"Pasti yang itu dari Rizky..." ucap kami bersamaan.
Lalu aku melompat keluar dan ternyata benar, surat itu dari Rizky untukku.
Aku kembali kekamarku, di sana masih ada kakaku duduk di meja belajarku.
"Tarang.... Benar ini dari kak Rizky...." kataku girang sambil menunjukan Surat itu padanya.
Aku ambil dulu setumpuk surat darinya yang ku simpan di sebuah kotak didalam lemariku, Surat selama dua tahun silam, dan tiap minggu dia selalu mengirimnya untuku.
Lalu ku baca isi surat itu, dan isinya benar-benar surpriese...
"Hey Ruby... Kamu lulus tidak... Semoga kamu lulus ya...
Oh iya orang tuaku sudah pasang telfon dan ini nomor telfonku xxxxxx
Kamu telfonnya aku ingin ngobrol bareng kamu.
Dengan perasaan senang bahagia aku taruh surat itu begitu saja dan aku berlari ke ruang tamu dan mencoba menelfon nomor itu.
"Oh iya.. Nomornya aku tidak hafal..." kataku tepok jidad, lalu aku kembali ke kamar mengambil surat itu yang ternyata sudah di pegang oleh kakaku Liana.
"Cie... Uda mulai bisa telfonan dong..." goda kakaku.
Aku meraih surat itu lalu pergi ke ruang tamu lalu menelfon nomor yang tertera di dalam surat itu.
Ku tekan dengan teliti karna takut salah dan taklama kemudian tanda kalau telfonku tersambung berbunyi.
Tinggal aku menunggu untuk di jawab, rasanya deg-deg an senang dan sudah tak karuan.
Dua setengah tahun sudah aku tidak bertemu dengannya, selama tiga tahun aku menyimpam rasa padanya dan setahun terahkir dia mengirimkan surat padaku tanpa mencantumkan alamatnya. Menyebalkan.
"Hallo selamat siang...." aliran darahku rasanya mengalir lebih cepat, terasa dingin mendesir dari ubun-ubun sampai pangkal kaki setelah ku dengar kalau telfonku di angkat.
Tapi tunggu, ini suara bapak-bapak... Siapa? Ayahnya atau mungkin om nya ya yanga angkat.
"Iya hallo... Pak apa benar ini nomor telfon rumahnya kak Rizky...?" tanyaku ragu malu dan nano-nano pokoknya.
"Iya benar.... Ini saya ayahnya Rizky... Dengan siapa..."
Yes... Aku bersorak dalam hati senang tiada terkira, nomor yang diberikannya benar nomor rumahnya...
Duh... Jawab apa ya aku... Temannya ajalah...
"Saya Ruby pak temannya kak Rizky... Bisa bicara dengan kak Rizky" kataku lagi tidak sabar. Ingin aku segera bicara padanya dan berkata kalau aku lulus dengan nilai terbaik dan rencana akan kuliah di Solo. Pasti dia senang.
Cukup lama pak Ahmad ayahnya kak Rizky menjawabnya. Ku pikir dia akan memanggil putranya dulu.
"Dek... Kak Rizkynya ga ada..."
"Kemana pak...?" seketika itu aku berfikir apa dia kuliah di luar kota atau gimana... Dia kan dulu pernah bilang kalau cita-citanya jadi tentara.
Itu sih pikiranku tapi nyatanya tidak...
"Kak Rizky kan sudah tidak ada..."
"Kemana pak...?" karna aku masih saja tidak ngeh, dan pikiranku masih saja dimana dan ingin minta nomor telfon yang bisa dihubungi saja.
"Kaka rizky sudah MENINGGAL karna kecelakaan ...."
Aku tidak percaya ini hatku rasanya hancur, langitku runtuh haparanku bertemu sia-sia... Suasana hati begitu drastis berubah, jika tadi cerah dan bahagia sekarang terasa mendung gelap gulita.
Dengan lemas dan seluruh sisa-sisa tenagaku yang ada, aku kuatkan untuk bertanya kepada ayahnya.
"Kapan pak kak Rizky meninggal...?"
Terdengar beliau sangat bingung dan heran dengan pertanyaanku.
"Lho dek kamu rumahnya dimana, dan kenal Kak Rizkynya dimana? Padahal dulu jenazahnya temannya yang antar ke rumah sakit dan sampai ke rumah. Dan yang melayat sangat banyak ikut memandikan, mensholatkan sampai ke pemakamannya. Bahkan dari sekolahan lain juga ada.. "
"Saya dulu satu SMA pak sama kak Rizky, tapi setelah 5bulan kemudian saya pindah ke Bandung..." jawabku
"Hah? La terus tau nomor ini dari siapa?"
"Kaka Rizky kirim surat minggu lalu, dan ini baru nyampe... Dia kasih nomor tlf ini bilang nomor telfon rumahnya dan saya di suruh menelfon..."
"Hah? Kok aneh ya...? Bagaimana bisa? Saya memang baru minggu lalu pasang telfon rumah... Ada tidak dek yang tau alamat kamu?"
"Satupun tidak, saya juga heran ketika kak Rizky tiba-tiba kirim surat ke saya, tau alamat saya darimana juga, pihak sekolah saja tidak tau..." kataku lagi yang masih shock dan tidak bisa menangis.
"Kapan surat itu di kirim?"
"Satu tahun silam, Pak. saat kenaikan sekolah. setiap suratnya saya simpan semua," ucapku meyakinkan sambil memegangi surat-surat yang pernah kak Rizky kirimkan padaku selama ini.
"Ya Allah... Anak saya meninggal satu tahun silam. tepatnya, saat kelulusan. Bagaimana bisa...?" jawab pria itu dari seberang sana dengan suara keheranan.
Aku tidak mau berlama-lama bicara dengannya, aku merasa berslah sudah menelfonnya, kini pasti orang tua almarhum kak Rizky kembali bersedih mengingat mendiang putra semata wayangnya itu.
Tapi apa daya aku yang tak tau apa-apa bahkan kematiannya saja aku tidak mendengarnya.
Memang waktu itu aku pergi begitu mendadak, tiada satu temanpun yang tau alamatku, dan aku juga tak tau alamatnya satupun dari mereka. Teman-temanku termasuk Zizie sekalipun.
Lalu bagaimana dengan kalung ini? Dan surat ini siapa yang menulis...?"
Dalam kebingungan dan kesedihan yang begitu mendalam dengan berita duka yang baru saja ku dengar aku sungguh tak mampu berfikir... Aku tak ingat apa-apa lagi, terakhir yang ku pandang semua redup... Putih... Semakin putih gelap dan aku tak sadarkan diri.