Berita kaburnya para villain dari luar penjara menyebar dengan cepat layaknya sumbu yang disulut api. Semua bagian masyarakat terutama yang tidak memiliki kekuatan untuk melindungi diri menjadi was-was sekaligus khawatir akan keselamatan mereka.
Poster-poster para villain yang kabur juga terpampang di bagian tembok-tembok rumah warga, di rumah makan, maupun gedung-gedung tinggi. Tidak terkecuali di salah satu gedung penyiaran dan media kabar yang terkenal di Metrokarta City, Voice.
Voice merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang media dan komunikasi yang juga memiliki channel televisinya sendiri yaitu VoiceTv dan channel beritanya sendiri juga merupakan salah satu yang terbesar, VoiceNews.
Dan bagi perusahaan media sebesar Voice, berita tentang kaburnya para villain dari dalam penjara merupakan target empuk bagi mereka. Jadi mereka yang paling terdepan dalam perburuan berita itu.
**
*Kantor Voice*
Seorang wanita dengan setelan baju kantoran sedang berjalan di lorong kantor menuju ke ruangan atasan sambil membawa laporan berita yang sudah ia dapatkan dari ekspedisinya di lapangan.
Tok... Tok... Tok...
Ia mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum ia masuk ke dalam. Dan setelah dipersilahkan masuk, baru lah ia masuk ke dalam ruangan itu. Dari kalung name tag yang ada di leher wanita itu dapat terlihat namanya, Ina Kusnoira.
"Permisi pak, saya datang membawa laporan saya."
"Ina, ya? Mana mana sini, saya coba lihat dulu."
Di dalam ruangan itu terdapat seorang yang terlihat masih lumayan muda tapi auranya terasa berwibawa. Mungkin wajar saja karena dia adalah bos dari Ina sendiri.
Setelah melihat laporan Ina untuk beberapa saat, tiba-tiba raut wajahnya yang tadi ramah dan tenang berubah menjadi terganggu dan kesal.
"Ina, berita apa ini?"
"Eh? Itu berita soal korupsi beberapa pejabat dan berita-berita masyarakat lainnya."
"Hah ... Ina, kau ini."
Bos Ina—Frederick Soedibjo kemudian merapikan kertas-kertas laporan Ina di mejanya dan menunjukkannya kepada Ina yang membuatnya sedikit bingung dengan perilaku bosnya itu.
"Hn? Ada apa, pak?" tanya Ina.
Braaakhh...
Mata Ina melebar saat Frederick melempar semua kertas laporan yang sudah susah payah ia cari dan kumpulkan hingga berantakan di seluruh ruangan ini. Ia yang melihat itu masih tidak bisa bergerak ataupun merespon, jadi Frederick duluan yang berbicara.
"Tidak akan ada yang ingin membaca berita itu di saat-saat seperti ini," ucap Frederick dengan nada kecewa.
Ina yang masih terkejut dengan hal itu juga masih diam. Lalu Frederick pun menyalakan televisi yang ada di ruangannya dan menunjukkan salah satu berita yang paling panas saat ini, yaitu tentang lepasnya para villain dari penjara.
"Orang-orang ingin melihat berita yang seperti ini, berita yang membuat semua orang peduli terhadap hal itu jadi mereka pasti akan melihatnya."
"Kaburnya para villain?" gumam Ina.
"Benar, perusahaan saingan kita yang aku dengar dia sudah mulai bergerak. Apa kau mau diam saja di sini dengan berita tak menarikmu itu?"
Ina menunduk dan berpikir untuk sejenak. Meskipun usaha yang sebelumnya dibuang layaknya sampah begitu saja oleh Frederick, tapi sebagai wartawan profesional ia juga tahu kalau ini adalah kesempatan besar untuk mendapatkan berita yang bagus.
Setelah menenangkan dirinya sebentar dan menghilangkan amarahnya terhadap bosnya, ia pun menjawab perintah Frederick.
"Baiklah, akan aku lakukan."
Senyum terbentuk di bibir Frederick. "Kalau begitu apa lagi yang kau tunggu? Kau bisa mulai bekerja sekarang."
