"Wanita itu sosok yang kompleks. Apalagi aku yang paling tidak berdaya dalam merasakan perasaan apapun. Katakan, bagaimana aku bisa peka dengan kemauanmu, Arina?"
***
Sudah pukul lima sore. Tapi Arina belum beranjak sedikit pun dari ruang perpustakaan. Bahkan ia pun makan siang dan menikmati camilan sambil berkutat dengan buku-buku tebal. Baginya, hanya dengan fokus membaca buku-buku itu, hatinya jauh lebih tenang.
Tidak ada rasa kesal seperti ia melihat Arthur tadi pagi.
Sudah tidak menyapanya saat dia sampai di rumah kemarin malam. Terus menunjukkan diri tanpa merasa bersalah sedikit pun. Duh, Arina semakin kesal jika mengingatnya! Ditambah dengan ucapan seorang gadis di butik yang sudah mengganggu pikirannya.
Padahal Arina butuh klarifikasi dari suaminya itu!
"Haah, sudah-sudah! Jangan memikirkan yang tidak-tidak!" seru Arina pada dirinya sendiri. Ia sampai memukul kepalanya sendiri saking kesalnya. "Fokus, Arina! Fokuuuss!"
"Apanya yang memikirkan tidak-tidak?"
"HWUAH!?"
Arina terlonjak kaget ketika mendapati Arthur yang berdiri di belakangnya. Selain itu, jarak mereka benar-benar dekat. Arina bahkan sampai tak bisa mengontrol detak jantungnya karena terlalu kaget.
"Kamu! Kenapa kamu di sini!?" seru Arina yang langsung memutar tubuhnya menghadap Arthur.
Arthur menautkan kedua alisnya dan mendekatkan wajahnya pada Arina. Mengamati air muka Arina yang campur aduk. Wanita itu seperti ingin marah, tapi di sisi lain juga tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya.
Lucu sekali.
"Sudah jelas kan kalau ruang perpustakaan ini juga milikku?" ucap Arthur seraya tersenyum. Namun tetap mempertahankan jarak wajah mereka yang hanya terpaut satu jengkal.
Arina meneguk ludah. Merutuki dirinya karena menanyakan hal bodoh. Ini salahnya juga karena tidak sadar ada seseorang yang masuk ke arena pribadinya.
"Argh, kalau begitu kamu ada keperluan apa di sini?!" tanya Arina seraya memalingkan wajah. Jantungnya benar-benar tidak kuat melihat wajah rupawan Arthur sedekat ini! Bisa-bisa rasa kesalnya luntur hanya karena melihat wajah Arthur.
"Memangnya tidak boleh?" tanya Arthur dengan lugu. Kemudian ia tersenyum tanpa merasa bersalah. "Apa salah kalau aku memeriksa keadaan istriku ini?"
"E-enggak sih …," gumam Arina pelan. Ia menggeram pelan, merasakan dirinya ditertawai Arthur sekarang. "Argh! Tapi kamu mengganggu! Aku ini sedang—!"
Ucapan Arina terhenti ketika Arthur menarik dagunya, memaksa gadis itu untuk menatap wajahnya. Sementara tangannya yang lain diletakkan di meja yang berada di belakang Arina. Sekarang wanita itu benar-benar dipojoki Arthur.
"Sedang marah?" tanya Arthur seraya tersenyum tipis. "Benar kan?"
Arina bungkam. Tidak menyangka kalau Arthur akan menyadari emosinya saat ini. Tapi bagaimana bisa? Apalagi sambil tersenyum manis seperti itu. Kemana perginya Pangeran Arthur yang terkenal dingin?
"Kalau kamu diam, aku anggap itu sebagai jawaban iya," sahut Arthur yang kini menatapnya secara intens. "Katakan, apa yang sudah mengganggu pikiranmu, Arina?"
Arina lagi-lagi memalingkan wajahnya dan memejamkan matanya erat-erat. Bukannya dia tidak mau menjawab, tapi situasi ini membuat jantungnya tak bisa terkontrol. Bagaimana ia mengutarakan jawaban yang tepat jika otaknya sibuk menenangkan jantungnya untuk diam?
Arthur menghela nafas panjang. Kemudian mengusap puncak kepala Arina dengan pelan. Sentuhan lembut itu seolah menjadi sihir yang membuat hati Arina tenang. Bahkan matanya sampai terbuka kembali karena tak menyangka Arthur akan melakukannya.
"Tenanglah. Kamu tidak perlu khawatir dengan ucapan wanita itu. Lupakan saja," ucap Arthur pelan. Senyumannya telah lenyap. Tapi Arina dapat merasakan tatapan yang begitu teduh.
"Kamu menyadarinya?" tanya Arina yang kini mulai berani menatap Arthur.
"Bohong jika aku langsung menyadarinya. Tapi aku bisa merasakannya dari perubahan sikapmu sedari pagi tadi," jawab Arthur tanpa melepaskan tangannya dari puncak kepala Arina.
