"Abian.!"
Terdengar suara teriakan yang begitu menggelegar. Abian yang saat itu sedang menjemur pakaian di halaman belakang rumah, langsung terlonjak kaget. Pasti Renata sudah pulang. Cepat-cepat ia membereskan sisa baju yang akan ia jemur.
"Abian.! Dimana kamu?!"
Dan kali ini bukan hanya Abian yang kaget. Ayla yang saat itu sedang tidur siang sehabis mencuci juga ikutan kaget. Serasa bagai suara toa di telinganya.
"Abian.!"
"Iya, Bik!" balas Abian sambil berlari masuk ke rumah.
Ia bahkan sampai terpeleset saat hendak menaruh ember bekas mencuci tadi, karena terlalu terburu-buru.
"Ada apa, Bik? Kenapa teriak-teriak?" tanya Abian saat sampai di dekat Renata.
Renata lagi-lagi menatap Abian dengan kedua bola mata tajam miliknya. Begitu tajam sampai rasanya mata itu ingin loncat keluar. Abian cuma tersenyum canggung saat di tatap. Meski ia sikapnya cukup dewasa, tapi di saat berhadapan dengan perempuan Abian tetap menjadi Abian kecil, Abian yang polos dan lugu. Terutama di depan Renata, sifat bayinya keluar sudah.
"Dari mana aja kamu?! Dari tadi saya panggilin gak nyaut-nyaut," omel Renata kesal.
"Bian habis jemur baju, Bik. Emang kenapa? Bibi lapar? Bian belum masak,"
"Apa?! Belum masak? Jam segini belum masak, terus saya harus makan apa? Makan batu?!" hardik Renata sambil berkacak pinggang.
Abian cuma tertunduk menerima omelan sangat bibi. Tangannya saling menggenggam di bagian bawah perutnya. Memintal kain baju yang sedikit lebih panjang dari pinggangnya. Persis seperti anak SD yang di marahi guru karena ketahuan mencontek.
"Kenapa diem?! Masak sana!" titah Renata.
Abian cuma bisa mengangguk pelan. Pintu dapur menjadi tujuannya melangkahkan kaki. Tubuhnya sudah lelah, tangannya sudah pegal, dan sudah tak terhitung lagi berapa liter peluh yang ia keluarkan. Bahkan seteguk air pun belum sempat melewati lehernya yang kering. Tapi ia sudah di suruh masak makan siang.
Lelah memang, tapi Abian harus melakukan perintah ibunya. Kalau tidak, dia bisa marah besar nanti.
"Bian, tunggu!" cegah Ayla. "Kamu mau kemana?"
Abian menoleh. "Mau masak," jawab
"Masak? Tapi kamu belum istirahat sama sekali, kamu gak capek?"
"Nggak, aku udah biasa,"
Lelaki bertubuh proporsional itu bisa melihat kening istrinya mengerut. Mungkin dia heran atau bingung karena Abian terbiasa melakukan pekerjaan rumah. Tapi Ayla juga terlihat menatap Renata dengan tatapan berbeda. Bukan, bukan seperti menantu menatap mertua. Itu lebih terlihat seperti tatapan marah atau kesal.
Sedetik kemudian, Ayla mendekati Renata. Wanita berumur sekitar 40 tahunan itu terlihat gugup. Dalam hati Abian, selalu bertanya-tanya, apa yang akan Ayla lakukan?
"Ibu nyuruh Abian masak?" tanya Ayla.
"Ayla, kamu masih disini? Kamu gak takut orang tua kamu nyariin, kamu pulang aja ya," ucap Renata mengalihkan topik pembicaraan.
Abian menenggak saliva nya. Takut melihat adegan yang akan terjadi selanjutnya.
"Ibu, ibu tau gak? Dari tadi pagi, Abian udah bersihin rumah. Dan sekarang di suruh masak? Ibu gak mikir, Abian pasti capek," ujar Ayla.
Sepasang mata elang menatap Abian. Tentu saja mata itu membuat Abian lagi-lagi menelan ludah. Melihat sepasang mata itu, terlihat seperti bibir yang berkata, "Abian, awas kamu nanti!".
"Buk, biarin Abian istirahat dulu. Kasihan dia. Lagian, aku heran. Kenapa Ibu nyuruh Abian bersihin seisi rumah sendirian? Emangnya Ibu gak pernah bersihin rumah? Kerjaan Ibu setiap hari apa? Bahkan pakaian kotor gak di cuci, padahal ada mesin cuci. Ibu males?" ujar Ayla lagi panjang lebar membuat Renata jengah.
Jika saja ia tidak sayang dengan menantunya itu, sudah pasti ia membungkam omongan receh nya. Berani sekali dia berkata begitu lancang kepadanya. Membuat Renata sedikit jengkel.
