Happy Enjoy reading semuanya!
Tangannya bergerak dengan lincah mengetik di mesin pencarian tentang 'Lowongan Pekerjaan' yang sesuai dengan keinginan dirinya beserta temannya. Jujur saja ia bingung karena lagi-lagi ia bertemu dengan permasalahan yang seperti ini disetiap harinya, sudah beberapa bulan ini tangan serta matanya sibuk bergerak mencari lowongan pekerjaan yang sesusai dengan lulusannya dan keinginannya.
Ternyata memang tidak mudah mencari lowongan pekerjaan yang seperti ia mau, walaupun dirinya sudah mempunyai gelar sarjana. Rasanya dirinya ingin ingin sekali membuka lapangan pekerjaan saja kalau tidak bisa dapat terus seperti ini, yah! Itu hanya omongannya belaka karena dirinya sendiri tidak tahu apa yang mau dirinya buka untuk lapangan pekerjaan. Sudahlah ia pasrah saja, pusing lama-lama kalau ia pikirkan terus menerus.
Notifikasi pesan dari ponselnya yang tergeletak sempurna di atas tempat tidurnya membuat tubuhnya bangkit dan berjalan malas menuju kasur dengan spring bed dengan motif kodok bewarna hijau. Sebenarnya dirinya membenci motif yang seperti ini karena tampak menggelikan baginya tapi karena favorite adiknya mau tidak mau ia terpaksa menggunakannya, entah kamar siapa ini sebenarnya sampai adiknya yang satu itu menitipkan berbagai macam barang di kamarnya.
Matanya menyipit menatap pesan yang dikirimkan oleh temannya itu barusan, sembari mengingat-ngingat kapan terakhir ia mengirimkan dokumen lamaran pekerjaannya pada salah satu tempat khursus belajar diluar Negeri. Isi otaknya terus berputar memikirkan kapan terakhir dirinya terakhir mengirimkan dokumen lamaran pekerjaan.
"Tanggal 13 atau 14 ya? Kayaknya awal bulan deh apa akhir bulan ya? Kok aku lupa sih!" gumam Raima sembari mengetuk-ngetuk pelan dagunya menggunakan jari telunjuk miliknya.
Sebenarnya tidak penting juga kapan ia mengirim berkas lamaran pekerjaan itu, karena yang paling penting dari ini semua adalah kenyataan yang membuatnya tersenyum lebar saat membaca bagian akhir dari surat yang dikirimkan oleh temannya itu. Peruntungannya sepertinya memang bukan di negaranya sendiri.
Wajahnya yang tersenyum lebar membaca pesan itu mendadak kembali murung saat temannya di tempatkan di akademi khursus belajar yang berbeda dengannya dan jaraknya lumayan jauh dari tempatnya bekerja dan tinggal katanya.
"Yah! Masa pisah sama Nisa. Padahal kan mau sama-sama terus kan cuman Nissa yang lebih lancar bahasa Negara ini," ucap Raima sembari berjalan keluar kamarnya untuk mengabari kabar bahagia ini pada kedua orangtuanya.
Ibunya yang sedang berbincang dengan sang ayah di ruang tamu menatapnya bingung, "Kamu kenapa? Murung gitu? Enggak diterima lagi? Sabar aja nak, mungkin Allah belum mengizinkan kamu buat kerja. Lagian abi masih sanggup ngasih uang jajan kamu tiap bulan," ucap sang ayah sembari menatap dirinya yang sedang duduk menghadap sang ayah.
"Abi, misalkan kalau Raima kerja di luar Negeri gimana? Abi ngizinin enggak?" tanya Raima sembari menatap mata sang ayah yang hanya bingung menatapnya.
"Kenapa kamu enggak kerja sama abi aja? Ajak Nissa juga dari pada kamu kerja di luar negeri. Kamu di luar negeri ngelamar jadi apa? Jadi TKI? Atau jadi TKW?" tanya ayahnya.
