"Bibi boleh bentak aku, Bibi boleh kasar sama aku, bahkan Bibi boleh nampar aku, tapi nggak dengan Ayla," kata Abian.
Meski Abian masih belum bisa menerima Ayla sepenuh hati, tapi ia tetap tidak bisa membiarkan Bibi-nya memperlakukan Ayla dengan kasar. Ayla tidak salah, dia juga tidak ada sangkut pautnya dengan Abian.
Abian melirik ke arah Ayla yang ada di sebelahnya, dengan jelas Abian dapat melihat pipi bagian kiri Ayla memerah. Ada bekas lima jari juga di sana. Sedangkan Ayla hanya meringis menahan sakit.
"Oh, udah berani kamu, ya?! Berani melawan sekarang?!" bentak Renata.
"Bian bukan melawan, tapi Bian gak suka Bibi nampar Ayla,"
Renata mendorong tubuh Abian hingga jatuh ke lantai. "Terus kamu mau apa?! Gak usah sok berani! Saya ini orang yang udah membesarkan kamu dari bayi, kamu sadar dong kalo kamu ini cuma anak haram! Anak haram!" ucap Renata tegas.
Ucapan itu untuk mengingatkan pada Abian dimana kedudukannya. Sebagai anak selingkuhan Budi, Abian yang lebih dulu di kandung tanpa status pernikahan tentu menjadi momok terbesar yang dia punya. Abian paham akan hal itu, dia memang beban, dia memang anak yang tak diinginkan. Tapi siapa yang mau terlahir dadi hubungan gelap?
Tidak ada! Abian tidak bisa memilih untuk terlahir dadi rahim siapa. Tapi dia masih bersyukur, karena ayahnya masih mau menerimanya. Meskipun Renata selalu menaruh dendam kesumat padanya.
Abian bangkit dan kembali berdiri menatap Renata. "Tapi tolong, jangan kasar sama Ayla," ucap Abian memelas.
"Ada apa ini?" Budi datang seraya bertanya kepada Renata.
"Ini, liat ni anak kesayangan kamu. Mau cari gara-gara! Mulai berani dia!" adu Renata.
"Abian, ada apa?" Budi melihat Ayla yang meringis sambil memegangi pipinya. "Ayla, kamu kenapa?" tanya Budi pada Ayla.
"Bibi nampar Ayla, Yah," jawab Abian.
"Apa?" Ucap Budi kaget.
"Apa?! Kamu mau belain dia?! Denger ya, dia itu cuma anak selingkuhan kamu, jadi gak usah terlalu di manja, nanti keterusan!" sergah Renata kesal.
Budi hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah istrinya yang selalu saja berlaku angkuh pada Abian. Tidak hanya pada Abian, bahkan pada Budi juga selalu kasar. Suka teriak-teriak, dan suka sekali membentak.
Abian kembali melirik Ayla, memastikan kalau wanita itu baik-baik saja.
"Abian, denger ya. Saya benci sama kamu, dan akan selalu benci sama kamu. Jadi, jangan harap kalo saya akan bersikap baik sama kamu!" tutur Renata seraya kembali mendorong Abian yang kali ini terdorong ke arah Ayla.
Setelah bicara dengan urat yang cukup tegang, Renata lekas pergi ke kamarnya dengan amarah yang masih belum reda. Abian benar-benar membuatnya jengkel. Ditambah lagi Daniel yang tak kunjung kembali, membuat Renata uring-uringan karena tidak ada lagi yang bisa di ajak bicara.
Bicara pada Budi? Sama sekali tidak membantu. Dia malah membela Abian terus-terusan. Mentang-mentang Abian anak pesantren, Budi selalu menyebutnya anak alim. Membuat Renata makin naik pitam.
"Bian, kamu disini? Kenapa gak ngabarin Ayah?" tanya Budi pada Abian.
"Bian pikir Ayah udah tau. Tadi pagi waktu Abian datang, Ayah udah pergi ke kerja," jawab Abian.
"Kami di suruh bibi ya? Pasti dia nyuruh kamu bersih-bersih rumah. Kenapa kamu mau?"
"Gak papa, Yah. Abian juga pengen ke sini, jadi sekalian aja bersihin rumah," kata Abian dengan senyum terukir di wajahnya.
Budi mengajak Abian dan Ayla duduk di ruang tamu. Mereka bicara banyak hal siang itu. Sebenarnya Ayla ingin pulang, tapi tidak enak karena Abian terlihat asik sekali saat ngobrol bersama ayahnya. Ayla tidak mau mengganggu kedua ayah-anak itu.
