Ayla pulang cukup larut hari ini. Jika biasanya dia pulang setelah ashar, tapi hari ini ia pulang saat azan maghrib sudah berkumandang. Bahkan papanya sudah pulang lebih dulu. Sementara Mama sedang membantu bik Kokom di dapur.
Tanpa sepengetahuan mama, Ayla mengendap-endap menaiki tangga menuju kamarnya. Bukan apa-apa, dia cuma takut kalau nanti kena ceramah mama juga karena pulang sesudah gelap. Selama ini mama sangat melarangnya pulang setelah matahari terbenam, katanya sih pamali gitu.
Akhirnya Ayla sampai di depan pintu kamar. Tinggal satu langkah lagi, Ayla bisa masuk dengan aman ke kamarnya. Tapi tunggu, ada suara merdu terdengar dengan samar dari dalam kamar. Seperti suara lantunan ayat suci, merdu sekali. Tapi siapa yang mengaji?
Abian, dia yang mengaji. Ayla bisa melihat Abian yang sedang khusyuk mengaji sambil memakai baju koko dengan posisi membelakangi Ayla. Duh, merdu banget suaranya. Bikin hati adem, pikir Ayla.
Tanpa sadar, senyum manis sudah terukir cantik di bibirnya. Abian yang sadar dirinya sedang di perhatikan, lalu menoleh ke belakang. Ia mendapati Ayla yang masih termangu didepan pintu.
"Kak Ay, ngapain disitu?"
Ayla tak bergeming.
Pemuda yang baru selesai sholat maghrib itu, melepas satu persatu pakaian sholatnya. Mulai dari sarung, peci, sampai baju koko.
"Kak Ay, ngapain?"
"Hah? Eum ... Aku ... Aku terkesima sama suara ngaji kamu, bagus banget. Jadi suka, eh maksudnya jadi adem dengernya, hehe," ucap Ayla dengan nada bicara gagap.
Ayla masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Harus buru-buru mandi, lengket banget rasanya. Bau badan juga sudah seperti orang bekerja berat.
Sementara Abian masih garuk-garuk kepala sambil duduk di tepi tempat tidur. Bingung juga dengan Ayla, gak tau bingung kenapa, pokoknya bingung aja gitu.
Abian masih duduk di tepi ranjang saat Ayla sudah keluar dari kamar mandi. Dia sibuk baca buku yang isinya ada tulisan arab. Mungkin buku doa-doa atau buku kisah nabi. Abian kan anak pesantren, jadi lekat banget dengan buku begituan.
Suasana kaku, jelas! Abian cuma bicara kalau di ajak ngomong doang. Sedangkan Ayla yang cerewet jadi pendiam tiba-tiba saat sedang bersama Abian. Duh, jadi canggung banget.
"Abian," ucap Ayla pelan. Mau mengajak Abian ngobrol, tapi sepertinya Abian tidak mendengar karena suara Ayla terlalu kecil.
"Kak." Giliran Abian yang manggil Ayla.
"Iya?" jawab Ayla antusias. Rambutnya masih basah dengan handuk membungkus kepalanya.
"Kita harus pindah ke rumah kita sendiri," info Abian.
"Rumah kita?" Abian mengangguk.
"Kenapa pindah? Tinggal di sini aja, enakan tinggal di sini. Ada papa, ada mama, ada bik Kokom juga, jadi rame,"
Abian menutup buku dan meletakan nya di nakas samping tempat tidur. Dia mengusap rambutnya yang masih basah sedikit karena habis wudhu tadi. Membuat kharismanya keluar.
"Kita gak bisa tinggal disini, kita udah menikah, malu atuh kalo tinggal sama orang tua. Ayah bilang, kalo udah nikah harus tinggal misah." Abian memberi pengertian layaknya orang dewasa, senyum manis sesekali mengembang di bibirnya.
Tapi, untuk Ayla ini hal yang tidak wajar. Tinggal terpisah dengan mama dan papa? Bisa gak, ya? Nanti yang mengurus rumah siapa? Yang nyuci baju dan piring siapa? Ayla? Gak, Ayla gak bisa dan gak mau juga ngurus semua itu. Dari kecil ia selalu di urus sama bik Kokom dan di manja sama mama. Gimana jadinya kalau tiba-tiba dia pisah rumah dengan mereka.
Tinggal sama Abian, cuma berdua aja? Bisa lebih sepi daripada kuburan itu rumah.
"Emangnya kita punya rumah?" tanya Ayla, berharap rumah itu gak ada.
"Gampang itu mah. Aku bisa minta tolong sama mang Ade,"
Mang Ade itu suaminya bik Mimin. Dan juga sudah cukup dekat dengan Abian.
Yah, beneran pindah ni?
"Tapi, emang mama dan papa setuju?"
