"Kamu gak salah, Abian. Aku yang salah," gumam Ayla tanpa bisa di dengar Abian.
Ayla berusaha meredam emosi nya seraya sesekali menyeka air mata yang jatuh membasahi pipinya.
"Nggak, aku gak mau ngomong sama kamu!" Teriak Ayla dari dalam kamar.
"Untuk apa aku ngomong sama kamu? Bukannya selama ini kamu gak pernah nganggap aku? Bukannya selama ini kamu gak mikirin aku sebagai istri kamu? Dan kamu juga gak peduli kan sama aku?" sambungnya lagi.
Abian kembali tersentak. Ia tak pernah berpikir sejauh itu, ia juga tidak pernah melakukan apa yang ada dalam anggapan Ayla. Abian tidak pernah berpikir kalau Ayla akan beranggapan seperti itu tentang nya.
Mau bagaimanapun, Abian tetap menganggap Ayla. Hanya saja, ia tidak berani berbuat jauh dari hanya sekedar bicara. Percayalah, berhadapan dengan Ayla saja sudah membuat Abian gemetar, apalagi berbuat yang lain.
Memang Abian pernah berjanji untuk sering mengajak Ayla bicara. Tapi Abian tetaplah Abian. Sekuat apapun dia berusaha, trauma itu akan tetap ada.
"Makanya aku minta maaf. Aku benar-benar gak pernah mengabaikan kamu, aku cuma gak tau harus ngomong apa sama kamu," lirih Abian.
"Ayla, ayo keluar. Kita ngobrol sebentar," pinta Abian.
Mendengarnya Ayla langsung luluh. Suara Abian sangat ajaib. Ada energi tersendiri yang membuat Ayla merasa tidak tega pada suami yang beda usia satu tahun dengannya itu. Dengan menarik napas panjang, Ayla bersiap dan bersedia membuka pintu kamarnya.
Abian senang karena Ayla akhirnya mau keluar. Segurat senyum terukir di wajah tampannya.
"Masuk!" perintah Ayla pada Abian.
Abian menggeleng. "Nggak, kita ngomong di luar aja," tolak Abian. Yang di maksud di luar itu tentu saja di ruang tamu.
"Kenapa harus di luar? Kita ngomong di kamar atau gak usah ngomong sekalian, Mr. Cool!" ujar Ayla lagi dengan memberi julukan baru untuk Abian.
Bukannya menurut dan masuk, Abian malah masih berdiri di depan pintu sambil menatap Ayla yang sudah duduk manis di tepi ranjang dan siap memulai perbincangan. Ragu? Jelas.
"Kenapa diem di situ? Tenang aja kamu gak akan aku perkosa, ayo sini!" pinta Ayla lagi sambil menepuk kasur di sampingnya.
Dengan berat hati bagai memikul batu besar dengan berat ratusan ton, Abian mengalah demi Ayla dan menurut untuk masuk—bicara di kamar.
Meski Abian menurut untuk bicara di kamar, tapi dia tidak mau duduk di sebelah Ayla. Dia lebih memilih duduk di lantai dengan jarak yang cukup jauh dengan Ayla. Membuat dahi gadis itu mengerut bingung.
"Terus, jaga jarak aja terus. Kita lagi sosial distancing?" kata Ayla jutek. Abian cuma nyengir menanggapi hal itu.
"Apa kita ada masalah?" tanya Abian dengan kepolosan ter haqiqi yang ia punya.
Ayla mengusap wajahnya dengan kesal. "Untuk apa nanyain sesuatu yang udah jelas?" jawab Ayla masih jutek.
Abian ini bagaimana, sih? Istri lagi ngambek dia malah cengar-cengir gak jelas. Pasang wajah solat polos, tapi bikin gak tega kalo di tampol. Pengennya nampol pake bibir.
"Emang masalah kita apa?"
"Masalah kita? Kamu yang punya masalah! Kenapa kamu diemin aku dan selalu menghindar dari aku?!" sergah Ayla sengit.
"A—aku pikir kita baik-baik aja. Aku juga gak pernah ngindarin kamu," jawab Abian polos.
Abian itu anak pesantren. Dia di ajarkan untuk bersikap sopan dan selalu bertindak sesuai keadaan dan tempatnya. Kalau tidak di suruh, ya dia tidak akan melakukan. Kecuali sesuatu yang memang harus ia lakukan, tanpa di suruh pun dia pasti akan melakukannya.
