Siang ini Ayla memutuskan untuk mendatangi rumah mamanya. Kangen katanya, padahal baru pisah sahari. Tapi kangennya melebihi seminggu.
Tanpa salam dan permisi, Ayla masuk ke rumah sambil teriak memanggil mamanya.
"Ma, Mama!" panggil Ayla yang suaranya memenuhi seisi rumah.
"Ada apa sih, Ay? Datang-datang bukannya salam malah teriak-teriak kaya di hutan," omel Rani yang melihat kelakuan anaknya tak pernah berubah. Cerewetnya itu, lho gak bisa dikurangi barang sedikit saja.
"Untung Abian gak denger, bisa malu mama kalau sampai dia tau kamu hobi teriak kaya gini," ucapnya lagi.
"Iya maaf, Ma ..," sesal Ayla sambil menunduk.
Wanita paruh baya bernama Rani itu menyuruh Ayla duduk di ruang tamu. Rani sudah tidak marah lagi, sekarang ia dan Ayla sedang berpelukan.
"Ngapain kami ke sini? Abian gak ikut?" tanya Rani setelah pelukan terlepas.
"Nggak, katanya mau panen daun teh," jawab Ayla cepat.
"Terus kamu ngapain ke sini?"
Sebenarnya Ayla malu mengatakan ini. Sebab kedatangannya adalah untuk minta di ajarin masak oleh mamanya. Ayla kan anaknya pemalas, kerjanya cuma mengurus butik dan belanja. Pasti Rani akan heran nanti.
"Ma, ajarin Ayla masak, dong!" pinta Ayla.
"Hah? Mama gak salah denger? Kamu minta di ajarin masak?"
"Iya, Ayla malu sama Abian, Ma. Masa dari semalam dia terus yang masak," adu Ayla dengan raut wajah melas yang di buat-buat.
"Serius, Abian bisa masak?"
"Bisa, Ma. Masakannya enak-enak lagi."
Rani tersenyum. "Berarti goyangannya juga enak, dong." celetuk Rani bermaksud menggoda Ayla. "Malam pertama main berapa kali?"
Sontak Ayla jadi bingung dan malu. Kok jadi gini, arah pembicaraannya makan berbelok dari topik utama. Ayla tau maksud mamanya itu, tapi bukan itu tujuannya datang ke sini. Lagian mau main apaan coba? Abian kan tidurnya di ruang tamu.
"Mama!" rengek Ayla jengkel.
Rani tertawa keras melihat Ayla yang tersipu malu. "Ya udah, sekarang kamu mau belajar masak apa?" tanya Rani menghentikan tawanya ketika Ayla mulai bertambah jengkel.
"Terserah masak apa aja, yang penting belajar masak," jawab Ayla antusias.
"Emang Abian sukanya makan apa?"
Ayla terdiam sejenak. Bagaimana ia tahu kesukaan suaminya jika laki-laki itu tidak pernah cerita. "Apa, ya?" gumam Ayla pelan sambil mengetuk dagu dengan telunjuknya.
"Mendingan kamu belajar masak makanan kesukaan Abian aja, biar makin di sayang," saran Rani.
Mama ada benarnya juga. Suami pasti akan semakin cinta pada istrinya kalau di masakin makanan kesukaannya. Tapi masalahnya, Ayla sama sekali tidak tahu Abian suka makanan apa. Jangankan makanan, karakter Abian saja masih samar-samar. Belum kelihatan jelas sifatnya itu seperti apa. Abian benar-benar tertutup.
"Ayla gak tau Abian suka apa, Ma. Gimana dong?"
"Ya udah, kita masak sayur asem aja, pasti dia juga suka," Kata Rani memutuskan.
Ayla mengangguk dan segera mengikuti langkah mamanya menuju dapur.
***
Abian mengucap salam berkali-kali, tapi tidak ada jawaban dari istrinya. Bahkan rumah terlihat sepi tanpa penghuni. Kemana Ayla? Pikir Abian bingung. Apa dia ke butik? Tidak, ini sudah jam 5 sore, tidak mungkin Ayla masih di butik jam segini.
Abian masuk ke rumah dan melihat kondisinya yang masih berantakan. Piring kotor belum di cuci, lantai rumah belum di sapu, meja makan kotor, seprei di kamarnya juga masih berantakan. Pasti Ayla tidak merapikan nya setelah bangun tidur.
Abian melihat keluar jendela dan mendapati kain jemuran masih belum di angkat. Untung saja hujan tidak turun, kalau tidak pakaian itu tidak akan kering. Abian segera mengangkat jemuran dan membersihkan rumah.
Semua pekerjaan rumah ia kerjakan dengan telaten. Bahkan ia juga sempat ke warung untuk sekedar membeli telur dan mie instan untuk di masak. Selesai bersih-bersih rumah, ia segera mandi. Badannya bau dan begitu lengket.
