Untuk menghilangkan stres, Abian memutuskan untuk pergi ke kebun. Sekedar mengirup udara segar dan me-refreshing-kan otak. Kebetulan sekali, ada Asep dan mang Ade di pondok. Abian segera menghampiri mereka.
"Sep! Udah lama gak kelihatan, kemana aja?" tanya Abian basa-basi.
"Eh, kamu yang kemana aja? Udah seminggu gak ketemu saya. Kamu teh, lagi bulan madu, ya?" tebak Asep asal.
"Sembarangan maneh mah! Aku itu habis dari rumah mertua, kemarin nginep di sana," jawab Abian dengan logat campur-campur seperti es doger.
Siang itu, Asep dan mang Ade sedang menikmati makan siang. Sebenarnya bukan makan siang, karena sekarang sudah lewat dari jam 2. Tapi berhubung mereka sibuk dan baru sempat sekarang, jadi makan siangnya agak sore.
Mang Ade yang sibuk mengunyah nasi dan ikan asin di mulutnya pun ikut nyaut, "Bian, gimana rumah tangga kamu? Aman?"
Abian yang terus kepikiran dengan ucapan Rani—ibu mertua jadi tidak fokus. Ia malah bengong sampai tak sadar kalau Asep melambaikan tangan di depan wajahnya.
"Eh, Bian! Malah ngelamun," tegur Asep sambil menyenggol bahu kiri Abian.
Abian kaget. "Hah? Kenapa?" tanya Abian ling-lung.
"Itu Mang Ade nanya, rumah tangga kamu aman nggak? Saya teh curiga, Jangan-jangan lagi di terpa badai nya'? Makanya kamu ngelamun," ucap Asep yang lagi-lagi di sertai dengan tebakan asal.
"Astaghfirullah, nggak ih. Aku itu lagi kepikiran sama omongannya mama mertua yang udah nagih cucu," kilah Abian cepat.
Ucapan Asep sangat tidak berperasaan. Maksudnya apa bicara begitu? Mau mendoakan agar rumah tangganya hancur? Abian cuma merengut kesal sambil sekali lagi memikirkan permintaan mama mertua.
"Nah kan, terus kamu jawab apa?" tanya Mang Ade kepo.
"Ya, Bian jawab aja 'iya'." Abian mengangguk.
Mang Ade segera mencuci tangan sehabis makan. Pandangan mata Abian tak pernah lepas dari pria ber-selendang sarung itu. Ia terus memperhatikannya sambil menunggu dia bicara.
"Kamu jawab apa? 'Iya'? Memangnya kamu teh udah sembuh?"
Pertanyaan mang Ade kali ini terdengar mengganjal di telinga. Bahkan tidak di jawab pun, pasti mang Ade sendiri tau jawabannya. Seperti biasa, Abian hanya cengar-cengir menanggapi pertanyaan itu.
Abian melihat Asep di sebelah kirinya, bibirnya terangkat sedikit. Agaknya dia bingung. Satu detik kemudian, mang Ade dan Asep tepok jidat secara bersamaan. Mereka jengah dengan sikap Abian. Sudah tau sakit, tidak mau di obati. Sekarang kena batunya kan?
"Makanya, kamu ikutin aja saran Mamang waktu itu. Gak perlu banyak-banyak, sekali aja cukup," ucap Mang Ade sambil merangkul pundak kanan Abian.
"Tapi Mang—"
"Kamu teh udah nikah, gak papa atuh! Nih, ya kamu bayangin kalo sampe kami gak sembuh, nanti apa yang bakal terjadi sama rumah tangga kamu? Bisa-bisa si Ayla teh minta cerai, karena gak di sentuh sama kamu. Mau rumah tangga kamu hancur karena penyakit gila mu itu?" Abian menggeleng. "Makanya berobat!" tukas Mang Ade kesal karena Abian tak kunjung mau menerima saran darinya.
Asep yang kebingungan dengan arah pembicaraan Mang Ade pun cuma bisa mengerjapkan mata lucu, mereka ngomong apa, Asep tak tau. Atau lebih tepatnya tidak mengerti.
"Kalian ngomongin apa? Saya teh gak ngerti," ucap Asep.
"Udah, budak leutik cicing, iyeu teh urusan yang sudah berkeluarga, iya kan Abian?" Abian mengangguk polos. Sebenarnya dia mengerti atau tidak? Anggukannya itu, lho polos banget.
Melihat tanggapan mereka, Asep cuma bisa tersenyum datar. Bibirnya senyum, tapi matanya kesal. Senyumnya jadi tampak garing seperti kerupuk baru di goreng. Jengah dengan semua itu, Asep memutuskan untuk pamit pulang saja. Dia harus mengangon domba miliknya yang pasti sudah menunggu kepulangannya.
Asep adalah anak tunggal ibunya. Ayahnya sudah lama meninggal sejak ia masih duduk di bangku SD. Beruntungnya, sang ayah meninggalkan sedikit warisan berupa sebidang sawah, rumah dan juga beberapa ekor domba. Awalnya, domba itu hanya berjumlah 3 ekor, tapi sekarang sudah menjadi 15 ekor. Semua itu domba miliknya sendiri, dan ada satu domba yang di pinjam tetangganya untuk di kawinkan dengan domba miliknya.
