Aku tertegun. Ryan mengajakku berpacaran, apakah dia sengaja ingin menjebakku?
"Ryan, kita baru saja bertemu, bahkan aku hanya mengenal namamu saja." aku mengulang ucapanku untuk yang kedua kali.
"Kita bisa saling mengenal setelah kita menjadi pacar. Jujur, aku trauma mencoba mengenal dekat banyak wanita tapi selalu gagal sebelum kami berpacaran."
"Tapi aku..."
Tunggu! Bukankah ini kesempatanku untuk membalas perbuatan Yash dan memisahkannya dari Keysa? Aku harus membalas dendamku pada Yash.
"Tapi apa, Mel?"
"Apa kau menyukaiku?"
"Ya, aku menyukaimu!"
Sepertinya dia laki-laki yang mudah jatuh hati pada semua wanita. Tak apa, aku hanya akan memanfaatkannya saja lagi pula dia bukan typeku.
"Baiklah, kau pacarku mulai malm ini." aku menyentakkan nada bicara untuk mempertegas padanya. Meski sejujurnya ini bukan inginku.
"Sungguh? Amelie... Aku... Aku sungguh tidak percaya, bisa kau ulangi? Kau mau jadi pacarku?" Ryan tampak sumringah, garis-garis rahang yang tertekan dengan senyuman di wajahnya membuatnya terlihat benar-benar bahagia.
"Hem, aku mau!" jawabku disertai anggukan.
Dengan gesit Ryan meraih tanganku ke dalam genggamannya, kedua tangannya terasa dingin membeku serta berkeringat. Mungkinkah sejak tadi dia menahan gerogi karenaku? Dia sangat lucu.
"Eh, Ryan. Aku pulang dulu, ya!" segera kulepas tanganku dari genggamannya.
"Ah, ya! Maaf, maafkan aku. Aku jadi menahanmu, tapi apa tidak apa kau pulang sendiri ke rumahmu?"
"Iya, tidak apa. Makasih ya, sekali lagi."
Ryan tersenyum seraya mengangguk.
Segera aku keluar dari mobil Ryan dan mempercepat langkah kakiku. Aku berharap dia tidak mengikutiku diam-diam, aku benar-benar tak ingin dia tahu rumahku.
Begitu sampai di teras rumah, aku melihat lampu di ruang tengah masih menyala. Sudah kuduga, mereka menungguku tiba di rumah.
Huhft...
Ceklek!
Kubuka pelan pintu rumah yang selama bertahun-tahun menjadi sangkarku.
"Dengan siapa kamu pergi malam ini?" hardik nenekku begitu aku melangkah masuk ke dalam rumah.
"Dengan Keysa. Siapa lagi?" balasku cetus.
"Apa kalian bersenang-senang dengan banyak laki-laki?"
"Nenek! Apaan sih, pertanyaan apa itu? Kami tidak pernah bersenang-senang dengan banyak laki-laki. Yang ada justru laki-laki yang selalu mengejar kami."
"Alasan saja kamu! Kalau memang kau di kejar banyak laki-laki kenapa kau belum juga menikah, hah? Bahkan rumah ini jarang di kunjungi laki-laki semenjak kau gadis."
"Saat ini aku juga masih gadis, Nek!"
"Kau perawan tua! Semua teman-temanmu sudah menikah dan punya anak, sedang kau..."
Degh!
Jantungku terasa terhenti dan di hujani belati panas. Ucapan nenek terhenti ketika aku memelototinya.
Rasanya aku kehabisa kata untuk memberikan bantahan pada nenek, aku masih belum bebas dari rasa shock akan perbuatan Yash tadi. Lalu kini, nenek menghujamku dengan kata begitu?
Tuhan, ini sangat sakit.
Aku membuang muka dengan penahanan yang kuat dari air mata yang sudah membumbung di kedua mataku, aku melangkah masuk ke kamar seraya membanting pintu kamar.
"Amelie, Amelie! Dasar kamu ini, beraninya kau membanting pintu kamar. Bagaimana jika rusak? Apa kau mau menggantinya?"
Aaaarght... Aku sungguh tidak tahan akan omelan nenek yang semakin menusuk jantungku.
