Abian duduk di bawah pohon besar yang terdapat di kebun teh yang sudah panen itu. Kebun teh seluas dua hektar itu adalah milik ayahnya, Budi Hartono yang dikenal sebagai juragan teh.
Dulu saat Abian masih menganyam pendidikan di pesantren, kebun ini di kelola oleh Daniel. Tapi anak itu sering meninggalkan pekerjaan begitu saja, membiarkan kebun tak terurus dan sering mengurangi gaji pegawai. Selain itu ia juga sering menggelapkan uang hasil penjualan untuk dia pakai hura-hura.
Budi sangat marah dan memutuskan untuk memindahkan kepengurusan kebun kepada bik Mimin. Meski dia seorang wanita, tapi bik Mimin bisa mengurus semuanya dengan baik. Mang Ade suaminya juga sering membantu, jadi bik Mimin tidak terlalu kerepotan.
Beberapa pekerja ibu-ibu baru saja pergi setelah dapat gaji yang Abian berikan.
"Atur nuhun, Bian," kata mereka saat di beri gaji. Wajah-wajah penuh kebahagiaan terpancar jelas dari raut wajah mereka, membuat Abian ikut senang.
"Sama-sama," jawab Abian sopan tanpa di beri logat Sunda sedikitpun.
Ada alasan kenapa Abian tidak memakai logat atau bahasa Sunda. Itu karena memang Abian bukan orang sunda asli. Renata adalah ibu tirinya, tapi ibu kandungnya bernama Arumi Adnan Husein.
Arumi adalah wanita berdarah Jakarta. Untuk itu nama Abian mirip dengan ibunya. Abian Adnan Husein. Menurut cerita dari sang ayah, Arumi dan Budi memiliki hubungan tanpa status pernikahan. Hingga Arumi hamil dan Budi menikahinya.
Dari hubungan itulah Abian lahir. Tapi sayangnya Arumi meninggal sebelum Abian di beri nama. Dengan berat hati Budi membawa anak hasil hubungan gelapnya itu ke rumah. Tentu saja Renata marah, ia tidak sudi menerima Abian sebagai anaknya.
Dengan susah payah Budi membujuk Renata untuk mengurus Abian dan akhirnya berhasil, dengan syarat Abian tidak boleh memanggilnya dengan sebutan ibu. Maka, Bibik adalah panggilannya sampai sekarang.
Setelah Abian dewasa, barulah ia mengerti alasan di balik panggilan itu. Pasti karena Renata tidak bisa menerimanya sepenuh hati. Waktu itu Daniel juga masih kecil, Renata pasti kesulitan mengurus dua anak sekaligus.
Tapi tak apa. Abian tak mempermasalahkan hal itu. Ia sudah sangat bersyukur sudah di rawat dengan baik oleh Renata, meski sering di perlakukan dengan kasar.
"Heh, ngelamun?"
Lamunan Abian buyar saat mang Ade datang dan menepuk pundaknya. Ya, hobi Abian memang melamun. Melihat hamparan daun teh ini membuat ingatannya melayang kemana-mana.
"Mang Ade. Dari mana, Mang?" tanya Abian pula.
"Dari sawah nyari si Asep, mau minta beras," jawab Mang Ade.
"Oh."
Mang Ade ikut duduk di samping Abian. Sambil menikmati semilir nya hembusan angin, Abian memejamkan mata.
"Bian, ngelamun wae', ngelamunin apa?" ucap Mang Ade dengan menyenggol bahu kiri Abian.
"Gak ngelamun, Mang. Cuma lagi nikmatin angin doing."
"Ah, Mamang tau ni. Pasti lagi ngelamunin kejadian malam pertama kan?" seru mang Ade sambil tersenyum genit, bermaksud menggoda Abian.
"Apaan sih, Mang! Nggak, kok!" kilah Abian cepat.
Mang Ade tertawa keras. Lelaki dengan kaos oblong itu paling suka menggoda Abian. Dia tau Abin memiliki trauma terhadap perempuan, makanya dia suka menggodanya. Lucu saja, Abian yang relatif berbadan besar, masa iya takut sama perempuan?
"Kamu masih takut sama perempuan, Bian?" tanya mang Ade berhenti tertawa.
Dengan malu-malu Abian menjawab iya. Dan sekali lagi mang Ade dibuat tertawa terpingkal-pingkal. Ia sampai memegangi perut karena kesakitan menahan tawa.
"Tuh, kan. Mamang, mah suka gitu. Ledek aja terus," dengus Abian jengkel.
"Kamu beneran masih takut perempuan? Jadi, Ayla belum kamu apa-apain?" Abian menggeleng.
Memang itu, kan kenyataannya. Abian sama sekali tidak berani berbuat macan-macam apalagi sampai meminta pelayanan lebih pada Ayla. Baginya itu tidak perlu. Lagian ia juga tidak pernah tidur sekamar bersama Ayla, ia selalu tidur di ruang tamu.