Berbeda dengan Asep yang hidupnya berkecukupan, Abian malah hidup dengan tekanan. Dia selalu hidup di bawah tekanan ibu tirinya. Belum lagi kebencian sangat ibu yang tidak mau memberikan fasilitas padanya, membuat Abian harus berusaha keras mencari uang sendiri untuk memenuhi kebutuhannya.
"Bian, Mamang punya solusi bagus untuk ngobatin penyakit kamu," celetuk Mang Ade.
"Apa, Mang?"
Abian tersenyum saat mendengar bisikan dari orang yang sudah ia anggap sebagai pamannya itu. Ide kali ini tidak nyeleneh, ide kali ini juga cukup masuk akal. Ide bagus, mungkin Abian bisa menggunakan itu kali ini.
"Iya, Mang. Kalo itu, Abian setuju. Tapi ... Memangnya Dedeh mau?"
"Tenang, kalo soal Dedeh nanti biar Mamang yang ngomong, kamu tinggal siapin diri aja," ujar Mang Ade tanpa campuran bahasa sunda di kalimatnya. Tapi tetap, logat sundanya tidak ketinggalan.
Abian mengangguk. "Ya udah, Mang. Kalo gitu, Bian pulang dulu ya, besok janjian disini lagi ya," ucap Abian.
"Iya,"
Akhirnya Abian pulang dengan hati gembira. Tidak sabar menunggu hari esok. Sesampainya di rumah, ia langsung mandi dan sholat ashar.
Ayla yang saat itu sedang melipat selimut heran melihat suaminya pulang dengan wajah sumringah. Dia datang ke kamar dengan senyum mengembang, membuat Ayla heran dan bertanya-tanya. Tapi saat ditanya, Abian cuma menjawab 'Gak papa, lagi senang aja,' . Jawaban Abian tidak memuaskan. Ayla semakin penasaran.
Saat sudah selesai sholat, diam-diam Ayla membuka pintu kamar dengan celah sekecil mungkin. Dia memperhatikan Abian yang memunggunginya. Rupanya Abian sedang berdiri menatap cermin, dan ... Hey, apa yang dia lakukan? Dia berlagak seperti pria sedang ....
"I love you, Baby,"
Ayla sontak menutup mulut saat mendengar Abian berkata demikian. Apa dia tidak salah dengar? Abian bilang I love you ke cermin? Tapi melihat ekspresi wajah Abian di pantulan cermin, membuat Ayla semakin penasaran. Dia berkata sambil mengedipkan sebelah matanya. Tak lupa juga, kancing baju koko bagian atasnya di buka sedikit, hingga dapat memperlihatkan sedikit dadanya.
Ayla semakin serius mengintip saat Abian mengusap rambutnya seperti anak muda, menggosok dagunya yang berbulu dengan tangan sambil berlagak sok dewasa. Padahal, menatap Ayla saja tidak berani. Tapi dia malah bertingkah seperti itu di depan cermin. Tunggu, Abian sehat kan? Ayla mulai meragukan kesehatan suaminya.
Sedetik kemudian, Ayla melihat pemandangan aneh. Abian memonyongkan bibirnya sambil mengeluarkan bunyi kecupan seolah-olah sedang berciuman. Tidak, Abian tidak sehat.
"Abian." Ayla membuka pintu yang dari tadi hanya muat untuk sebelah matanya saja.
Abian kaget dan langsung berbalik sambil mengancing baju. Gugup? Pasti. Gerogi? Jelas! Ayla datang tiba-tiba, membuat Abian yang tak siap langsung kalang kabut mengancing baju sampai tangannya gemetaran.
"Perasaan, tadi Ayla lagi ngangkat kain jemuran di luar, kenapa malah di sini?" pikir Abian membatin.
"Kamu ngapain?" tanya Ayla yang memang sudah tak bisa menahan rasa penasarannya.
"A—aku? Nggak ngapa-ngapain, kok!" elak Abian dengan senyum konyol khasnya.
Alis Ayla terangkat, menandakan dia tidak percaya. "Terus tadi kamu kenapa bertingkah aneh di depan cermin?" Ayla masih berusaha menelusuri keanehan Abian.
"Ah, itu ... Anu ... Aku ... Anu, aku ... "
"Anu-anu apa? Kalo ngomong yang jelas dong!" sergah Ayla yang mulai sabal.
Abian bingung harus jawab apa. Untungnya ponsel Ayla berbunyi hingga mampu mengalihkan perhatian wanita itu. Meski awalnya sempat menolak untuk menjawab panggilan, tapi Ayla mau juga karena Abian yang memaksa.
Saat Ayla mengangkat telepon di ruang tamu, cepat-cepat Abian sembunyi dalam selimut. Bodoh memang, orang badan segede gajah gitu masa iya sembunyi di balik selimut. Ya tetap kelihatan.
"Abi ... " Ucapan Ayla terhenti saat melihat keadaan selimut sudah menutupi tubuh besar Abian.
Apa daya? Ayla cuma geleng-geleng kepala melihat tingkah aneh Abian yang lagi dan lagi seperti anak kecil. Rasa ingin menampol, tampol pake bibir. Hahah!