Tanpa menjawab perkataan Frederick, Ina pun langsung berbalik badan dan pergi dari ruangan itu. Dengan tangan terkepal dari hasil marahnya yang belum sepenuhnya hilang.
Blam...
Dan Frederick pun merilekskan dirinya lagi dengan bersandar pada kursi putarnya. Ia pun melihat ke arah berita yang ada di TV.
Sementara Ina yang masih kesal dengan perlakuan bosnya berjalan menuju mejanya dimana ada rekan kerjanya di lapangan yaitu seorang kameramen bernama Faran yang sudah menunggu dari tadi.
"Bagaimana hasilnya?" tanya Faran.
"Buruk, hasilku di buang begitu saja bagaikan sampah. Katanya tidak ada yang akan baca berita seperti itu. "
"Be-benarkah? Wah ... bos kejam juga, ya. Terus kelanjutannya bagaimana? Apa kau dipecat?"
"Apa kau berharap begitu?" tanya Ina datar.
Faran hanya tersenyum karena berhasil menjahili Ina yang wajahnya sedang kusam. Sementara Ina sendiri sedang tidak memiliki mood untuk bercanda dengannya.
"Hah ... tidak ada waktu untuk kesal, ayo kita berangkat."
"Eh? Perasaanmu sudah baikan? Cepat juga."
"Sudah kubilang tidak ada waktu untuk hal seperti itu, ayo kita berangkat!"
"Berangkat kemana?"
"Tentu saja meliput berita."
Ina dan Faran mulai bekerja lagi sekarang. Kali ini mereka tidak meliput berita yang menurut bosnya membosankan, melainkan berita hangat yang sedang terdengar dimana-mana.
Mereka menargetkan narasumbernya secara bertahap, mulai dari masyarakat kelas rendah sampai orang-orang kelas tinggi yang punya pengaruh di masyarakat.
Ina dan Faran menelusuri sebuah perumahan kelas bawah yang jarang terliput oleh media. Sebelumnya memang mereka sering ke tempat-tempat seperti ini karena mereka lebih sering meliput masyarakat ekonomi kelas bawah, tapi subyeknya kali ini berbeda.
Mereka bertanya kepada beberapa narasumber yang berada di tempat itu mulai dari berbagai latar belakang dan jawaban yang mereka berikan pun beragam.
"Apa tanggapan anda tentang jebolnya penjara dan kaburnya para villain kelas atas?"
"Penjara jebol? Aku rasa tidak ada masalah berarti bagiku," ucap seorang wanita tua.
"Eh? Apa anda memiliki alasan tertentu? Mereka bisa saja menyerang tempat ini jika mereka mau."
"Menyerang tempat ini? Hehehe ... kamu gadis manis suka berbicara hal yang lucu. Buat apa mereka menyerang tempat seperti ini, tidak ada hal bagus yang bisa diambil di sini."
Ina terdiam ketika ia mendengar jawaban dari wanita tua tadi. Bukan jawaban yang ia harapkan tapi tetap saja menyedihkan, jadi ia terus mewawancarai orang lain di tempat ini.
"Jebol? Wah keren sekali! Pasti mereka orang-orang kuat! Aku dengar kalau penjara Metrokarta itu ketat sekali."
"Benar! Pasti penampilan mereka keren-keren, aku melihat wajah mereka di poster, yang rambutnya merah benar-benar keren!"
"Betul tuh, betul tuh!"
Jawaban dari anak-anak memang tidak terlalu bisa diandalkan, jadi Ina langsung beralih ke narasumber lainnya.
"Penjara jebol?! Apa yang sebenarnya para Hero lakukan?! Apa mereka benar-benar melakukan pekerjaan mereka atau hanya duduk diam di rumah lalu menerima uang?!"
"Sistem Hero memang sudah seharusnya dihapus! Mereka tidak becus dalam melakukan apapun, bahkan villain pun bisa lolos dari penjara!"
"Yaa!! Kita harus protes ke S.E.I.D. untuk membubarkan organisasi pembuang uang itu! Masih banyak yang harus dipikirkan selain kesejahteraan satu dua orang saja!"
