Anna menatap layar komputernya selama berjam-jam. Tidak peduli sekeras apapun ia berpikir, jari jemarinya tidak mampu menulis tentang skandal besar keluarga kerajaan Britania Raya (Inggris).
Sebenarnya ini bukan karena Anna tidak tahu skandal macam apa yang sedang menimpa keluarga kerajaan Inggris namun semua perspektifnya dalam menulis artikel dihancurkan oleh sang atasan!
Kata atasannya, "perspektifmu masih kelihatan kalau kamu condong pada pihak kerajaan. Perspektifmu kurang luas. Kamu juga harus membahas Pangeran Harry dan Meghan Markle. Ingat di sini kamu bukan warga negara Inggris! Kamu adalah seorang jurnalis!"
Saat ini yang Anna butuhkan adalah mengutuk atasannya. Dia ingin sekali mengumpat di depan pria itu dengan berbagai bahasa. Sejauh ini, Anna tahu umpatan dalam Bahasa Indonesia, Inggris dan Bahasa Mandarin.
Dirinya tahu tiga bahasa itu karena ada kisah dibaliknya. Anna yang berumur 26 tahun memiliki darah campuran Yunani dari ayahnya dan Indonesia dari ibunya.
Keluarga Anna sempat tinggal di Indonesia selama 8 tahun. Itulah alasan Anna bisa Bahasa Indonesia. Lalu pindah dan menetap di Inggris hingga saat ini. Total 18 tahun ia tinggal di negara itu. Tak heran juga kalau dia mampu Bahasa Inggris. Setelah lulus kuliah, Anna mencoba peruntungannya magang di sebuah media internasional di China. Saat magang, Anna mulai belajar banyak Mandarin.
Kemudian, ia mendapat pekerjaan sebagai jurnalis di salah satu media terbesar di Eropa yang membuka cabang di London, Inggris bernama TRUTH. Pekerjaan menarik. Sayangnya satu tahun yang lalu ia dipindahtugaskan ke Istanbul, Turki. Gara-gara pindah ke Turki, dirinya harus menghadapi atasan super galak berumur 30 tahun. Pria itu bernama Ahmed!
"Anna, kenapa kamu belum pulang?" tanya Elif. Gadis itu adalah jurnalis rubik berita internasional. Orang Turki asli yang satu divisi dengan Anna.
Pertama kali melihat Elif, Anna tersenyum gemas. Bagaimana tidak? Elif memiliki rambut merah keriting panjang dengan bola mata berwarna hijau yang membuat Anna terpukau. Gara-gara rambut Elif yang mencolok, Anna dapat mengenali gadis itu dari jarak ratusan meter.
"Aku harus menyelesaikan satu artikel tentang skandal keluarga Inggris," jawab Anna lesu.
"Lho bukannya kamu sudah menyelesaikannya? Kemarin, kamu memberikannya ke Pak Ahmed kan?"
Anna menggeleng. "Pria gila itu menyuruhku revisi total. Katanya artikelku super jelek."
"Oh my God. Maafkan Pak Ahmed. Kadang… dia sedikit galak. Tapi niatnya baik. Dia hanya ingin tulisanmu punya perspektif yang luas," hibur Elif.
Sedikit apanya? Baik apanya? Dia itu super galak, batin Anna kesal.
"Kalau begitu aku pulang duluan ya. Aku harap kamu bisa menyelesaikannya," kata Elif.
"Oke. Hati-hati di jalan, Elif."
Sekarang inilah fakta yang harus dihadapi Anna. Dia harus berkutat di depan komputer sampai berhasil menulis 1500 kata tentang skandal keluarga Inggris dengan perspektif yang lebih luas!
Mengingat keburukan dan kegalakan Ahmed, membuat Anna menyesal pernah mengagumi pria itu. Dia memaki dirinya sendiri kenapa dulu bisa terpukau dengan pria bertama coklat itu!
Sial, batin Anna.
....
Satu tahun lalu…
Anna sangat senang bisa menginjakan kaki ke Istanbul, Turki. Dia ingin sekali pergi ke Istanbul sejak kecil. Alasannya sederhana. Anna ingin mengunjungi museum dan tempat-tempat bersejarah. Baginya Turki termasuk Istanbul adalah artefak nyata peninggalan Kerajaan Ottoman yang tersohor.
Itulah yang menyebabkan Anna setuju ketika dipindahtugaskan dari Inggris ke Turki. Dia tidak sabar memulai perjalanan baru sebagai seorang jurnalis di tempat ini.
Di hari pertamanya memasuki gedung media TRUTH cabang Istanbul membuat hatinya berdebar-debar. Dirinya tidak sabar berkenalan dengan para staf di sini.
"Halo, namamu Anna ya? Kamu dari Inggris kan?" tanya wanita berambut merah dengan mata hijau.
