Chereads / Veracious Hearts / Chapter 8 - Para Ksatria

Chapter 8 - Para Ksatria

"Aku belajar karena aku tidak paham. Aku tidak mau diam dan terus tidak tahu apa-apa. Apalagi membiarkan para aristrokat itu mencemoohku di belakang."

***

***

Ini sudah pukul delapan malam. Arina baru saja keluar dari ruang perpustakaan setelah mendekam disana selama sepuluh jam tanpa henti. Langkah kecilnya menyusuri kastil hijau dengan perasaan yang berkecamuk. Jujur saja, informasi yang diberikan oleh Lily cukup mengganggu pikirannya serta menambah perasaan cemas tak berujung yang menggelayuti dadanya.

Ah, kalau tahu seperti ini Arina akan menolak mendengarkan informasi itu.

Gadis itu menghela nafas berat dan memijit dahinya yang seketika terasa pening. Tapi dia tidak boleh bersikap seperti ini. Lagipula Arthur juga belum memberikan informasi secara langsung. Ada kemungkinan bahwa lelaki itu akan menolak undangan dari istana. Meskipun kemungkinannya di bawah satu persen.

Lagipula anak macam apa yang tidak mau menuruti permintaan orang tuanya?

"Anda tidak apa-apa, Nyonya?"

Arina mengadahkan kepalanya, menatap seorang lelaki bersurai perak yang menatapnya cemas. Ia mengenakan coat abu dipadu dengan kemeja putih dengan bawahan hitam. Di pinggangnya tersamping sarung pedang panjang.

Ah, lelaki ini seorang ksatria.

"Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ucap Arina seraya tersenyum tipis.

Lelaki itu mengangguk dan membalas senyumannya. Entah mengapa Arina bisa merasakan ada sesuatu yang hendak dikatakan oleh lelaki itu.

"Ternyata Nyonya lebih ramah dibandingkan rumor ya."

Arina hanya terkekeh pelan mendengarnya. Sementara lelaki itu menunduk dan membungkkan sedikit tubuhnya dengan hormat.

"Maafkan saya atas kelancangan saya, Nyonya. Perkenalkan saya, salah satu Ksatria Inti, Nathan McKeth. Senang berjumpa dengan Anda secara langsung," ucap Nathan.

"Wah, ksatria inti? Berarti kamu bawahan Arthur ya?"

"Benar, Nyonya."

Arina memanggut-manggut. Arina ingat kalau kelompok ksatria inti adalah kelompok elite yang dibawahi langsung oleh Arthur. Berarti lelaki ini memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dibandingkan prajurit pada umumnya dan sering menjadi garis terdepan di medan perang.

Arina jadi penasaran, bagaimana Arthur berinteraksi dengan para bawahannya? Apa dia tetap dingin? Atau sikapnya justru berubah?

Ah, tapi ini sudah terlalu malam. Dia tidak boleh melebihi etika berbicara sekarang. Apalagi pada seseorang yang baru saja dikenalnya.

"Baiklah kalau begitu. Kupikir ini sudah terlalu malam jika kita melanjutkan percakapan seperti ini. Selamat malam, Ksatria Nathan."

"Selamat malam, Nyonya."

Arina pun beranjak dari tempatnya dan melangkah menuju ruang kamarnya. Tanpa menaruh rasa penasaran pada Nathan yang masih tersenyum menatap kepergiannya.

***

"Oh, Arina. Kamu sudah balik?" sahut Arthur yang masih sibuk membaca dokumen di tangannya. Diliriknya Arina yang tengah menutup pintu kamar. "Kudengar dari pelayan, kamu menghabiskan waktu sepuluh jam tanpa henti di ruang perpustakaan."

"Iya. Apa itu sesuatu yang buruk?" Arina membalas seolah ia tak membuat suatu kesalahan apapun.

Arthur menghela nafas panjang dan menurunkan dokumennya, tidak terlalu suka dengan ucapan Arina. Ditatapnya Arina yang beranjak ke lemari pakaian, hendak mengganti gaunnya dengan pakaian tidur.

"Tidak. Aku tidak heran kamu bekerja sekeras itu kok," ucap Arthur dengan nada datar. "Tapi kamu perlu istirahat. Setidaknya, jangan biarkan dirimu terlalu lelah, Arina."

Arina yang mendengar itu langsung menghela nafas panjang kemudian tersenyum dan menatap Arthur. Entah mengapa, ia jadi ingin sedikit meledeknya.

"Tumben sekali suamiku ini begitu perhatian padaku. Aku sangat tersanjung, loh~"

"Bukannya itu sudah menjadi kewajibanku juga?" timpal Arthur seraya menurunkan dokumennya. "Aku tidak ingin kamu sakit hanya karena mendekam diri dalam buku-buku tebal itu, Arina. Sekalipun kamu memiliki fisik yang lebih kuat dari manusia pun, aku juga tetap tidak merekomendasikannya."

"Oh, benarkah~? Sekalipun aku bisa menyembuhkan diriku sendiri?"

"Iya. Istirahat itu penting, Arina."

Arina masih tersenyum, tapi senyumannya berubah menjadi sedikit sendu. Tatapan iris mata Arthur memang menunjukkan rasa perhatiannya, tapi sepasang mata itu belum menunjukkan pancaran kehangatan dan kasih sayang.

Sepertinya masih akan lama untuk mendapat perasaan nyata itu, eh? Sementara Arthur terus memperlakukannya baik semata hanya karena 'kewajiban seorang suami'.

"Aku mengerti maksudmu. Tapi aku juga tidak mau terus bodoh, Arthur. Budaya di negara ini dengan negara asalku itu sangat berbeda. Aku bahkan takut salah berbicara jika berkecimplung dalam sosialita bangsawan nantinya," jelas Arina pada akhirnya, memberikan jawaban yang ia takuti saat ini.