"Kak Ay kemana, ya? Kenapa jam segini belum pulang?" gumam Abian sambil meletakkan Al-quran sehabis mengaji setelah sholat maghrib.
Abian duduk di tepi ranjang sambil melipat pakaian yang tadi ia angkat. Tidak perlu di setrika, karena Abian tak punya alat itu.
Sayup-sayup Abian mendengar suara derit pintu dapan terbuka. Pasti itu Ayla. Abian tidak beranjak dan tetap melakukan kegiatan melipat pakaian.
"A—abian, maaf ya aku baru pulang," ucap Ayla saat melihat Abian melipat pakaian dari ambang pintu kamar.
Abian menoleh. "Gak apa-apa. Emangnya, Kak Ay dari mana?" tanya Abian sambil meletakkan pakaian di lemari.
"Aku dari rumah mama."
Abian tidak menjawab lagi. Ia hanya mengangguk paham.
"Ya udah, kalo gitu aku masak dulu ya, kamu pasti lapar kan?" kata Ayla lalu melangkah menuju dapur.
Tapi Abian dengan cepat mengikuti Ayla untuk memberi tahu kalau ia sudah masak untuk makan malam. Ayla sendiri terpaku saat melihat meja makan sudah penuh dengan lauk pauk dan nasi.
"Yah, aku keduluan," gumam Ayla cemberut.
"Iya, aku udah masak. Kak Ay mandi aja, nanti kita makan bareng," titah Abian.
Abian bisa melihat raut wajah kecewa Ayla. Apa dia marah karena Abian sudah masak duluan? Tapi bukannya Ayla tidak bisa masak? Ah, Abian tidak pandai menebak isi kepala orang. Tapi melihat Ayla mengangguk dengan wajah lesu, membuat Abian sedikit merasa bersalah.
"Apa aku salah, ya?" tanya Abian dalam hati.
Abian hanya garuk-garuk kepala bingung. Dia sangat tidak terbiasa dengan percakapan tadi. Bicara dengan wanita adalah hal yang jarang Abian lakukan. Bahkan di pesantren, ia hanya bicara pada para ustadz saja.Jika memang terpaksa menemui ustadzah, ia pasti mengajak teman laki-lakinya.
Kaki Abian bergetar menunggu Ayla keluar dari kamar mandi. Dan seperti biasa, Abian selalu menutup mata saat Ayla lewat dengan sehelai handuk menutupi tubuhnya. Lagi-lagi Ayla heran melihat itu. Abian normal kan?
Cukup lama Abian menunggu istrinya selesai berganti pakaian. Waktu isya juga sudah hampir tiba. Tapi Ayla belum keluar juga. Setelah di panggil beberapa kali, barulah Ayla keluar.
"Maaf lama, aku tadi nyari bra kesayanganku, tapi gak ada," info Ayla.
Bra? Wah, Abian langsung menenggak saliva mendengar itu. Duh, kenapa jadi gugup gini? Jangan gugup Abian, jangan.
"I—iya. Ayo makan," jawab Abian gagap.
Sama seperti malam kemarin. Makan malam kali ini juga tidak ada percakapan sama sekali. Selesai makan Abian langsung sholat, sementara Ayla langsung tidur. Ayla sempat bertanya, kapan Abian akan mengajaknya sholat bersama. Tapi Abian masih terlalu takut untuk itu. Dia malah menyuruh Ayla sholat sendiri.
Malam berlalu tanpa jejak. Rasa lelah membuat Abian tidak merasakan pergantian waktu. Hingga saat pagi datang, ia harus segera kembali bekerja.
Dan ya! Lagi-lagi Ayla bangun kesiangan. Disaat Abian sudah akan berangkat ke kebun, Ayla baru bangun. Aneh, padahal ia sudah memasang alarm, tapi masih saja bangun kesiangan.
"Kak, aku berangkat ya. Hari ini mau ngirim daun teh ke pabrik," pamit Abian.
"Oke," jawab Ayla lemah. Seketika ia kembali teringat akan sosok Daniel. Kemana laki-laki itu? Kenapa dia menghilang tanpa kabar?
Abian menutup pintu rapat-rapat. Tapi sebelum ia kembali melangkah, ia sempat mendengar Ayla bersuara parau.
"Daniel, kamu dimana? Kenapa kamu pergi? Aku tersiksa Daniel, aku gak bisa bahagia sama Abian. Aku mau kamu!" ucap Ayla sambil terisak.
Seketika dada Abian serasa di tusuk jarum. Sakit sekali, apa sebegitu buruknya hidup Ayla sekarang? Dan semua itu karenanya? Abian memang bukan laki-laki yang pandai membahagiakan pasangan, bahkan ia sendiri belum pernah menjalin hubungan, bagaimana bisa ia membahagiakan Ayla?
Tak mau ambil pusing dengan itu, Abian memilih untuk pergi ke kebun dengan berjalan kaki.