"Jika surat ini terus berdatangan, apa aku harus menggelar pesta pernikahan lagi?"
***
***
Arthur memijat pelipisnya yang pening. Tumpukan kertas dan file yang berada di atas mejanya ternyata cukup membuat kepalanya bertambah berat. Jika tahu kalau kerjaannya akan sebanyak ini, mungkin dia akan mengiyakan tawaran Arina untuk membantunya.
Tetapi sayang sekali, Arthur menolaknya karena ia pun tahu kalau Arina masih belum banyak mengetahui tentang pekerjaannya ini. Mengurusi wilayah, keamanan, dan perbatasan bukan hal yang mudah.
Sama seperti Arthur yang harus mempelajari sihir dari nol, maka Arina juga masih perlu banyak belajar dan beradaptasi dalam Elderian sebelum berkecimpung langsung ke dalam pekerjaan itu.
Arthur mendengus kemudian melirik ukiran lambang ikatan di punggung tangan kirinya. Kemarin ia baru belajar bagaimana bisa mengendalikan lumos, lingkaran sihir cahaya. Kemudian mengetes kemampuan peningkatan fisiknya dengan duel pedang bersama anak buah ksatrianya.
Padahal baru dua hari menjalankan pernikahan ini, tetapi Arthur merasa ia sudah mengenal Arina sejak lama. Aneh sekali. Ia tak pernah merasa sedekat ini dengan orang lain sebelumnya.
Tok. Tok. Tok.
Arthur melirik sekilas pada ketukan pintu dari luar. "Masuk."
Cklek!
Arthur yang tengah memeriksa pekerjaannya itu hanya bertopang dagu dengan malas ketika James membuka pintu ruang kerjanya. Kepala pelayan itu membungkukkan sedikit kepalanya sebelum beranjak masuk. Di tangannya terdapat nampan coklat bundar dengan beberapa amplop putih di atasnya.
"Permisi, Tuan Besar. Saya ingin menyampaikan surat undangan pagi ini," ucap James sambil meletakkan beberapa amplop putih dari nampan coklat itu.
"Wah, wah. Padahal aku baru diangkat menjadi Duke, tapi surat undangannya sudah sebanyak ini?" gumam Arthur seraya menyenderkan tubuhnya pada bangku sofa. "Whew, aku tidak bisa membayangkan bagaimana surat yang diterima Putra Mahkota. Untung saja aku menolak untuk menjadi calon raja selanjutnya."
Lelaki itu menatap lambang prangko pada amplop-amplop tersebut. Prangko-prangko itu memiliki ukiran logo yang berbeda-beda, karena setiap keluarga memiliki lambang keluarganya masing-masing.
"Oh? Apa ini?" gumam Arthur seraya mengangkat amplop yang menjadi perhatiannya. Berbeda dengan amplop yang lain, amplop ini memiliki ukiran lambang kerajaan di tengahnya. Itu artinya adalah ia mendapat surat dari istana.
Arthur segera membuka amplop tersebut dengan hati-hati, kemudian membaca isinya dengan seksama.
….
Dear Pangeran Kedua sekaligus Duke of Elderian
Selamat atas pernikahan kalian. Saya turut berbahagia melihat wajahmu secara langsung saat pernikahan berlangsung. Maafkan orang tua ini yang langsung pamit tanpa memberi selamat di hari pernikahanmu. Sekali lagi selamat ya, Anakku.
Selain itu, bisakah kamu mengajak istrimu untuk bermain ke istana, Anakku? Orang tua ini ingin sekali melihat menantu penyihirnya secara langsung. Apa dia memperlakukanmu baik? Apa kalian berencana segera ingin mempunyai anak? Sepertinya perbincangan ini akan sangat menyenangkan apabila dilangsungkan pada perjamuan acara teh kita.
Ayahanda tunggu kedatangan kalian di istana. Selain itu, ada yang benar-benar ingin aku diskusikan padamu, Arthur.
Salam cinta,
Ayahandamu Tersayang.
...…
Arthur menghela nafas panjang dan memijit pelipisnya kembali. Dia tidak menyangka akan mendapat undangan 'halus' Sang Paduka Raja alias ayahandanya sendiri secepat ini.
Padahal jelas sekali saat pernikahannya yang lalu Arthur bisa merasakan sorot mata tajam sang ayah ketika menyaksikan pernikahan mereka. Arthur pun masih ingat bagaimana suara dingin Sang Raja ketika mengumumkan gelar Duke dan Duchess yang baru.
Entah apa yang Sang Raja rencanakan, Arthur tidak bisa menebak isi pikiran Ayahnya. Bahkan saat Arthur meminta izin untuk menikahi Arina, orang tua itu langsung mengiyakan tanpa berpikir panjang.
Lagi-lagi Arthur menghela nafas panjang. Kemudian membuka beberapa amplop surat yang berbeda. Isinya ternyata sama-sama undangan untuk acara minum teh ataupun berkunjung ke mansion mereka.