"Nanti aku yang jelasin. Aku yakin mereka setuju,"
Ya sudahlah, mau menolak bagaimanapun juga, Abian akan terus memaksa. Tadi Dewi sempat bilang sebelum Ayla pamit pulang, katanya kita harus nurut sama suami. Apapun itu, selama bukan dosa, ya harus di turuti. Mungkin ini salah satu perintah yang harus di turuti.
Seperti janjinya, Abian menceritakan niatnya untuk pisah rumah saat makan malam tiba. Awalnya mama Renata tidak setuju, dia masih takut untuk melepas anak perempuannya jauh dari rumah. Tapi untunglah papa bisa menengahi dan memberikan penjelasan kalau itu ide yang bagus.
Tidak sepantasnya anak yang sudah berumah tangga tinggal bersama orang tua. Apalagi menantu laki-laki yang ikut tinggal di rumah mertua, kesannya tidak bertanggung jawab. Jadilah papa menyetujui kemauan Abian. Dukungan penuh papa berikan pada anak dan mantunya untuk pisah rumah. Biar belajar mandiri katanya.
Bahkan laki-laki bernama lengkap Anggara Bova itu juga sempat menawarkan diri untuk mencarikan rumah. Tapi dengan sopan Abian menolak. Malu, masa iya cari rumah aja mertua ikut turun tangan.
"Makasih, Pa. Secepatnya Abian akan cari rumah buat kami," ucap Abian di akhir diskusi.
Pas sekali. Saat makan malam usai, azan isya pun terdengar. Papa dan mama segera masuk kamar untuk sholat berjamaah. Begitu juga dengan Abian dan Ayla.
"Abian, kamu mau sholat?" tanya Ayla saat melihat Abian keluar dari kamar mandi. Habis wudhu kayaknya.
"Iya, Kak. Kenapa?"
"Gak ngajak aku?"
Abian terdiam. Baru kali ini ada perempuan yang minta jadi makmum padanya. Biasanya ia hanya sholat sendiri atau sholat berjamaah sekalian di masjid. Sekarang harus bagaimana? Jujur saja, Abian masih belum siap kalau harus menjadi imam, apalagi imam dalam rumah tangga. Rasanya gak sanggup.
"Eum ... Anu, Kak Ay—"
"Udahlah, lain kali aja. Aku ngantuk mau tidur," potong Ayla pada ucapan Abian.
Syukurlah, Abian gak jadi imam. Pasalnya ia masih takut pada makhluk ciptaan Allah yang bernama 'Perempuan' itu. Masih teringat kisahnya dulu saat masih SMP, ia pernah hampir disetubuhi oleh tante-tante ganjen.
Bahkan Abian sampai trauma, satu bulan dia mengurung diri dari lingkungan luar. Ditambah lagi perilaku sang ibu tiri yang selalu berkata kasar dan nyuruh-nyuruh terus, membuat Abian sulit beradaptasi dengan perempuan.
Aneh juga, sih. Tapi memang begitulah adanya. Abian masih trauma sampai sekarang.
***
Pagi menjelang. Ayla bangun saat menyadari Abian tidak ada di kamar. Biasanya ada di sofa, tapi sekarang tidak ada. Celingak-celinguk mencari ke segala arah, tapi tak ada juga. Sampai akhirnya Ayla mendengar suara orang berbisik di balkon. Pasti itu Abian. Kelihatannya sedang telponan.
"Berapa, Mang?" tanya Abian pada orang di sebrang telepon.
"...."
"Bisa kurang gak, Mang?"
"...."
"Ya udah, segitu aja. Nanti Abian lihat langsung, makasih ya, Mang." Sambungan telepon terputus.
Abian segera kembali masuk ke kamar. Tapi, dia tak tahu kalau Ayla sedang menguping di balik pintu. Alhasil, saat Abian membuka pintu, Ayla jadi jatuh tersungkur mengenai tubuh Abian yang sudah berdiri di balik pintu.
Yah, jatuh kepelukan suami. Ayla merasa aneh. Tapi lebih aneh lagi si Abian, wajahnya terlihat menahan napas gitu. Sampai merah dan matanya melotot.
"Maaf, Bi. Aku gak bermaksud nguping," ujar Ayla saat sudah terlepas dari Abian.
Hah! Lega rasanya. Beberapa detik tadi, Abian lewati dengan menahan napas karena kagetnya bukan main saat Ayla tiba-tiba jatuh ke dadanya. Taulah, Abian trauma sama perempuan. Jadi langsung menahan napas saat kejadian tiba-tiba itu.
"Kamu kenapa?" tanya Ayla heran, tentunya Ayla belum tau tentang traumatis Abian.
Tanpa ba-bi-bu lagi, Abian langsung masuk ke kamar meninggalkan Ayla yang sekarang gantian garuk-garuk kepala karena bingung.
"Aneh," gumam Ayla.