Ting tong...
Terdengar suara nada bel dari luar rumah, sudah tentu itu Keysa. Huh, membuatku harap-harap cemas saja.
"Siapa yang datang di jam ini?"
Kudengar suara nenek mulai menggerutu, melangkah menuju pintu. Setelah sejak tadi dia sibuk mondar-mandir entah apa yang di lakukannya terdengar sangat berisik.
"Eng, Keysa."
"Halo, Nenek! Selamat malam, apa kabar nenek malam ini?"
"Cih, apaan sih kamu, Key... Kita baru bertemu siang tadi, nenek baik-baik saja. Sudah, tidak usah berpura-pura. Nenek tau kamu kesini dengan pakaian seperti itu akan mengajak Amelie pergi, 'kan?"
Akh, sial! Memang nenek paling jeli dan peka, dia tahu maksud Keysa datang kemari malam begini bahkan entah seperti apa penampilan Keysa malam ini.
"Hehehe... Nenek, paling bisa deh buat Keysa terkesima. Bagaimana nenek bisa tau? Apakah nenek punya cermin ajaib? Nenek jadi bisa membaca pikiran dan tujuanku saat ini, hahaha..." Keysa mulia berbicara konyol menghadapi nenek.
Aku yang mendengar kekonyolan Keysa, memberikan perlawanan yang aku saja kadang tidak berani mengatakannya, malah justru aku terkekeh-kekeh di dalam kamar.
"Kamu memang pintar berkelit. Sudah, panggil saja ke kamarnya." Nenek menyerah dan menyuruh Keysa menemuiku di kamar.
Yeah... Keysa memang paling terkeren saat ini. Bahkan sejak awal dia selalu bisa melawan nenek dengan sikap konyolnya itu.
Tok tok tok...
Keysa mulai mengetuk pintu kamarku, lalu segera aku membukanya.
"Hihihi... Gimana, aku hebat kan? Hmm... Keysa mana bisa di lawan soal beginian?"
"Ya ya ya, kau memang hebat! Ayo, kita berangkat. Aku takut Ryan akan menyusulku ke rumah ini, kau tau apa yang akan terjadi nanti."
"Ya, benar! Ayo," ajak Keysa kemudian mengiyakan.
Kami keluar bersama dari kamar melangkah dengan sedikit tergesa-gesa. Sementara nenek masih berdiri di ruang tengah memperhatikan kami.
"Nek, aku pergi bareng Keysa," ujarku berpamitan. Walau bagaimanapun aku tetap harus sopan pada nenek.
Selama ini, nenek dan kakek lah yang merawatku dan menerimaku, menampungku hidup di rumah ini, membiayaiku, setelah aku memutuskan untuk memilih hidup sendiri.
Hidup sebagai anak broken home tentu saja menyakitkan, sementara ayah dan ibuku sudah menjalani kehidupan masing-masing dengan keluarga baru masing-masing pula.
Sedangkan aku? Kupikir hidup dengan nenek dan kakek akan seindah dan senyaman seperti yang banyak orang katakan. Di manja, di sayang, di perhatikan, dan banyak hal lainnya lagi.
Tapi nyatanya, aku mendapatkan hal yang tak pernah aku duga, tak pernah aku bayangkan dan membuatku muak. Hanya saja, kemana lagi aku akan pergi sementara aku belum memiliki pekerjaan?
"Hati-hati kalian, jangan mempermalukan keluarga. Jangan pulang larut malam, mengerti?"
"Iya, Nek..." jawab kami bersamaan dengan lembut dan santun meski di hatiku begitu sesak.
Kenapa nenek selalu mengingatkan dan mengulang kata yang sama, jangan mempermalukan keluarga. Seolah aku ini wanita yang tidak bisa menjaga diri.
Keysa melaju dengan cepat menuju rumah Dina. Sampai akhirnya kami tiba di rumah Dina yang cukup megah, tampak beberapa mobil dan motor sudah terparkir di halaman rumahnya yang sangat lebar.
"Key, kita langsung masuk nih?" tanyaku setelah keluar dari mobil Keysa. Sejenak aku merapikan gaunku, dan menyemprotkan parfum andalanku, begitu pula dengan Keysa.
"Aku akan menelpon Yash dulu. Mobilnya tidak ada disini," jawab Keysa sambil merogoh ponselnya.
Tak lama kemudian, datang sebuah taxi yang berhenti tak jauh dari arah kami. Lantas keluar seorang wanita dari taxi tersebut dengan rambut di urai dan gaun yang dia kenakan sedikit terbuka.
"Monalisa?" aku terkejut ketika sudah menyadari siapa wanita itu.
Dia juga sepupuku, usia kami hanya terpaut beberapa bulan saja. Tapi, kenapa dia ikut serta hadir di pesta ini?
Keysa masih berkutat dengan ponselnya, tampaknya Yash tidak menerima panggilan teleponnya. Keysa terlihat cemberut dan gelisah, hingga akhirnya tiba sebuah mobil sport berwarna hitam yang kami sangat kenali.
"Huh, akhirnya datang juga." Keysa melepas napas panjang.
Aku segera memberikan kode padanya, bahwa sepupu kami, Monalisa ikut hadir disini.
"So what? Untuk apa wanita gila itu datang ke pesta ini? Lihat penampilannya, apakah dia mau menjual diri?" Keysa mulai mengomel setelah melihat kedatangan Monalisa melangkah dengan sok seksi ke arah kami.
"Hust! Keysa, pelankan suaramu! Nanti dia dengar, kau mau bertarung dengan macan dan merusak penampilanmu itu?" bisikku membuatnya terkekeh.
"Hai... Kalian juga di undang, umh... Kalian datang tanpa pasangan? Oh syukurlah, aku jadi ada teman. Kupikir hanya aku yang datang seorang diri, Keysa bawa mobil? Aku pulang nebeng ya?" sapa Monalisa pada kami dengan ocehannya yang menggelikan.
Sejak kami sekolah dasar, Monalisa selalu menjadi musuh bebuyutan kami meski kami ini masih ada ikatan saudara. Sifatnya yang angkuh, perkataannya yang kasar, suka mengatur, tidak suka tersaingi, bahkan pendengki dan mudah iri. Membuat kami tidak mau berdekatan atau berteman dengannya lagi, hanya sesekali saja kami bertemu dan saling menyapa.
"Halo, maaf kami datang terlambat. Oh, Sayang. Kau cantik sekali malam ini," ujar Yash tiba-tiba datang menghampiri kami.
Pun sama dengan Ryan yang langsung saja berdiri di dekatku dan berbisik, "Kau sudah menunggu lama?"
Aku hanya menggelengkan kepala saja.
"Jadi, kalian datang bawa pasangan?" tanya Monalisa setelah sejenak kami mengabaikannya.
"Ehm, yah! Kenalkan, dia Ryan. Pacar baruku," jawabku seraya mengenalkan Ryan pada Monalisa.
Dengan gaya centilnya, Monalisa menyibak rambutnya yang terurai panjang mengait di atas daun telinganya.
"Halo, aku Monalisa. Panggil sana Mona, atau boleh juga panggil Lisa aja, aku sepupu Amelie." seraya mengulurkan tangannya pada Ryan, Mona memperkenalkan dirinya.
"Oh, hai. Aku Ryan, senang berkenalan denganmu."
Mona tampak tersipu malu. Sungguh, dia memang ratu akting.
"Dan dia ini, pacarku, Yash. Yang paling tampan, seperti oppa korea. Hihihi..." Keysa mulai berdrama dengan memperkenalkan Yash pada Mona.