"Ryan, maafkan aku! Tapi aku..."
"Aku mengerti!" ujar Ryan menyela bicaraku. Tampaknya dia sedikit kecewa dan berusaha menahan rasa kesal dari raut wajahnya.
"Kau marah?" tanyaku menerka.
"Tidak. Untuk apa marah, tapi perlu kau tau, Amelie. Berciuman adalah hal utama dan wajar bagi pasangan kekasih."
"Aku tau, dan kau tidak perlu menjelaskannya. Tapi..."
Mesin mobil menyala sebelum aku menyelesaikan bicaraku. Ya, Ryan benar-benar marah. Apakah setiap lelaki hanya akan selalu mementingkan ego dan nafsunya saja?
Lantas mobil yang Ryan kendalikan melaju pergi perlahan. Sepanjang perjalanan kami hanya saling diam tanpa kata, hingga kami sampai di sebuah Cafe yang akan kami tuju.
Setelah memarkir mobilnya, Ryan segera turun dari mobilnya lalu membukakan pintu mobil untukku. Dia bahkan tidak sedikitpun tersenyum padaku.
"Ryan, tunggu! Apa kau marah padaku?" tanyaku sambil menarik lengan tangannya.
"Tidak! Aku tidak marah, aku hanya malu karena kau menolak untuk berciuman denganku."
Aku mendesis pelan, bagaimana bisa aku berciuman dengan laki-laki yang tidak sama sekali aku cinta, aku hanya menyukainya karena dia selalu lembut dan baik padaku.
"Mungkin lain kali saja kita bisa mencobanya," jawabku sekenanya. Berharap dia akan segera membaik dari perasaan kecewanya.
Mendengar jawabanku seketika wajahnya menjadi ceria kembali seakan penuh harap. Lalu kami melangkah menuju ke dalam ruangan dengan bergandengan tangan.
Tak banyak yang kita perbincangkan selama menikmati kebersamaan di dalam Cafe yang cukup mewah ini. Sesekali kami bercanda bersama, dan menceritakan hal-hal yang sedikit membosankan bagiku akan tetapi, dia justru selalu semangat akan setiap obrolan yangku lontarkan untuk mengusir kejenuhan.
Sampai akhirnya kami kembali pulang bersama, seperti biasa. Aku selalu meminta Ryan mengantarku pulang sampai di sebuah gang dimana rumah nenek berada hanya sekitar 100 meter saja.
Aku lebih memilih untuk berjalan kaki untuk sampai di rumah nenek demi keamananku sendiri dari cercaan nenek.
"Sekali lagi, maafkan aku, Ryan."
"Tidak apa, Amelie. Berhentilah meminta maaf, kau membuatku merasa malu kembali."
Aku tersenyum kecil menanggapi jawabannya barusan, sepertinya dia sudah berhasil menepis kekecewaannya sendiri.
Aku pun segera beranjak pergi, sedang Ryan langsung saja melajukan mobilnya tanpa menungguku menghilang dulu dari pandangannya. Dia bilang sangat menyukaiku, bahkan telah jatuh hati padaku. Tapi sikapnya tidak sekalipun menunjukkan hal itu padaku, terutama hal yang sangat mudah dan sederhana untuk di lakukan.
~
Pov Ryan
Setelah mengantar Amelie pulang, Ryan segera menuju apartemen pribadi Yash. Dia yakin Yash akan ada disana saat ini.
Begitu tiba di apartement Yash, Ryan segera memencet tombol pintu apartemen Yash. Menit berikutnya pun Yash benar membuka pintu itu untuknya.
"Ryan? Hah, sungguh membosankan. Kupikir kau..."
"Siapa? Keysa? Atau wanita lain?" balas Ryan menyela.
"Hahaha, sudahlah! Jangan menggodaku, aku sedang tidak ingin bercanda malam ini." Yash berjalan menuju ruang tengah lalu menghempaskan tubuhnya di atas sofa empuk.
Begitupun Ryan yang menyusulnya dengan wajah sedikit cemberut, sehingga Yash yang kemudian melirik wajahnya mulai ingin tahu penyebabnya.
"Kenapa itu wajah kau lipat seribu? Apakah Amelie yang membuatmu kesal begitu? Hahaha..."
"Akh, sial! Malah kini kau yang menggodaku, Yash!" cetusnya sambil tertawa kecil.