Raima menatap ayahnya tidak percaya, "Ya kali abi, Raima belum kepikiran buat jadi TKW disana. Jadi Nissa sama aku itu iseng ngelamar jadi guru bahasa Indonesia di luar Negeri yang minat sama pelajaran bahasa Indonesia gitu kan sesuai sama gelar yang aku punya."
Ayah serta ibunya itu menatapnya dalam, menunggu anak perempuan mereka berbicara lebih lanjut tentang maksud dari anak mereka. "Dan ternyata kita berdua d iterima abi di Korea Selatan, terus juga Nissa udah minta tolong buat di cek kesaudaranya ini betul apa enggak dan ternyata jawabannya benar. Ada pamfletnya juga kok kalau abi enggak percaya, terus juga gaji yang ditawarin sama perusahaan itu lumayan bi hampir sama kaya kerja di kantor mas Bara, Kalau Raima pergi umi sama abi izinin nggak?" tanya Raima pelan.
Terdengar helaan nafas kasar dari kedua orangtuanya itu, Raima sudah duga kalau kedua orangtuanya tidak akan mengizinkannya untuk pergi. "Raima pengen coba kerja sesuai dengan jurusan yang Raima mau, sebelum kerja sama abi. Kan umi sama abi tau sendiri aku enggak bakat di bidang bisnis, " lanjut Raima dengan suara pelan nyalinya mendadak ciut. Takut orangtuanya tidak mengizinkannya untuk pergi.
Lagian kalau dipikir rasanya juga tidak mungkin kalau orangtuanya membiarkannya untuk pergi seorang diri untuk mencari uang diluar Negeri.
"Abi sih boleh aja kamu pergi selagi kamu sendiri bisa sama mampu, cuman kamu yakin enggak buat tinggal disana? Memang kamu bisa bahasa mereka? Setahu abi kamu tuh nggak pernah yang namanya baca buku atau nonton drama kaya dek Zainun yang berbau luar Negeri gitu. Kamu yakin masih mau pergi? " tanya ayahnya sembari meminum perlahan kopi yang ada diatas meja. Raima terdiam benar juga ia kan tidak sefanatik adiknya, pasti yang akan ia dapat hanyalah stress semata kalau ia tinggal disana.
"Memangnya kamu nggak bisa cari lowongan kerja di Indonesia nak yang sesuai dengan jurusan kamu kuliah? Mau umi bantu tanya ke teman umi?" tanya ibunya
"Pengennya juga gitu mi aku tetap kerja di Indonesia dan tinggal sama umi, tapi kan umi tau sendiri aku udah hampir lima bulan enggak kerja kaya mas Fadlan. Cari kerja disini juga lagi susah-susahnya mi, mau bangun usaha? Usaha apa? Aku nggak ahli kaya abi sama mas Fadlan. Aku masih bisa usaha sendiri mi jadi aku nggak mau minta umi buat minta tolong sama temannya umi," Ibunya itu membuang napasnya kasar.
"Boleh ya mi? Lagian kalau dipikir sayang kalau ditolak begitu aja mi. Katanya Nisa juga disana nanti bakalan di training dulu biar bisa bahasa Korea jadi umi sama abi nggak usah khawatir. Umi sama abi tau sendirikan aku orangnya cukup mudah untuk beradaptasi dan belajar, lagian kan kata umi sendiri kalau ada kesempatan ya diambil jangan di sia-sia, karena kesempatan nggak datang dua kali. Jadi boleh nggak mi kalau Raima ambil?" tanya Raima.
"Umi sebenarnya khawatir loh nak kalau kamu pergi, jauh dari pandangan umi sama abi apalagi kamu itu perempuan. Umi takut," ungkap ibunya membuat Raima tersenyum tipis.
Raima tersenyum, "Umi jangan khawatir aku sama Nisa bisa jaga diri kok, kan anaknya umi ini pemberani kaya julukan yang abi kasih ke aku. Lagian aku juga nggak bakalan nakal kok mi disana, " sahut Raima sembari memeluk sang ibu erat.