Sama halnya dengan bicara, kalau di tanya otomatis dia menjawab. Tapi kalau tidak di suruh bicara, ya dia diam. Seperti hadis yang mengatakan, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam. " Berpatokan pada hadis tersebut, Abian jadi seorang yang pendiam dan jarang bicara.
Tapi, hal itu malah membuat Ayla marah.
"Beneran? Terus kenapa kamu gak pernah ngomong dan dingin sama aku?" tanya Ayla.
"Kapan aku bersikap dingin sama kamu?" Abian malah balik nanya.
Ayla langsung berdiri dari kasurnya. Spontan Abian juga ikut berdiri. Abian mendapati mata Ayla yang menatap tajam padanya. Dengan tangan yang di tekuk di dada, Ayla memonyongkan bibir nya, pertanda marah.
"Udah lah! Percuma ngomong sama kamu! Kamu itu emang gak peka, dan gak akan pernah peka!" tukas Ayla.
"Tapi aku bingung gimana caranya ngadepin kamu." Abian menatap Ayla nanar.
"Ayla, ajarin aku jadi suami yang baik," pinta Abian memelas.
Ayla memalingkan wajah dengan cepat. "Ada syaratnya," ucapnya kemudian.
"Apa?"
"Kali ini, kamu harus benar-benar nepatin janji kamu untuk gak pernah cuekin atau mengabaikan aku lagi, paham?"
Abian mengangguk. Itu syarat yang mudah. Tidak sulit di lakukan jika mereka mau bekerja sama. Membangun rumah tangga yang menjadi impian banyak orang.
"Oke, anggap aja aku seperti temen kamu," ujar Abian.
"Teman?" Ayla mengulangi pernyataan Abian. "Oke," simpul Ayla pada akhirnya.
Ayla menjulurkan tangan dengan maksud untuk bersalaman dengan Abian. Tapi sifat anak pesantren Abian masih lengket seperti lem dengan dirinya. Ia hanya membalas salam tangan Ayla dengan menyatukan kedua tangannya di depan Ayla.
Ayla bingung, dia menarik kembali tangannya dengan wajah asam. Sedangkan Abian cuma nyengir.
"Kamu ... Kenapa selalu diem?" tanya Ayla saat mereka sedang makan siang.
"Aku emang selalu diem," jawab Abian sambil mengunyah nasi.
"Sekarang kita jadi teman, jadi kamu harus banyak ngomong. Gak boleh diem-dieman lagi!" larang Ayla tegas.
"Iya, IsyaAllah,"
Ayla menghentikan gerakan tangannya yang sedang menyuap makanan ke mulut. Sendok dan garpu yang tadi dia pegang di hempas kan begitu saja ke piring, hingga menimbulkan bunyi nyaring khas benda besi beradu dengan kaca.
"Kok 'InsyaAllah'?" Protes Ayla.
"Ay, kita orang Islam. Kalau di tanya, ya jawabnya 'InsyaAllah', " ujar Abian tenang.
Ayla cuma mengangguk pelan. Sekarang ia baru sadar, kalau suaminya ini benar-benar berbeda dari laki-laki manapun. Dia seperti lemetid edition. Hanya satu di dunia. Suami langka yang cuma dia yang punya.
Abian itu umurnya masih muda. Masih 22 tahun, tapi dia dewasa. Anehnya, wajah laki-laki itu terlihat masih unyu dan baby face. Seperti bayi, padahal ber-brewok. Sekelibat pikiran mesum singgah di otak Ayla. Bagaimana penampakan dalam tubuhnya Abian? Bagaimana rasanya bertukaran ludah dengan Abian? Ah, jangan terlalu jauh berpikir. Abian sangat alim dan tekun ibadah. Apa dia berpikiran seperti yang Ayla pikirkan? Rasanya tidak.
Abian senang melihat Ayla sudah kembali seperti sebelumnya. Mood gadis itu terlihat lebih segar sekarang. Abian hanya berharap, suatu saat Ayla bisa membuatnya sembuh dari trauma masa lalunya dan bisa membina rumah tangga harmonis nan bahagia. Setiap detik, ia semkin mencintai Ayla.
Dengan kejadian pagi tadi, mereka tidak tau kalau itu akan jadi awal dari kisah cinta mereka yang sesungguhnya. Lembaran baru akan di buka, kisah baru akan bermula. Kisah Abian, suami dewasa yang trauma perempuan dan Ayla, si gadis manja yang rindu akan kehangatan.