"Emosi seorang wanita itu rumit. Tiba-tiba senang. Lalu tiba-tiba merenggut kesal dan marah tanpa sebab. Sebenarnya apa yang dipikirkan wanita itu sih?"
***
"Pagi, Arina. Bagaimana kemarin ke ibukotanya? Tidak ada masalah?" tanya Arthur yang tengah menghampiri gadis itu di ruang makan. Tumben sekali Arina telah berada di sini lebih dulu darinya.
Kemarin, Arthur balik dari misinya saat tengah malam sehingga Arina telah tertidur saat ia datang. Mereka pun tak sempat bercakap-cakap saat pagi menyingsing karena Arina telah bangun dan bersiap-siap di jam yang lebih pagi dari biasanya.
Namun, Arthur menautkan kedua alisnya heran, menyadari kalau Arina tak seperti biasanya. Istrinya itu biasanya akan tersenyum dan menyuruhnya untuk segera duduk. Tapi sekarang sebaliknya. Arina bahkan tidak menoleh ketika Arthur memanggilnya.
Ada apa ini?
"Arina? Kamu kenapa?" tanya Arthur seraya mengambil tempat di hadapan Arina.
Arina meliriknya sekilas kemudian kembali melanjutkan makannya. "Enggak apa-apa, kok."
Arthur bergeming sesaat sebelum akhirnya memakan sarapan yang telah tersedia di meja makan. Diam-diam ia melirik Arina yang tanpa ekspresi. Perasaannya saja atau Arina tampak sedang kesal dengan sesuatu? Tapi kenapa? Pasalnya, Arthur sama sekali tidak merasa bersalah ataupun melakukan sesuatu yang menyimpang.
Kenapa dia keliatan badmood?
"Kamu mimpi buruk?" tanya Arthur di sela makannya.
"Enggak."
"Kamu merasa kurang sehat?"
"Enggak."
"Oh … lagi datang bulan ya?"
TRAK!
Arina langsung menaruh sendok dan garpu itu dengan kasar, membuat Arthur tersentak. Wanita itu langsung menyeka bibirnya, sebelum akhirnya menatap Arthur dengan jengkel. "Aku selesai. Aku duluan."
Arthur mengerjap, melihat istrinya yang sangat tidak biasa. Diamatinya punggung kecil yang semakin menjauh. Lihatlah bahu Arina yang sekarang tampak bergetar, seperti menahan emosi yang sedari tadi dipendam.
Ah, biarlah. Arthur sama sekali tidak mengerti. Wanita itu memang rumit.
***
Trak! Trak! Trak!
Bunyi pedang kayu yang saling beradu itu terdengar begitu nyaring. Terlihat Zeira dan Nathan yang sedang sparing pedang dengan amat serius. Langkah dan gerakan tangan Zeira terlihat begitu lincah, bahkan sampai mendesak Nathan yang biasanya santai dalam menghadapi musuh.
"Wow, Zeira makin lama kelihatan makin lincah ya," sahut Rheno seraya duduk bersandar di batang pohon yang rindang. Di sebelahnya, Lyod tengah berdiri dan mengamati dua orang itu dengan seksama.
"Tapi menurutku … Zeira malah sedang meluapkan kekesalannya dalam sparing ini. Dia terlihat seperti wanita yang tengah meraung. Kamu tahu sendiri kan kalau wanita sedang marah itu mengerikan," sahut Lyod sambil bergidik ngeri.
"Hah? Bercanda ya?"
"Enggak. Makanya, melihat pakai mata, bo-doh," sahut Lyod dengan nada datar.
Rheno menautkan kedua alisnya. Tidak paham apa yang dikatakan Lyod. Baginya, Zeira memang seperti itu orangnya. Apalagi saat berduel dengannya. Rheno sering kali merasa terdesak dan harus lari ketika berhadapan dengan Zeira.
Tiba-tiba saja, Arthur datang dan mengamati dua ksatrianya yang tengah berduel. Sontak, Lyod dan Rheno yang menyadari kehadiran Arthur langsung berdiri dan segera menunduk dengan hormat.
"Rheno, apa kemarin lancar di ibukota?" tanya Arthur tanpa melihat ksatrianya itu.
Rheno mengerjap dan langsung memutar otak. Lebih tepatnya reka ulang kejadian kemarin. Jika Arthur bertanya lancar, apa yang dimaksud 'lancar' dalam konteks ini? Tentu saja acara belanja mereka berjalan lancar kemarin, kan?
"I-iya, lancar, Master," jawab Rheno.
"Kalian ngapain aja?"
"Eh? Cuma … jalan di ibukota habis itu ke Butik Emas dan langsung pulang. Memangnya ada apa, Master?" tanya Rheno dengan hati-hati.
"Tidak ada orang yang mencurigakan? Atau menguntit kalian?"
"Tidak, Master. Memang ada apa?"
Jujur saja, Rheno jadi takut kalau kelakuan tengilnya kemarin dilaporkan oleh Arina. Jika iya, bagaimana sekarang nasibnya? Apa dia akan dijadikan samsak empuk oleh tuannya ini? Ya, Tuhan!
Sementara Arthur kembali bergeming dengan sorot mata yang jatuh pada duel kedua ksatrianya ini. Jelas sekali seperti ada sesuatu yang dipikirkan Arthur. Bahkan sampai bertanya tak jelas seperti itu.
TRAK!
Pedang Zeira berhasil dijatuhkan Nathan. Nathan melayangkan serangan terakhirnya dan membuat Zeira jatuh terduduk. Mata pedang kayu itu telah menyentuh leher Zeira yang masih terkejut. Ah, rupanya keadaan mereka jadi terbalik. Nathan menjadi lebih unggul dan bisa mengalahkan Zeira dengan mudah.