Harus jawab apa dia sekarang?
"Ayla, bukan gitu. A—abian sendiri yang mau bersihin rumah, iya kan, Abian?" kata Renata dengan tatapan akhir ke arah Abian.
"I—iya," jawab Abian kaku.
Ayla tak percaya dengan omongan itu. Itu terdengar seperti omong kosong yang sama sekali tidak terlihat kebenarannya. Abian mengerti dengan jalan pikiran Ayla, dia semakin gugup saat Ayla ikut memperhatikan nya. Ya Allah, susah juga jadi suami.
"Aku gak percaya. Tadi Abian sempat bilang kalau dia udah terbiasa ngelakuin pekerjaan rumah, berarti selama ini emang Ibu yang nyuruh Abian kerja?" tuduh Ayla yakin.
"Nggak gitu, Ayla. Ibu cuma—"
"Jadi begini perlakuan Ibu sama Abian?"
"Ayla dengerin Ibu dulu, kamu jangan asal tuduh dong! Lagian itu memang pantas Abian dapetin, dia kan cuma anak tiri," tukas Renata.
Mata Ayla menyipit. Jadi benar, selama ini Abian diperlakukan dengan tidak baik di rumahnya sendiri. Benar-benar bukan perilaku yang mencerminkan seorang ibu. Walaupun Abian hanya anak tiri, seharusnya tidak di perlakukan seperti itu.
"Meskipun Abian anak tiri Ibu, tapi gak seharusnya Ibu kasar sama dia. Tadi aku dengar Ibu teriak-teriak manggil nama dia, gak bisa lembut dikit? Udah marah-marah, pake acara teriak lagi," omel Ayla yang terkenal cerewet. "Abian, kenapa kamu gak ngelawan? Lemah banget sih jadi cowok!" Kali ini omelan berpihak pada Abian.
"Ayla, udah. Aku gak papa kok," gumam Abian.
Ayla cuma diam. Menunggu Renata kembali buka suara. Apa yang Abian takutkan akhirnya terjadi, Renata yang suka marah dan Ayla yang cerewet kini terlibat adu mulut. Apa jadinya jika dua orang wanita yang sama-sama keras kepala bertengkar? Abian tidak tahu, hanya waktu yang bisa menjawabnya.
"Ayla, sebaiknya kamu itu gak usah ikut campur. Ini urusan Ibu sama Abian." Tegas Renata. "Abian, cepat masak! Kenapa masih berdiri di situ?!" perintah Renata lagi pada Abian.
Mendengar suara bernada tinggi Renata, membuat Abian gentar. Dia mengangguk dan melangkah pergi. Tapi sekali lagi Ayla mencegahnya. Tak lupa pula tangannya mencekal tangan Abian.
"Jangan Abian, kamu gak perlu masak untuk perempuan ini," sergah Ayla.
"Ayla!" tegur Abian.
Apa yang Ayla katakan itu terlalu kasar. Abian pun bisa merasakan betapa tersinggung nya Renata akibat perkataan Ayla tadi. Mungkin itu hanya ungkapan kalimat biasa dari gadis cerewet seperti Ayla. Tapi bagian Abian, itu terlalu kasar.
"Maksud kamu siapa?" tanya Renata yang merasa tersinggung.
"Siapa? Ibu lah, siapa lagi?" jawab Ayla santai.
Tak tanggung-tanggung, kali ini sebuah tamparan melayang begitu saja ke pipi kiri Ayla. Sorot matanya melibatkan betapa marahnya dia pada sosok Ayla. Siapa dia beraninya berkata tidak sopan padanya.
Abian yang melihat Ayla oleng karena tamparan Renata pun langsung menangkapnya. Hampir saja Ayla jatuh. Mata Abian kini ikut melotot menatap Renata.
"Bibi!" pekik Abian.
"Apa?! Dia yang salah, berani-beraninya hina saya kaya gitu, dia pikir dia siapa?!"
"Tapi gak sepantasnya Bibi nampar Ayla, dia gak salah, Bik!"
"Itu akibatnya, kalo dia berani ikut campur urusan saya," ketus Renata.
Abian masih menggeleng melihat sikap ibu tirinya yang begitu keterlaluan. Ayla yang ada di sampingnya juga ikutan heran. Renata yang selama ini selalu bersikap ramah dan bersahabat, kini terlihat berbanding terbalik. Jadi, selama ini Renata menggunakan topeng?
Semasa Ayla masih menjalin hubungan dengan Daniel, Renata begitu baik. Tapi sekarang dia sudah tau sifat asli mertuanya itu. Dia bermuka dua. Topengnya sudah terbuka.
"Bibi boleh bentak aku, Bibi boleh kasar sama aku, bahkan Bibi boleh nampar aku, tapi nggak dengan Ayla," kata Abian.