"Ya. Namamu siapa?"
"Elif," kata gadis itu dengan senyum cerah. "Ngomong-ngomong, atasan ingin menemuimu. Kamu di suruh masuk ke ruangannya. Kamu tinggal lurus lalu belok kanan. Ruang atasan ada di sebelah kanan."
Setelah mendengar instruksi Elif, Anna bergegas menuju ruangan atasan barunya. Dia belum pernah tahu wajah atasannya itu.
Anna mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruang kerja atasannya. Ruangan itu besar sekali. Ada rak-rak buku di setiap sudut dinding. Tak hanya itu, ada sebuah sofa empuk, meja, meja dan kursi kerja yang nyaman.
Sayangnya di dalam tidak ada orang. Anna berusaha mencari atasannya. Karena tidak menemukan atasan barunya, Anna hendak berbalik menuju pintu dan pergi. Sayangnya ia tidak sengaja menabrak sesuatu yang keras. Cukup keras sampai membuatnya hampir jatuh.
Namun sebelum itu terjadi, ada sebuah tangan besar memeluk pinggangnya. Membuat tubuh Anna yang kecil tidak terjatuh ke lantai.
Anna memandang orang yang memeluk pinggangnya itu. Matanya lansung terbelalak ketika melihat pria setinggi 190 sentimeter bermata coklat muda dihadapannya. Lima belas sentimeter di depan wajah Anna. Dengan rambut hitam dan wajah bak pangeran, siapapun bisa terpesona dengannya.
Seumur hidup Anna belum pernah melihat pria setampan itu. Wajah, rambut, mata bahkan tubuhnya begitu sempurna. Anna bisa merasakan otot-otot keras di balik jas abu-abu pria itu.
Siapa dia, batin Anna.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan suara berat.
Anna mengerjap. "Ya. Aku baik-baik saja."
Lalu pria itu melepaskan tangannya dari pinggang Anna. Keduanya nampak canggung.
Anna ingin sekali bertanya siapa nama pria itu, sayangnya pintu terbuka. Elif masuk dengan riang.
"Pak, ini daftar berita yang akan kita rilis minggu ini," Elif melaporkan.
Pria bermata coklat itu mengangguk dan menerima dokumen dari Elif.
Anna berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Kalau Elif memanggil pria di depannya ini dengan sebutan 'pak' berarti dia…
"Apa kamu adalah Anna, jurnalis TRUTH cabang London, Inggris?" tanya pria itu dengan suara berat.
"Ya."
"Duduklah," pria itu mempersilahkan Anna duduk di sofa.
"Maaf untuk kejadian yang tadi," Anna begitu menyesal telah menabrak atasannya itu.
"Gak masalah. Aku bisa memahami kalau beberapa gadis punya sikap ceroboh," balasnya.
Ceroboh? Apa dia sedang menyindir?
"Ngomong-ngomong, namaku Ahmed Elcin. Kamu bisa memanggilku dengan sebutan Pak Ahmed," pria itu memperkenalkan diri.
Anna mengangguk-angguk. Semakin lama ia melihat mata Ahmed, dirinya semakin mengagumi pria itu. Dia jauh lebih mirip patung yang dipahat dengan sempurna ketimbang manusia.
….
Setelah menyelesaikan artikel skandal keluarga kerajaan Inggris, Anna berjalan gontai menuju salah satu bar di jantung Istanbul. Bar itu adalah tempat persembunyian selama 1 tahun terakhir ketika dirinya lelah menghadapi kegalakan Ahmed.
Di dalam bar, Anna memikirkan tentang kehidupannya yang mengenaskan selama di Istanbul. Dia belum sempat berkeliling kota gara-gara pekerjaannya menyita waktu. Padahal tujuan awal dirinya bekerja di kota ini demi bisa melihat sejarah Kerajaan Ottoman lebih jauh.
"Kenapa kamu kelihatan murung? Pasti karena atasanmu ya?" tanya bartender bernama Ozkan. Dia adalah pria berumur 50an yang pandai meracik segala jenis minuman.
Ozkan adalah pria yang ramah. Dia sudah menjadi tempat curhat Anna selama setahun terakhir.
"Ya. Apa lagi kalau bukan karena si Ahmed sialan itu," balas Anna ketus.
Ozkan tertawa. "Daripada kamu stress dengan atasanmu, kenapa kamu gak mencoba berlibur? Katanya kamu ingin mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Istanbul."
"Iya sih. Tapi…"
"Jangan banyak alasan. Besok lusa kan hari Sabtu. Kamu harus berkeliling kota. Lupakan masalah pekerjaanmu dan atasanmu yang super menyebalkan itu," Ozkan memberi saran. "Kamu butuh berlibur, Anna."
"Baiklah."