"Ahahaha, aku menang, Ra," ucap Nathan seraya mengulurkan tangannya. Kemudian ia menarik Zeira agar kembali berdiri. "Apa yang kamu pikirkan di akhir? Kamu tiba-tiba jadi kurang fokus."
"Eh? E-enggak …." Gumam Zeira yang kini mengusap tengkuknya. "Aku hanya kelelahan di akhir."
Arthur yang menyadari ini segera bergegas menghampiri keduanya sambil bertepuk tangan sebagai apresiasi untuk mereka yang telah sparing sepagi ini. Kemudian lelaki itu pun menatap bawahannya secara bergantian.
"Kerja bagus kalian. Nathan, kamu sudah bagus bisa membalikkan keadaan dan memenangi sparing ini. Aku harap kemampuanmu terus berkembang."
Nathan tersenyum tipis dan membungkukkan sedikit tubuhnya. "Terimakasih pujiannya, Master."
"Zeira, kemampuanmu di awal sudah bagus bisa mendesak Nathan sampai dia hampir kehilangan nafas. Tapi seharusnya kamu bisa tetap fokus dan mempertahankan staminamu itu."
Zeira tersentak, merasa bersalah. Kemudian ia membungkukkan sedikit tubuhnya. "Baik, Master. Saya akan memperbaikinya sebaik mungkin."
Arthur mengangguk. Kemudian ia beralih pada Rheno dan Lyod, mengisyaratkan mereka untuk bergantian sparing pedang.
"E-eh? Jadi lawanku hari ini kamu, Lyod?" gumam Rheno sambil meneguk ludah. Rheno sangat menyegani kemampuan Lyod yang jauh lebih hebat di atasnya. Bahkan berkali-kali Rheno sparing dengan Lyod pun, Lyod sama sekali tak memberi kesempatannya untuk menyerang.
"Mohon bantuannya ya, Rheno," ucap Lyod seraya menyeringai tipis.
Rheno langsung bergidik ngeri. Ia pun pundung dan mengambil pedang kayu dengan ogah-ogahan. Mau tidak mau ia akan menjadi sasaran empuk Lyod pagi ini.
Sementara itu, Arthur kini menepi bersama Zeira dan Nathan. Dia melirik Zeira yang masih letih setelah sparing pagi ini. Benar apa yang dikatakan Lyod sebelumnya. Gadis ini tampak meluapkan kekesalannya melalui sparing pedang di awal tadi.
[Apa ini ada hubungannya dengan Arina?]
"Zeira, apa kemarin lancar di ibukota?" tanya Arthur tanpa basa-basi lagi.
"Eh?" Zeira mengerjap sesaat kemudian tersenyum paksa. "Tentu saja lancar, Master. Kami berhasil memesan gaun untuk Nyonya Arina dan gaunnya akan dikirim besok oleh Bella."
"Selain itu?"
"Emm … apa maksud Anda, Tuan?" tanya Zeira yang mulai mengerti kemana arah pembicaraan mereka. Meski Zeira belum bertemu Arina sedari tadi pagi, tapi Zeira bisa menebak kalau nyonyanya itu masih berwajah dingin seperti kemarin.
"Apa ada sesuatu yang tidak menyenangkan?" tanya Arthur, memperjelas pertanyaannya.
Zeira mengangguk. "Ada, Master. Kemarin saat sedang menunggu urusan selesai, kami mendengar dua orang wanita sedang membicarakan Anda."
"Membicarakanku? Membicarakan apa?" tanya Arthur yang mulai tertarik. Topik macam apa yang membuat istrinya sedingin itu pagi ini?
"Membicarakan kedatangan Anda di istana, Master. Mereka juga menyiapkan gaun yang terbaik untuk bertemu Anda saat di istana tiga hari lagi," jawab Zeira dengan lugas.
"Hah? Sepertinya aku tidak berjanji untuk bertemu siapapun selain Ayahanda," gumam Arthur yang mulai heran. "Lalu? Apa lagi yang dibicarakan mereka? Tidak mungkin kan hanya itu?"
"Mereka membicarakan kalau mereka tengah menunggu jawaban Anda. Tetapi untuk selebihnya, saya juga tidak tahu jawaban apa yang dimaksud mereka, Master."
Arthur menghela nafas dan menyeka rambutnya dengan sedikit kesal. Jawaban, jawaban, jawaban. Setelah memikirkan konteks dari 'jawaban' yang dimaksud, Arthur baru ingat jika ada seorang wanita yang menyatakan perasaannya sebelum ia bertemu Arina dulu.
Tapi itu sudah tiga bulan lamanya!
"Siapa namanya?" tanya Arthur pada akhirnya. Memastikan ingatan yang masih tersisa dalam benaknya. "Nama wanita itu maksudku."
"Pelayan wanita itu menyebutkan nama 'Nona Margaret', Tuan."
"Hmm, begitu ya." Arthur mengangguk pelan. Dugaannya rupanya benar. Kemudian melirik Zeira kembali. "Lalu apa yang dilakukan Arina?"
"Nyonya Arina memilih untuk mendiamkan sumber keladi itu. Saya bahkan dilarang untuk membungkam mulut wanita-wanita itu."
Arthur sedikit terkejut. Tapi beberapa detik kemudian, ia tersenyum tipis dan terlihat menahan tawanya. "Ah, baiklah. Aku mengerti. Kamu sudah melakukan hal yang bagus, Zeira."
Zeira mengangkat sebelah alisnya. Hal yang bagus? Memangnya apa yang ia lakukan? Rasanya ia bahkan tidak menyentuh seujung rambut dari wanita menjengkelkan itu.
Apa yang sebenarnya dipikirkan Tuan Besarnya ini, huh?