"Bian ... Bian .., mau sampe kapan kamu, teh takut sama perempuan? Malu atuh sama brewok kamu," ledek mang Ade lagi, dan kali ini mengaitkan masalah Abian dengan brewok tipis di wajahnya.
"Apa hubungannya?" tanya Abian bingung.
"Ya ada, atuh! Kamu liat itu brewok teh udah banyak, kamu udah maco! Udah kasep, lah! Tapi giliran cuma sama perempuan aja takut, cemen kamu, mah!" ujar mang Ade dangan logat Sunda yang sama sekali tidak pernah ketinggalan.
Abian meraba-raba bagian dagu dan juga pipinya yang hampir tertutup bulu tipis. Memang sih, brewoknya banyak. Tapi kalau punya brewok harus berani sama perempuan, gitu?
"Terus Abian harus gimana?"
Mang Ade mendekat, tangannya ia taruh di atas pundak kiri Abian. Sebelum berbisik, mang Ade sempat memperhatikan sekitar. Sepertinya ia ingin membisikan sesuatu yang tidak boleh di dengar orang lain kecuali Abian saja.
"Kamu harus di sembuhin, jangan sampe Ayla di anggurin!" bisik mang Ade pelan.
"Di sembuhin? Gimana caranya, Mang?"
Mang Ade kembali mendekatkan mulutnya di telinga Abian. Ia membisikan beberapa kata yang tampaknya bisa menyembuhkan penyakit Abian yang 'takut' akan perempuan.
Mula-mula Abian mengangguk, idenya terdengar bagus. Tapi beberapa detik kemudian, Abian menjauhkan diri dengan spontan dari mang Ade. Matanya membulat sempurna, ide gila!
"Astaghfirullah, Mang! Dosa atuh! Gak, Abian gak mau!" tolak Abian dengan nada suara cukup tinggi.
"Yeh, kalo kamu gak mau, sampe kapanpun kamu gak bakalan punya anak, Bian. Mau kamu gak punya anak sampe tua?"
Abian meringis. Tidak, dia tidak akan melakukan apa yang mang Ade perintahkan. Itu sama sekali bukan ide bagus. Tidak! Ia tidak bisa melakukan itu. Memangnya tidak ada cara lain selain ida konyol itu? Membuat mata kotor saja.
"Gak, pokoknya Abian gak mau! Mendingan Abian gak usah punya anak sekalian," tukas Abian.
"Yeh, di bilangin gak percaya. Terserah kamu lah kalo gitu. Tapi, ingat pesan Mamang ya, hidup itu cuma sekali, gak boleh di sia-siain. Kalo kamu bisa, kenapa nggak? Percaya sama Mamang, sekali kamu tau, langsung ketagihan!"
Ah, terserah lah. Abian sudah tidak mau mendengar saran apapun lagi dari pria itu. Ada-ada saja. Idenya memang tidak aneh, cukup normal untuk dilakukan. Tapi untuk Abian yang trauma seperti ini? Itu ide yang sangat buruk. Abian lebih memilih pamit pulang, dari pada harus berlama-lama dan otaknya semakin di racuni oleh pikiran mang Ade.
Di jalan, Abian tanpa sengaja berpapasan dengan Dedeh. Gadis yang memakai hijab warna coklat itu tersenyum manis padanya.
"Dari mana A'?" tanya Dedeh sopan.
"Dari kebun, Deh. Kamu mau kemana?"
"Mau nyari bapak," jawab Dedeh, dan tentu saja bapak yang di maksud adalah mang Ade.
"Oh, mang Ade ada di kebun, deket pohon sana," jelas Abian sambil menunjuk ke arah pohon besar yang berdiri di tengah kebun.
"Oh, ya udah kalo gitu Dedeh ke sana dulu ya, A', " ucap Dedeh sambil berlalu pergi.
Abian mengangguk. Di saat ia dan Dedeh mendekat, jarak di antara mereka pun lenyap. Wajah cantik Dedeh terlihat begitu dekat, senyum manisnya juga begitu menggoda. Sekali lagi Abian kembali teringat dengan saran mang Ade.
Apa Dedeh bisa di jadikan bahan percobaannya? Ia sudah lama kenal dangan gadis berzodiak Leo itu, mungkin akan lebih mudah baginya jika melakukannya dengan Dedeh. Abian terus memperhatikan Dedeh yang semakin menjauh saat gadis itu melewatinya.
Tatapannya begitu dalam, berusaha mencari tahu bagaimana ia akan melakukannya nanti. Astaghfirullah, kenapa dengan pikirannya? Cepat-cepat ia hilangkan pikiran itu dari kepalanya. Abian lalu menggelengkan kepala sambil terus istighfar.
"Astaghfirullah, astaghfirullah ... "
"Kenapa, A'?" tanya Dedeh yang heran melihat tingkah aneh Abian.
Abian tersentak dan menjawab dengan gugup. "Ha? Ng—nggak kenapa-napa, Deh. Ya udah, kalo gitu, Aa' pamit pulang dulu ya. Assalamu'alaikum," ucapnya.
"Waalaikumsalam." Mata Dedeh mengerjap lucu.