"Why?" tanya Yash singkat.
"Dia menolakku untuk berciuman! Membuatku malu saja."
"Apa? Hahaha... Hahaha... Oh Tuhan, Ryan! Sungguh malang nasibmu, ayolah... Aku tau kau bukan orang yang lugu dan tidak tau cara berciuman dengan kekasihmu. Hahaha..." sontak saja Yash tidak bisa berhenti tertawa.
Namun, sejujurnya di dalam hati Yash dia bersyukur. "Aku harap kau dan Amelie segera putus saja, Ryan. Jadi, aku lah yang akan berciuman dengan wanita liar dan sombong itu."
Yash bergumam dalam hati.
"Berhenti mentertawaiku, Yash. Lalu kau sendiri bagaimana?" tanya Ryan menyelidik. Yash kebingungan setelah mendapatkan pertanyaan dari Ryan tanpa tahu kemana arah bicaranya.
"Aku?" tanya Yash kemudian sambil menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuknya.
"Bukankah diam-diam kau dan sepupu Keysa, saling bertukar pesan? Hahaha, oh Tuhan... Yash, kau sungguh konyol. Bagaimana bisa kau malah tertarik pada Monalisa, membayangkannya saja bahkan membuatku takut, Yash!"
Yash sedikit mengerjapkan kedua matanya, dia tidak menduga meski itu jadi suatu kemungkinan Ryan akan membaca perlakuannya itu. Kemudian mulai terbersit di dalam hati dan pikirannya untuk memberikan candaan pada Ryan.
"Ada apa dengan Monalisa? Bukankah dia juga cantik dan seksi?"
"Tsk, semua wanita di matamu cantik dan seksi. Tapi, ayolah... Keysa jangan kau bandingkan dengan Monalisa yang terlihat lebih murahan."
"Oh ya? Sungguh? Emh... Bagaimana jika kuganti saja, aku menyukai Amelie kekasihmu? Dan bahkan aku juga rela meninggalkan Keysa demi Amelie."
Ryan tersentak seraya menarik segera kedua ujung bibirnya yang sejak tadi tertawa lebar.
"Hahaha, kau bahkan seketika menjadi diam. Apa kau takut aku akan merebut Amelie dari pelukanmu?"
"Tidak, aku tidak pernah takut. Karena aku justru akan membiarkanmu mengambilnya dariku, hahaha..." Ryan membalas ucapan Yash justru dengan ide pemikiran yang gila.
Tanpa berpikir panjang lagi, mereka tertawa lepas seakan menggema dalam ruangan apartemen Yash kali ini.
"Huhft... Para wanita itu sungguh sombong dan susah di taklukkan hanya dengan kata-kata saja." kemudian Yash kembali berbicara dengan nada congkak.
"Mereka pantas melakukan itu karena mereka cantik dan seksi, juga cukup terkenal di kalangan banyak wanita seksi dan cantik di kampusnya."
"Tapi sayang, meski aku dan Keysa berpacaran sudah cukup lama, tapi aku belum berhasil menjamah seluruh tubuhnya." kembali Yash menunjukkan watak dan tujuan aslinya.
"Jadi, kau juga merasakan apa yang aku rasakan saat ini, Yash?" ujar Ryan menimpali.
"Oh, tidak bisa. Aku sudah menikmati sentuhan nikmat bibir tebal Keysa, kami berciuman dengan penuh gairah dan nafsu." Yash berkata sekenanya, tak ingin di pandang rendah oleh sahabatnya itu.
"Kau memang pantas mendapatkan julukan laki-laki pecinta wanita, Yash. Hahaha..." balas Ryan sambil menggelengkan kepalanya.
Yang sebenarnya terjadi, Yash dan Ryan adalah laki-laki yang selalu mempermainkan banyak hati wanita. Karena mereka selalu memandang setiap wanita dari fisik dan setiap desahan manjanya.
Akan tetapi, Yash sendiri adalah laki-laki yang jauh lebih membahayakan setiap kali menyukai wanita. Dia bisa saja melakukan hal yang konyol demi untuk bisa menyentuh wanita itu dan membuat wanita itu menjadi budak cinta dari ego dan nafsunya.
Berbeda dengan Ryan yang selalu tertinggal jauh di belakang Yash, karena sikap dan sifatnya yang mudah merasa kehilangan kepercayaan dirinya.