"Benar! Bubarkan sistem Hero!"
Sementara dari narasumber pria yang lebih dewasa di daerah pasar tradisional dan daerah kumuh, mereka malah berontak pada sistem Hero itu sendiri dan ingin membubarkannya. Ina dan Faran hampir saja diserang oleh mereka, beruntung mereka masih bisa kabur dari sana.
Lalu setelah mereka hampir jadi korban amuk dari unjuk rasa yang baru saja direncanakan, mereka lanjut mewawancarai narasumber lainnya.
"Penjara jebol? Begitu ya, ini sudah berakhir. Dunia akan segera hancur, lalu aku juga akan mati tanpa diketahui seseorang ...."
"Ano, kau tidak apa-apa?" tanya Ina.
"... Aku akan disiksa, lalu setelah dibunuh jasadku akan dibuang ke laut supaya keluarga tidak bisa menemuiku, lalu ...."
Ia terus bergumam tidak jelas dengan gumaman yang mengerikan. Ina dan Faran yang bingung kemudian melihat satu sama lain dan memutuskan untuk meninggalkan orang yang sudah tidak bisa mereka selamatkan itu.
Setelah beberapa jam terus melakukan wawancara dengan narasumber yang berbeda-beda dan respon yang berbeda-beda pula, Ina dan Faran memutuskan untuk beristirahat sebentar di sebuah kafe.
Tempatnya tak jauh dari daerah kumuh tempat mereka bekerja tadi, tapi sekarang mereka sudah berada di bagian kota yang kualitasnya sudah lebih baik.
Ina yang kelelahan menaruh kepalanya di atas meja sambil menutup matanya mengeluh. Sementara Faran baru datang sambil membawa dua buah kopi dingin untuk mengembalikan kesegaran mereka.
"Capeknya ...."
"Terima kasih atas kerja kerasnya," ucap Faran sambil menaruh kopi di depan wajah Ina.
Mereka berdua pun hening sebentar sambil menikmati kopi dingin yang baru saja datang. Kopi itu seperti menghilangkan semua rasa lelah mereka dalam sesaat.
"Haa ... segarnya," ucap Ina.
"Jadi menurutmu, hasil tadi bagaimana? Bagus atau buruk?"
"Tadi? Mmm ... bagaimana aku mengucapkannya, ya. Hasilnya tidak baik sama sekali tapi disebut buruk juga tidak."
"Jadi lumayan, begitu?"
"Ya, lumayan."
Hening lagi-lagi menyerang mereka berdua. Ina sempat melihat keluar Cafe dan memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di trotoar, melihat hal itu ia jadi kepikiran sesuatu dan sadar kalau ada narasumber yang belum ia tanyakan soal hal ini.
"Nee, Faran."
"Hmm? Ada apa?"
"Kalau menurutmu sendiri, apa pendapatmu tentang kaburnya para tahanan itu?"
"Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"
"Tidak ada alasan khusus, aku hanya sadar kalau aku belum menanyakan hal ini kepadamu."
Ina bertanya sambil menatap keluar Cafe dan menggigit sedotan sehingga tidak jatuh dari mulutnya. Faran yang awalnya bingung dengan pertanyaan Ina pun akhirnya mengerti dan menjawabnya.
"Aku rasa aku tidak akan terlalu khawatir."
"Hm?"
"Pasti ada suatu alasan atau villain kuat yang membantu mereka keluar dari penjara, atau bisa saja mereka membentuk sebuah kelompok kecil yang belum terdeteksi dan para villain itu bekerja sama dalam wadah yang sama. Entah seperti apa yang benar, tapi aku tidak terlalu khawatir."
"Kenapa kau bisa bilang begitu?"
"Lagipula kita ini punya Hero, kan?"
"Hero?"
"Kau dulu lihat sendiri, kan? Saat kita ditugaskan ke Java City untuk meliput berita tentang alien yang datang ke bumi. Keadaan kota itu hancur berantakan, tapi masih ada yang berdiri di sana. Bukan gedung tinggi ataupun senjata kuat, melainkan para Hero yang keadaannya sudah kacau dan terluka parah.