Kusembunyikan wajahku di balik bantal, dengan menutupi kedua telingaku untuk menghindari omelan nenek yang tak peduli bahwa ini sudah malam. Tidak kah nenek menyadari akan betapa malunya aku pada semua tetangga yang tentu mendengar semua ucapan nenek padaku?
Jelang satu jam berlalu, nenek sudah tidak terdengar lagi dengan omelannya yang mematikan itu. Ponselku bergetar, membuatku terkejut seketika.
Hah, sial!
Jam berapa ini? Keysa masih menelponku.
"Ya, Key?" jawabku setelah menerima panggilan Keysa.
"Mel, ceritakan padaku apa yang terjadi dengan kalian saat berduaan tadi? Hihihi..."
"Apaan sih, Key? Tidak ada yang terjadi. Karena kami langsuny saja pulang tadi," jawabku malas.
"Akh, kamu ini. Kau tau Ryan itu tampan, dia juga manis, sepertinya dia juga anak dari orang berada. Kau lihat mobil yang dia bawa mewah, lebih mewah dari mobilku."
Aku terdiam sejenak menyimak ocehan sahabatku yang malah memuji Ryan saat ini.
"Kami sudah berpacaran."
"Apa?"
Keysa terdengar begitu terkejut mendengar jawababku tadi. Rasanya ingin tertawa, tapi terpaksa aku menahannya.
"Hahaha... Baguslah, kupikir kau akan mengabaikan laki-laki seperti Ryan. Paling tidak kau bisa memanfaatkannya," ujar Keysa tiba-tiba.
"Apa? Memanfaatkanny? Hahaha... Kau memang selalu bisa membaca isi hatiku, Key."
"Kita sahabat, Mel. Jangan lupa itu, kita sudah selalu bersama sejak kecil, kita tumbuh bersama."
"Hahaha..."
Kami tergelak tawa bersama, seketika rasa kesal dan amarahku akan ucapan nenek tadi mereda akibat candaan Keysa padaku.
Panggilan berakhir, aku harus segera tidur. Besok hari akan kembali di mulai dengan segala drama di rumah ini. Drama yang tidak sama sekali aku inginkan terlebih menjadi pelakon utamanya.
Pagi pun tiba, aku bangun lebih dulu sebelum nenek akan menabuh gendang telingaku seperti biasanya. Aku segera pergi ke kamar mandi, bersiap-siap untuk pergi ke kampus seperti biasanya.
"Sarapan dulu!" cetus nenek begitu melihatku keluar dari kamar.
"Aku sarapan di kampus saja," jawabku acuh.
Nenek terdiam tanpa kata. Membiarkanku melakukan apapun semauku pagi ini. Tapi benarkah demikian?
"Amelie, ini uang jajanmu." Kakek memberikan beberapa lembar uang ratusan padaku.
"Kau harus hemat, proyek yang kakekmu kerjakan masih belum mendapatkan hasil. Lagi pula, apa kau tidak pernah meminta uang pada ibumu? Suami kedua ibumu banyak uang, mintalah sebagai jatah bulananmu."
"Aku malas bertemu dan meminta uang pada ibu." lagi dan lagi aku membantah jawaban nenek.
Nenek menatapku tajam, dia menarik napasnya dalam-dalam dengan raut wajah menakutkan.
"Kalau begitu mintalah pada ayahmu, kau ini sungguh malang. Ayah dan ibumu memutuskan untuk berpisah tapi sekaligus membuangmu juga, dimana otak mereka itu?"
Sial! Bisakah nenek berhenti mengomeliku setiap pagi? Itu hanya akan merusak moodku saja.
"Aku berangkat ke kampus." aku melangkah menyela ucapan nenek agar segera berhenti mengomeliku.
Terkadang aku merasa iri, di rumah ini bukan hanya aku yang menumpang tinggal di rumah kakek dan nenek. Masih ada kakak sepupuku, cucu tertua nenek yang hidup enak dan tinggal di rumah ini.
Dia bahkan seorang pengangguran, tapi selalu bisa menguras uang kakek dan nenek. Bahkan jarang mendapat omelan kakek dan nenek, berbeda denganku, dia pun juga belum menikah sampai saat ini. Sungguh tidak adil, ini memang tidak adil.