Ayahnya hanya tersenyum menatap kedekatan ibu dan anak itu, bahkan dirinya tidak pernah melihat keduanya berkelahi atau berbeda pendapat seperti kerabatnya. Beruntungnya ia punya anak seperti Raima.
"Yasudah, kalau kamu bisa jaga diri. Abi sama umi izinin kamu pergi, kita berdua sebagai orangtua kamu kasih kamu restu buat pergi kerja disana. Jadi kapan kamu berangkat?" tanya ayahnya.
Bibir Raima melengkung membentuk senyuman lebar, ia senang bukan main sekarang ini. "Karena harus siapin berkas jadi sekitar sebulan lagi bi. Terus juga Raima mau belajar bahasa sama budaya Negara itu dulu sama Zainun biar nggak terlalu kaget lagi waktu disana nanti, " sahut Raima membuat kedua orangtuanya itu mengangguk mengiyakan ucapannya itu.
Anaknya itu sangat cepat dalam menyusun strategi kedepannya diotaknya, ah—ia bangga sekali mempunyai anak seperti Raima, pantas saja banyak yang iri pada dirinya. Doanya itu akan selalu menyertai anaknya.
Raima lega saat orangtuanya tampak setuju dengan keinginannya yang bekerja di luar Negeri walaupun mereka lumayan takut karena salah satu anak mereka akan jauh dari pandangan mereka, siapa yang tidak takut ketika anaknya berada di luar dan jauh dari pandangan? Semua orangtua takut anaknya terpengaruh dalam pergaulan bebas. Raima tahu alasan itu dan ia semakin menyayangi keluarganya ini.
Kini hanya tinggal dirinya mempersiapkan diri untuk semua keperluannya selama di Luar negeri seperti bahasa, adat, tata cara kehidupan disana. Entah kenapa dirinya jadi penasaran dengan suasana Negara itu walaupun Negara itu bukan tujuan awalnya yang ingin ia kunjungi selain Mekkah.
Matanya menatap Zainun yang sedang menonton video musik entak apa dirinya tidak tahu, gadis kecil itu tampak nyaman tiduran diatas kasurnya dengan headseat yang menempel ditelinganya. Raima tidak tahu apa yang adiknya tonton itu, yang jelas menurut Raima wajah mereka tampak sama disana.
"Zainun I think, I have a bad news for y—" adiknya itu menatapnya tajam.
"Kakak bakalan kerja di Negara impian aku kan! Ish! Kesel tau!" seru Zainun sembari berkacak pinggang.
Raima membuang napasnya pelan," Benar," sahut Raima
Zainun menghentakkan kakinya kesal, ia tahu adiknya itu pasti kesal padanya. Raima menghela nafasnya pelan, "Nanti kalau nggak ada kakak jagain umi sama abi, apalagi kalau mas Fadlan lagi kerja di luar kota. Jangan jagain kertas mulu! Mau kakak buang kertas-kertas yang ada disini biar bisa jagain abi sama umi? Lagian buat apa sih beli yang kaya beginian? Buang-buang uang aja tau nggak! Kamar kakak jadi sempit karena ada barang kamu," omel Raima sembari duduk di depan kumpulan buku novel miliknya yang berjejer rapih bersatu dengan tumpukan kertas bergambar aneh itu.
"Kertas-kertas begini kalau di jual lagi mahal kak, lagian kakak salah tuh! Masa aku yang jaga umi sama abi?! Kan seharusnya mereka yang jaga aku," sahut Zainun sembari memeluk tube yang katanya berisi poster tampan.