Di rumah Abian, memang tidak ada pembantu. Jadi tidak heran kalau mereka tidak masak sendiri, tidak ada makanan di meja makan. Untuk itu Abian masak agar bisa makan siang bersama. Mereka makan bersama tanpa Renata. Wanita itu enggan keluar kamar, katanya muak melihat wajah Abian.
Ya, tapi Budi tidak ambil pusing. Kalau tidak mau makan, ya sudah.
"Ayla, kenapa? Masakan ku gak enak ya?" tanya Abian saat tak sengaja menangkap raut wajah sedih Ayla.
"Nggak. Makanannya enak, kok. Aku cuma ... Gak nyangka aja, ternyata ibu sikapnya kaya gitu. Padahal waktu aku masih pacaran sama Daniel, dia baik banget," jelas Ayla.
"Jangan heran Ayla, ibu mertua kamu emang gitu. Tapi aslinya dia baik kok," timpal Budi pula.
"Jadi, selama ini Abian selalu di perlakukan kasar kaya gitu? Kenapa Ayah diem aja?" protes Ayla.
"Ayla, udah ya. Gak usah di perpanjang. Sekarang kita pulang, yuk! Kamu pasti capek. Ayah juga mau istirahat, kan?" sela Abian.
Ayla mengangguk. Akhirnya dia dan Abian pulang pada pukul dua siang. Dengan mengendarai sepeda motor milik Abian, Ayla duduk di jok belakang. Mereka melewati jalan yang di kedua sisinya terdapat hamparan sawah luas nan hijau. Sungguh pemandangan yang memanjakan mata.
Garut memang daerah istimewa. Di sepanjang jalan, Abian selalu melihat banyak petani sayur dan pekerja kebun teh. Banyak sayur mayur yang di kelola para warga desa, mulai dari kenyang, kol, wortel, terong, cabai dan banyak lagi. Kota yang identik akan suku Sunda ini, menyimpan banyak kenangan masa kecil Abian. Membuatnya betah tinggal di sini.
Saking asiknya menikmati perjalanan pulang, mereka sampai tak sadar kalau rumah Ayla sudah di depan mata. Mungkin perjalanan mereka hanya sekitar membutuhkan waktu 20 menit saja.
Ayla tidak langsung masuk. Dia malah bermain dengan kolam yang penuh ikan di halaman rumahnya. Abian memutuskan untuk istirahat di dalam, lelah setelah hampir seharian membersihkan rumah.
Tapi, Abian tanpa sengaja menguping pembicaraan Angga dan Rani—orang tua Ayla yang sedang makan siang di ruang makan.
"Menurut Papa, insting Mama bener gak? Mama merasa, ada jarak antara Ayla dan Abian." Terdengar suara Rani bicara sambil mengunyah makan siang.
"Iya, Papa setuju dengan pendapat Mama. Mereka sama sekali gak kelihatan seperti pengantin baru. Ya walaupun usia pernikahan mereka udah hampir satu bulan, tapi kan masih bisa di bilang pengantin baru," timpal Angga.
"Makanya, Papa desak aja Ayla untuk cepat-cepat punya anak," saran Rani.
"Papa juga maunya gitu. Tapi keliatannya mereka masih takut-takut buat ngomong,"
Abian semakin mempertajam pendengarannya. Pembicaraan ini semakin menarik, tapi ketika mendengar kata 'anak', membuat napas Abian berhenti sejenak.
"Terus, Papa ada rencana apa untuk mereka?" tanya Rani antusias.
Angga terdiam sejenak untuk berpikir, lalu dia tersenyum. "Papa ada ide," katanya.
"Apa?"
"Gimana kalo kita suruh mereka bulan madu?"
Rani berpikir sejenak, lalu ia ikut tersenyum lebar. "Ide Papa briliant! Kalo perlu, kita suruh mereka bulan madu besok pagi!" Abian menelan ludah. Kok jadi gini?
Bulan madu? Apa itu? Tapi, kedengarannya itu bukan ide bagus. Apa yang akan terjadi nanti? Mendengarnya saja sudah membuat Abian ingin menahan napas, apalagi mengalaminya. Ya Allah, jauhkanlah Abian dari pikiran buruk.
"Oke, Papa bakal ngomong sama Abian, Mama ngomong sama Ayla, ya?" simpul Angga.
"Oke!"
Abian sedikit terlonjak saat bahunya di tepuk oleh seseorang. Ternyata itu Ayla. Membuat kaget saja. Abian sampai mengusap dada karenanya.
"Ngapain?" tanya Ayla berbisik.
"Nggak, aku mau naik dulu ya," pamit Abian langsung berjalan menaiki tangga.
Sedangkan Ayla malah garuk-garuk kepala. Kebiasaan Abian nular nih, kayaknya.