"Jadi kamu menanyakan ksatriamu itu, huh?" tanya Arina dengan sedikit muram.
"Hei, aku ini bukan cenayang, Arina. Aku juga tidak bisa membaca pikiran orang lain. Aku juga tidak akan tahu jika aku tidak ada di tempat," jawab Arthur seraya terkekeh pelan.
"Ungh …."
"Aku tidak bisa langsung tahu jika aku tidak diberi tahu. Jangan paksa aku untuk peka akan semua keadaan, Arina. Aku lebih suka kalau kamu memberi tahuku dan bahkan bertanya langsung daripada aku harus menebak-nebak isi hatimu," ucap Arthur seraya menyelipkan beberapa helai rambut hitam Arina ke belakang telinganya.
Arina mengembungkan pipinya sebal. Meski ucapan Arthur benar, tapi tetap saja rasa kesalnya belum sepenuhnya hilang. Apalagi Arthur hanya menyuruhnya untuk melupakan ucapan wanita itu. Bukan untuk mengklarifikasi apa yang sebenarnya mereka rencanakan di belakang.
"Lalu apa yang kamu sembunyikan dengan wanita itu, hah?" tanya Arina yang lagi-lagi memalingkan wajahnya. Ia menepis tangan Arthur yang berada di kepalanya. "Apa kamu memiliki rasa dengannya, Arthur?"
Arthur menghela nafas panjang kemudian tersenyum lembut. "Kalau aku bilang tidak, apa kamu masih akan membantah jawabanku, Arina?"
Arina hanya diam, menunggu Arthur untuk melanjutkan ucapannya.
"Aku tidak memiliki rasa apapun dengannya. Bahkan dengan perempuan lain, termasuk kamu sekalipun. Aku yakin kamu sudah tahu itu kan, Arina? Kurasa aku sudah memberikan statement ini berulang kali," jawab Arthur pelan.
Arina menggigit bibir bawahnya. Iya, dia tahu itu. Arthur sudah mengucapkannya di awal pernikahan mereka. Bentuk perhatiannya ini hanya sebatas untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami.
Ah, tapi tetap saja Arina tidak bisa memungkiri goresan dalam hatinya setiap kali Arthur mengucapkannya.
"Lalu … bagaimana dengan 'jawaban' itu? Apa kamu memberikannya harapan, Arthur?" tanya Arina seraya kembali menatap kedua mata Arthur dengan sendu.
"Itu … sudah lama sekali dia mengungkapkan perasaannya. Sekitar tiga bulan yang lalu, dia mengungkapkan perasaannya dan mengajakku untuk bertunangan dengannya."
"Lalu? Kamu menyuruhnya menunggu?"
"Enggak. Sebaliknya, aku justru mengabaikannya. Saat itu aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk bertunangan dengan seorang bangsawan elite. Aku juga sedang mempersiapkan untuk perang saat itu. Tetapi dia sendiri yang berkesimpulan kalau aku akan memberikan jawaban padanya."
Arina menghela nafas lega. Emosi ataupun rasa penasaran yang sedari tadi menggelayuti hatinya berangsur hilang. Tapi tetap saja ia masih merasa sakit dengan fakta tersebut.
"Masih ada lagi kegundahanmu?" tanya Arthur dengan lembut.
"Kamu pulang malam. Padahal aku ingin menanyakannya saat itu juga," jawab Arina dengan kesal. "Terus kamu merasa tidak janggal sama sekali. Entah kenapa aku jadi tambah kesal karena kamu sangat tidak peka!"
Arthur tersentak, tapi kemudian ia terkekeh pelan dan mengacak-acak rambut Arina. Istrinya ini ternyata lucu sekali ketika marah.
"Bagaimana aku bisa peka jika merasakan perasaan orang lain saja tidak bisa," ucap Arthur seraya tersenyum getir. Ia menggenggam tangan Arina dan menyentuh ukiran lambang ikatan mereka. "Tapi … aku berusaha untuk bisa mengerti perasaanmu. Aku selalu berusaha karena kamu sendiri yang bilang kalau kita telah terikat takdir ini bahkan sebelum kita lahir, bukan?"
Arina tersentak. Detik kemudian, Arthur menariknya dalam sebuah pelukan hangat. Bahkan ia bisa mendengar detak jantung Arthur yang begitu tenang.
"Aku tidak begitu mengerti bagaimana perasaan kamu yang sebenarnya padaku. Tapi entah mengapa … aku yakin hatimu itu memang setulus itu," bisik Arthur pelan. "Maafkan aku karena tidak bisa mengerti perasaanmu, Arina."
Tanpa sadar, bulir-bulir air mata Arina menetesi pipinya perlahan. Tak ada lagi rasa amarah ataupun kesal. Sekarang justru rasa bersalah yang menggelayuti hatinya.
"Maafkan aku juga, Arthur," bisik Arina seraya mengeratkan pelukannya.
Arina sadar. Keegoisannya ternyata justru membuat Arthur semakin tak berdaya.