Raima menggeleng mendengar penuturan dari adiknya itu,"Kalau gitu lebih berharga mana? Kertas itu atau umi sama abi? Ya … lagian nggak ada salahnya kamu jagain umi sama abi, masa kamu aja yang di jaga sama mereka terus, sedangkan kamu enggak? Kamu enggak mau jadi anak berbakti sama orangtua? " tanya Raima
Adiknya itu cemberut membuat Raima menggeleng, sudah berapa gelengan yang ia tampilkan hari ini. "Kakak rese banget sih, jangan bandingin kertas sama umi dan abi kan mereka beda. Lagian kakak sendiri nyebelin sih masa ke Korea Selatan nggak ngajak?! Kan kalau kakak ngajak aku-"
"Kamu bisa pamer sama teman-teman kamu kalau kamu pergi ke Korea Selatan ke tempat idola kamu? Nggak deh ya Zai, lagian kakak pergi disana buat kerja bukan jalan-jalan yang cuman seminggu atau dua minggu aja," potong Raima sembari menaruh kembali buku novel yang sempat ia pegang.
Adiknya berdecih kemudian memilih menyalakan ponselnnya yang bergambar tujuh orang dengan wajah yang hampir sama semua membuat Raima memandang bingung adiknya itu.
"Kakak nggak kenal mereka semua kan? Ini namanya BTS!! Bintang terkenal di Negara yang bakalan kakak kunjungi. Aset Negara yang paling di jaga dan dicintai. Semuanya tampan-tampan ini namanya RM, Jin, Suga, Jhope, Jimin, V dan yang terakhir Jungkook. Kan lumayan kalau ketemu sama mereka ini artis papan dunia, makanya aku mau kesana."
"Apa fungsinya kakak harus hapal sama mereka? Memang dia sama tampannya kaya Nabi Yusuf. Terserah kamu deh mau dia papan atas, papan dunia, papan kayu, papan tulis. Kamu tuh ya! Giliran yang kaya begini aja hafal semuanya, tapi kalau udah hafalan surat sama abi tentang ayat Al-Qur'an kamu langsung lupa! Padahal baru paginya kamu hafalin. " Raima menatap adiknya yang mempoutkan bibirnya kesal.
"Mau yang namanya Jin, Sugar atau suga entahlah apa itu! Memangnya kakak harus peduli? Lagian kakak disana kerja bukan ngikutin Jin, sugar kesukaan kamu itu. Sekalipun kakak ketemu mereka kakak bakalan diam aja enggak kaya kamu yang heboh, kamu kok suka sama yang kaya begitu. Zina mata Zain," dengus Raima.
Adiknya itu mendecih, "Kakak enggak seru! Aku tuh nggak lupa kalau hafalan sama abi, tapi cuman nggak ingat aja sama suratnya. Lagian dari mereka aku jadi belajar gimana buat cintai diri sendiri, gimana caranya bahagia? Enggak kayak kakak yang bisanya cuman baca buku seharian di kamar tanpa tau arti hidup sebenarnya, nyebelin emang kakak yang satu ini. Seharusnya aku punya kakak yang modelannya kayak kak Nissa, bukan kaya kak Raima!" keluh Zainun sembari melangkah keluar menemui entah siapa.
Kepala Raima menggeleng mendengar penuturan dari adiknya itu, "Memang apa bedanya antara lupa sama nggak inget, untung cuman punya satu adik yang kaya begini kalau lebih mungkin aku milih tinggal sama nenek kali ya. Pasti Nissa juga nggak mau kali punya adek yang modelannya kaya kamu," sahut Raima sembari merapihkan kumpulan kertas yang katanya namanya album itu kedalam rak belajar milik adiknya itu di kamar sebelah.
Matanya membaca sebentar yang ditulis disana, huruf macam apa yang hanya garis-garis kaya begitu. Ia pikir anak bayi pun pasti bisa membuat hal yang seperti ini. Ada-ada saja adik perempuannya itu.
Tapi kalau dipikir dirinya juga akan menetap disana yang otomatis akan belajar dan melihat garis-garis yang seperti ini, entahlah pusing ia jadinya memikirkan itu. Lebih baik ia mempersiapkan diri untuk pergi keluar Negeri sekarang.
To be continued
Salam Leeaa_Kim
Dilarang memplagiat karya!
Terima kasih.
Mungkin kalian sedikit tidak asing karena pernah aku upload ditempat lain, tapi bakalan ada beberapa part yang berbeda dari tempat lainnya dan jalan cerita yang sedikit berbeda pula.