutkan keningnya. "Hmm, apa ini ada hubungannya dengan pernikahannya kemarin?"

"Pernikahan … EH? APA!? PERNIKA—UUMF!"

Zeira segera menyumpal mulut Rheno dengan handuk bau apek sebelum lelaki itu selesai berucap. Alhasil, Rheno memuntahkan handuk itu dari mulutnya dan terbatuk-batuk, sekaligus mendramatisir keadaan.

"Hooeek! Zeira! Kurang ajar! Ngajak ribut ya!?" renggut Rheno dengan kesal. Bolak-balik ia mengusap bibirnya yang terasa asam.

"Lagian sumpah, ya … otakmu itu ditaruh di mana sih?!" keluh Zeira seraya memutar bola matanya kesal. Ia mendengus tak suka. Bisa gawat kalau tuan besarnya mendengarkan apa yang tengah mereka gosipi.

"Haduh kalian ini berisik banget sih. Ini masih pagi loh," sahut Nathan—salah seorang ksatria bersurai perak yang tengah menghampiri mereka dari belakang. "Terus juga Rheno, kenapa reaksimu itu amat sangat berlebihan? Bukannya kamu udah tahu kalau Master kita telah menikah kemarin?"

Rheno mengerjap bingung kemudian hanya membalasnya dengan cengiran tanpa dosa sambil mengusap tengkuknya.

"Aku lupa."

"Bohong. Orang kayak kamu mana pernah tahu info terbaru, hah?" timpal Zeira sambil menyilangkan kedua tangannya. "Padahal cuma libur sehari aja … tapi udah kayak orang norak. Ewh."

"Aku kira itu cuma bercanda, Ra! Memangnya kamu pernah melihat pacar Master sebelumnya, hah? Bahkan julukan 'Pangeran Es' itu masih melekati Master," ucap Rheno sambil setengah berbisik.

Zeira langsung tepuk jidat dan menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Gaya Rheno sekarang sudah mirip dengan para aristrokat tukang gosip itu. Ya Tuhan!

"Julukan 'Pangeran Es' itu menurutku terlalu berlebihan. Kalau mereka tidak melihat langsung sifat Master yang sesungguhnya, aku yakin mereka akan melepas julukan tersebut," sahut Nathan sambil mengendikkan bahu.

"Aku sependapat dengan Nathan. Master tidak sedingin itu kok," tambah Zeira sambil memanggut-manggut. Kemudian ia melirik Rheno dengan sinis. "Memang ya cuma dia bawahan kurang ajar."

"Ra, beneran ngajak ribut ya!?"

"Sudah-sudah. Lebih baik kita melihat latihan Master," sahut Nathan, menengahi seraya merangkul keduanya untuk melihat arena pertandingan. "Lihat, si Lyod sampai terpojok kayak gitu."

Benar saja. Lyod—ksatria yang disebut Nathan itu kewalahan menghadapi serangan dari Arthur. Sementara Arthur tidak memberikan celah sedikit pun bagi Lyod untuk menyerang balik. Dan akhirnya—

TRAANG!

Lyod terjatuh dengan pedang yang terpental jauh. Sementara pedang Arthur tinggal berjarak dua inchi dari batang hidungnya. Lyod menghela nafas berat, kemudian tersenyum paksa dan mengangkat kedua tangannya.

"Saya kalah, Master."

Arthur menarik nafas panjang dan menyarungi pedangnya kembali. Kemudian mengulurkan tangan pada Lyod, membantunya untuk kembali berdiri. Arthur hanya tersenyum dan mengangguk saja ketika Lyod mengucapkan terimakasih.

"Selamat atas kemenangannya, Master. Kami telah membawakan handuk dan minuman Anda," ucap Zeira yang menghampiri Arthur bersama Rheno dan Nathan. Kemudian ia menyerahkan handuk putih beserta sebotol air.

"Makasih," ucap Arthur singkat. Kemudian ia menatap bawahannya secara bergantian. "Kalian kalau mau latihan, latihan saja. Kalau enggak juga tidak apa. Ada yang harus kulakukan sebentar."

"Baik, Master."

Arthur mengangguk sekilas, kemudian meninggalkan keempat ksatria bawahannya. Sayup-sayup suara gosipan itu terdengar sebelum dirinya masuk ke dalam kastil. Tapi karena tak mau ambil pusing, Arthur meninggalkan mereka. Lebih tepatnya membiarkan mereka berspekulasi apa yang menyebabkan kemampuannya meningkat secara drastis.

Arthur masih ingat bagaimana Arina memberitahu tentang kekuatannya sebelum hari pernikahan mereka. Tentang bagaimana sang penyihir membagikan mana sihir pada pasangannya dan bagaimana manusia itu menjadi setengah penyihir.

Arthur melirik ukiran symbol di tangannya. Tanpa sadar, kedua alisnya tertaut.

"Apa … peningkatan ini juga salah satunya?"