Tapi anehnya, tak ada yang menyebutkan gelar 'Duchess' pada surat-surat itu. Terlebih lagi, kebanyakan dari surat itu berasal dari keluarga wanita bangsawan.
"Apa mereka enggak tahu kalau aku udah menikah?" gumam Arthur seraya menggelengkan kepalanya heran. "Aneh banget. Isinya rata-rata seolah ingin mendekatiku. Dasar aristrokat enggak jelas."
James yang mendengarnya hanya tersenyum. Selama tuannya tidak menyuruhnya berbicara, maka dia akan diam mendengarkan keluhan dari tuan besarnya itu.
"Hei, James. Menurutmu, apa mereka semua enggak tahu kalau aku sudah menikah?" sahut Arthur seraya bertopang dagu dan melirik James dengan malas.
"Saya rasa berita Anda menikah belum terlalu banyak diperbincangkan di kelas bangsawan, Tuan. Bukankah Anda sendiri yang menginginkan pernikahan itu diadakan secara diam-diam?"
"Hmm, memang. Tapi kupikir langsung ada berita yang menyebarkannya," gumam Arthur seraya mengetuk-ngetuk jemarinya. "Tapi pernikahan itu … Arina juga yang menginginkan supaya tidak ada banyak orang yang datang saat itu."
James hanya memanggut-manggut. Ia paham dilemma yang dirasakan Arthur saat ini. Jika dia tidak segera mengumumkan bahwa dia telah menikah, maka para putri bangsawan masih akan terus mengejarnya. Tentu akan sangat merepotkan bila harus meladeni mereka satu per satu.
"James," Arthur kembali memanggilnya. Tapi kali ini, lelaki itu menyeringai tipis. "Apa aku perlu membuat pesta pernikahan ulang?"
"Eh?"
James mengerjap, berusaha mencerna apa yang Arthur katakan. Jadi maksudnya Tuan Besarnya ini mau menikah dua kali?
***
Sementara itu, Arina tengah mengikuti 'kelas tambahan' untuk meningkatkan pengetahuannya tentang kebudayaan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan Elderian. Negara ini sangat berbeda dibanding negara asalnya karena di Elderian, semua begitu terstruktur dan terlihat lebih ketat.
Tumpukan buku-buku tebal berjejer di hadapannya. Begitu pun dengan pena tinta dan tumpukan kertas hasil pencatatannya. Tidak mudah baginya untuk menghapal semua dalam sekejap. Tapi ia akan berusaha semaksimal mungkin.
"Nyonya, saya sudah membawakan pesanan Anda."
Arina melirik Lily yang tengah berjalan menghampirinya dengan nampan yang berisikan secangkir coklat panas. Rupanya pelayan itu juga membawakan pie buah seperti yang diidamkan Arina selama belajar di perpustakaan pribadinya.
"Wah, terimakasih, Lily. Baunya harum sekali," puji Arina seraya menghirup aroma coklat panas tersebut. "Aku jadi lebih semangat."
"Apa Anda tidak ingin beristirahat terlebih dahulu, Nyonya?" tanya Lily dengan sedikit cemas. "Anda sudah belajar selama tiga jam lebih tanpa henti. Ada baiknya Anda mengistirahatkan tubuh sejenak, Nyonya."
"Terimakasih sarannya, Lily. Tapi sepertinya aku tidak bisa berhenti sekarang," ucap Arina seraya tersenyum paksa. Diteguknya cangkir coklat panas tersebut dengan pelan.
Baginya, meminum coklat panas dipadu dengan pie buah kesukaannya sudah sangat merilekskan tubuhnya. Otaknya tidak boleh berhenti bekerja sekarang sampai ia berada pada batasnya. Atau dia akan semakin diremehkan oleh para aristrokat nantinya.
"Apa tidak ada yang mau kamu katakan lagi, Lily?" tanya Arina yang kembali menyesap coklat panasnya.
"Oh iya, Nyonya. Tadi saat saya bertemu Pak James yang sedang merapikan surat, sepertinya saya melihat undangan dari istana."
"UHUK!"
Arina terbatuk keras. Rasa panas langsung menggerogoti kerongkongannya. Beruntung ia hanya tersedak. Hampir saja ia memuncratkan kembali coklat panas yang baru diteguknya.
"Maafkan saya, Nyonya. Apa saya salah bicara?" Lily terlihat ketakutan dan buru-buru memberikan Arina tisu untuk mengelap bibirnya.
"Ti-tidak. Justru itu berita yang bagus," sahut Arina seraya tersenyum paksa. "Aku hanya terkejut karena tidak menyangka kalau undangannya akan datang secepat ini."
Arina kembali mengusap bibirnya. Tapi air mukanya kembali berubah. Gadis itu mengigit bibir bawahnya tanpa sadar. Baru dua hari pernikahan mereka berlangsung, tapi undangan dari istana telah datang.
Apa yang sebenarnya sedang direncanakan oleh Paduka Raja? Entah kenapa firasatnya tidak enak.