Mereka yang terlihat seakan sudah mau tumbang tetap berdiri dan melawan kemustahilan itu yang pada akhirnya membawa kemenangan pada umat manusia."
"Faran ...."
"Ini memang pendapat pribadiku saja, tapi buatku mereka menjadi Hero benar-benar untuk melindungi orang-orang yang lemah. Bukan hanya untuk popularitas atau uang semata, jadi setidaknya aku percaya kepada mereka dan memberikan kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki kesalahan lolosnya para villain ini."
Ina tercengang mendengar jawaban dari Faran. Meskipun itu bukanlah jawaban yang bisa ia ambil sebagai kesimpulan karena hanya penilaian subyektif semata, tapi tetap saja itu membuatnya tersadar kalau memang tidak ada lagi yang bisa melawan para villain itu selain Hero.
Lagipula seperti yang Faran bilang, ia juga melihat sendiri sepak terjang para Hero saat mengalahkan Lord Irits di Java City beberapa bulan lalu.
"Apa jawabanku salah?"
Faran bertanya kepada Ina yang terlihat merenung dan diam dari tadi seperti sedang memikirkan sesuatu. Ina yang menyadari itu pun langsung menjawab pertanyaan Faran.
"Ya, jawaban paling aneh yang pernah kudengar," ucap Ina sambil tersenyum.
"Eh?! Apa seaneh itu?"
"Benar! Sangat-sangat aneh!"
Setelah beristirahat dan menyelesaikan minuman mereka, Ina dan Faran berniat untuk kembali ke kantor Voice karena cukup wawancara untuk hari ini.
**
*Markas Utama S.E.I.D.*
Agent Haruna yang sedang sibuk menghubungi Agent lainnya untuk memperkuat pertahanan setiap kota karena lolosnya para Villain tingkat atas itu.
Saat sedang dalam waktu-waktu yang sibuk itu, tiba-tiba seseorang datang dan menanyakan Agent Haruna yang wajahnya sudah seperti kaset kusut.
"Perkuat pertahanan di pesisir pantai Harbour City! Dan di tempat-tempat orang kaya di Casino City juga jangan lupa! .... Aku masih belum tahu soal Sun City, tapi setidaknya tingkatkan pertahanannya!"
Setelah itu Agent Haruna menutup teleponnya dan bersandar di sandaran kursinya. Ia terlihat sangat kelelahan dan kerepotan karena harus mengurus keamanan hampir di seluruh kota.
"Haruna, kau baik-baik saja?"
"Agent Peterson? Aku tidak apa-apa. Hah .... Aku hanya sedikit sibuk saja."
"Jangan terlalu memaksakan dirimu, kau harus memperhatikan kesehatanmu sendiri juga."
"Aku tahu, tapi keadaan jadi lebih rumit dari yang aku kira."
"Lebih rumit?"
"Orang-orang sudah mulai tidak percaya kepada Hero lagi karena kejadian ini. Sekarang bukan hanya lolosnya para Villain yang jadi masalah, unjuk rasa masyarakat juga menjadi masalah baru saat ini."
"Masyarakat ... melakukan unjuk rasa?"
Agent Haruna menyalakan TV dan menyetel berita dari VoiceNews, seorang wanita perempuan—Ina Kusnoira sedang melaporkan keadaan di tengah unjuk rasa yang sedang terjadi saat ini.
"Pemirsa! Unjuk rasa di depan kantor cabang S.E.I.D. di Metrokarta City telah berlangsung selama hampir tiga jam mulai dari pagi jam enam tadi! Mereka meminta untuk membubarkan sistem Hero karena ketidakbecusan mereka mengurus para Villain!"
Agent Peterson yang melihat itu hanya bisa menghela nafas dan mengelus-elus dahinya dengan dua jarinya karena pusing. Lalu Agent Haruna bertanya pada Agent Peterson.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Pertama-tama, kita harus membuat keadaan tenang dulu."
Agent Peterson kemudian mengambil smartphone nya dan menelepon seseorang. Seseorang yang ia harapkan bisa meredakan kericuhan ini.
Bersambung....