"Hei-hei, kenapa kamu sekarang jadi cemas? Bukannya kamu sendiri yang bilang untuk tidak mencemaskan apapun?" sahut Arthur yang kini menggelengkan kepalanya. "Tenanglah. Aku tentu saja tidak akan membiarkanmu dicemooh begitu saja, Arina."

Arina dapat melihat Arthur yang menyilangkan kedua tangannya dan mengalihkan pandangannya. Tapi sorot mata itu berubah, seolah menyimpan suatu kebencian entah pada siapa.

"Oh ya. Undangan dari istana sudah datang. Tapi karena Paduka Raja tidak memberikan tanggal yang pasti, jadi aku membalas suratnya kalau kita akan berkunjung empat hari lagi," ucap Arthur yang kini kembali menatap Arina.

"Ah, syukurlah. Kukira kamu mau bilang besok atau lusa," ucap Arina yang menghembuskan nafas lega. Empat hari, masih ada beberapa hari untuk mempersiapkan semuanya.

"Tentu saja tidak, Arina. Kamu juga harus menyiapkan gaun untuk acara minum teh dengan Paduka Raja, bukan?" tanya Arthur yang kini tersenyum miring.

Arina mengerjap. "Eh? Gaun?"

"Iya. Besok pergilah ke ibukota untuk memesan atau membeli gaun di Butik Emas. Ajak satu atau dua ksatriaku untuk menemanimu ke sana," ucap Arthur yang kini tersenyum seraya mengibaskan tangannya. "Kamu bisa melakukannya tanpaku, kan?"

Arina mengangguk pelan. "Baiklah jika itu memang perintahmu …."

"Kamu keberatan?"

"Sama sekali tidak, Arthur."

Arina tersenyum sebelum akhirnya beranjak ke kamar mandi untuk membasuh tubuh dan mengganti pakaiannya. Ia hanya tidak menyangka kalau dia akan membeli gaun lagi. Bahkan gaun dalam lemari pakaiannya saja belum sempat ia gunakan semua.

Apa memang bertemu orang istana harus mengenakan sesuatu gaun yang lebih mewah dibanding ini semua? Arina benar-benar tidak mengerti pemikiran orang-orang di sini.

***

Pukul sembilan pagi setelah sarapan bersama, Arthur memperkenalkan Arina dengan ke empat ksatria intinya. Para ksatria itu mengenakan seragam jas abu yang berpadu dengan jubah hitam. Sarung pedang pun telah tersembunyi di balik jubah hitam itu.

Meski dalam kelompok ksatria inti, Arina sama sekali tidak merasakan garis muka yang keras pada ke empat orang ini. Sebaliknya, mereka tampak lebih santai dan lunak jika dibanding prajurit pengawal kastil ini.

"Dari ujung itu namanya Zeira Windrich, Rheno Albestran, Nathan McKeth, dan Lyod. Silahkan tunjuk sesuka hatimu siapa yang mau kamu ajak untuk menemanimu ke Ibu Kota."

Arina mengerjap. Kemudian mengamati wajah mereka secara bergantian. Wajah yang secara tidak langsung mengemukakan pribadi mereka.

Zeira, si satu-satunya ksatria wanita itu tampak tenang dan hanya tersenyum tipis. Begitu pun dengan Nathan, ksatria yang sudah ditemui Arina saat malam hari itu pun juga tak kalah tenangnya. Sementara Lyod, ksatria yang berdiri paling dekat dengan Arthur itu hanya berwajah datar tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Berbeda dengan Rheno, ksatria yang tampak paling tengil di antara ke empat ksatria itu menunjukkan wajah yang amat berharap.

"Aku pikir aku … akan membawa Zeira dan Rheno," ucap Arina seraya tersenyum pada keduanya. "Tidak apa kan kalian?"

Zeira dan Rheno awalnya tampak sedikit terkejut. Tapi detik kemudian mereka mengangguk dan membungkukkan sedikit badannya. Bahkan Rheno terlihat tak bisa menyembunyikan senyum bahagianya.

"Suatu kehormatan bagi kami berdua untuk bisa menemani Anda, Nyonya."

Arina mengangguk senang. Sepertinya dua ksatria ini bisa akur satu sama lain, pikirnya dalam hati.

"Baiklah kalau begitu Lyod dan Nathan, kalian yang akan mengerjakan tugas lain," ucap Arthur yang kini menatap Lyod dan Nathan secara bergantian. Ia menyerahkan suatu dokumen yang sedari tadi dibawa. "Ada sesuatu yang harus kalian kerjakan."

"Baik, Master," ucap Nathan dan Lyod serempak.

Sebelum Nathan beranjak dari ruangan, ia melirik Arina dan tersenyum amat tipis.

"Sayang sekali bukan saya yang Anda pilih, Nyonya," gumamnya pelan. "Mungkin lain kali akan menjadi waktu yang tepat."

Setelah Lyod dan Nathan meninggalkan ruangan, Arthur beralih pada Zeira dan Rheno. Dua ksatria itu langsung bergidik ngeri ketika Arthur tiba-tiba menatap mereka amat tajam.

"Zeira, Rheno … aku harap kalian tidak mengentengi tugas ini dan menjaga Arina sebaik mungkin," ucap Arthur dengan penuh penekanan. "Jika aku mendengar atau melihat setitik luka pada Arina setelah pulang … leher kalian akan menjadi santapannya malam ini. Mengerti?"

"Baik, Tuan!"

Arina yang melihat interaksi antar atasan dan bawahan itu hanya bisa terkekeh pelan. Sepertinya dua ksatria ini sering kali meragukan di mata Arthur, ya?