Dua bibir yang sama basah, perlahan saling bertaut. Lagi, dan lagi blitz kamera menyala mengabadikan keindahan.
Blitz kamera menyala lagi lalu berubah menjadi kilauan berlian yang bertakhta di atas sebuah cincin, cincin berada di dalam kotak kecil nan elegan berlapis beledru merah terang. Ardha Candra memeluk pria dalam setelan jas itu. Menyalaminya, melambaikan tangan. Kotak beledru merah ia simpan ke dalam saku celana.
Senyum lebar diabadikan pada layar ponsel, rasa bahagia membuncah tak dapat ia tutupi. Satu-dua wanita karyawan toko perhiasan tersenyum menunjuk Ardha Candra.
Tapi ia tidak peduli, terus saja mengumbar kebahagiaan diri. Lalu keluar dari pintu kaca tebal berdaun ganda. Mengabadikan diri lagi di bawah tulisan toko yang mencerminkan kemewahan. Kemewahan yang senantiasa dikaitkan dengan lambang cinta akan wanita pujaan hati di seluruh penjuru dunia.
Blitz kamera ponsel menyala terang berubah lagi menjadi pantulan mentari sore pada dinding-dinding kaca satu bangunan tinggi. Ardha Candra tersenyum lebar memasuki pintu sebuah apartemen mewah. Mematut diri pada bayang-bayang dinding lift yang memantulkan cahaya redup dari penerangannya.
Lampu-lampu oranye pada panel di dinding lift kian beranjak naik. Seakan mengeja urutan nomor-nomor yang sepertinya salah dalam hitungan. Ke mana angka empat? Siapa mencuri angka tiga belas? Ardha Candra tersenyum lebar kala lampu oranye berhenti di angka tujuh belas, nomor membayang, membesar, tertera jelas di sebuah pintu merah mahoni.
Dengan semangat menggebu Ardha Candra memutar handle, pintu terbuka tanpa halangan lalu menghadirkan pemandangan yang memberi kejutan. Kejutan yang sejatinya ingin ia ungkapkan dengan cincin berlian di dalam kantung celana.
Wanita cantik bertabur keringat, tubuh telanjang aduhai menari liar di atas tubuh lain pria. Terperanjat melihat kehadiran Ardha Candra, lalu meraih pakaian di atas meja. Mencoba menutupi aib di badan yang hina.
Lebih terperanjat lagi Ardha Candra. Mengetahui sang kekasih hati bermain gila. Bukan pria asing tak tentu rimba, melainkan dengan rekan bisnis sendiri dalam usaha.
Pantulan cahaya mentari dari tingkap kaca jendela, mengukuhkan seringai di wajah Ardha Candra. Kasar mengeluarkan kotak kecil dari saku celana. Mengacungkan cincin pertanda cinta, namun sayang detik itu juga hilang sirna semua rasa.
Wanita cantik keluarkan seribu alasan seribu bahasa, begitu pula laki-laki teman kencan lain mata. Ardha Candra tak menemukan baiknya logika, lemparkan cincin intan permata. Jatuh ke tubuh si wanita muda, lalu berdenting ke atas lantai menggelinding lenyap dari intaian mata.
Tidak ada yang bisa menghentikan langkah Ardha Candra, meski sang wanita menyeru dengan seribu alasan seribu dusta. Ia berhenti di ambang pintu yang terbuka, berbalik badan menunjuk tepat pada lain pria. Sorot mata jelas terbaca, berakhir pula kerjasama yang sudah lama dibina.
Ardha Candra meludah kencang entah ke mana, lalu beranjak pergi sebelum iblis mengambil alih raga, sebelum emosi lebih jauh membakar dada, menguras habis akal logika. Lebih baik meninggalkan segala kekecewaan segala duka, jauh di belakang biarlah sirna.
Lampu-lampu koridor mempermainkan mata, seolah berkedip mungkin saja sedang rusak. Mengedip lagi lantas mengantarkan Ardha Candra dalam kilauan lampu menggoda, ditingkah dentuman musik irama. Lagi, dan lagi curahan alkohol berakhir di ujung mulut setengah menganga.
Ardha Candra berpaling, cahaya berkelabat dari lampu warna-warni di tengah ruangan. Lalu sebuah lampu bulat lainnya yang berkilauan seakan susunan perak murni yang memantulkan cahaya menyilaukan.
Cahaya berkelabat menyakitkan pandangan, Ardha Candra angkat satu tangan melindungi mata dari kesilauan. Sepasang mata membelalak, pupil membesar dalam sesaat. Ternyata lampu jalanan yang kembali menyadarkan diri, sayang seribu kali sayang, di hadapan ada sebuah truk gandeng dan ia terpaksa menerjang.
Klakson panjang berulang-ulang tak mampu menyelamatkan keadaan. Supir truk gandeng tiada punya pilihan, membanting setir jauh ke kiri.
Ardha Candra tak mampu bersuara, sepersekian detik, lalu…
Braaakh…!
Benturan keras tak dapat dihindari. Truk gandeng itu memang masih berdiri, meski harus dengan asap tebal mengepul dari ban mobil yang dipaksa berhenti dengan sangat kuat. Tapi berbeda dengan kendaraan Ardha Candra. Mobil pria tersebut terpelanting ke kiri, berputar sekali dengan bagian depan yang ringsek parah, terpelanting lagi, terempas kencang, terguling-guling sebelum akhirnya terlempar masuk ke dalam aliran sungai yang ada di sepanjang sisi kiri jalan raya tersebut.
Ardha Candra tak dapat berbuat banyak, lelehan darah menutupi nyaris seluruh wajah, bibir pecah, hidung patah, sebelah mata lebam membengkak. Meski ia mendengus-dengus ingin keluar, tapi itu percuma saja. Tidak sedikit pun tenaga yang tersisa.
Laki-laki itu dalam derita yang tiada tara, ia masih bisa mendengar raung sirene dari kejauhan sana. Atau suara-suara klakson dari beberapa mobil yang terpaksa berhenti terhalang badan truk gandeng yang besar dan panjang. Juga pada suara orang-orang yang berteriak entah pada apa, kalang kabut tak tentu arah saja.
Tapi semua sia-sia. Ardha Candra perlahan tenggelam seiring air sungai yang memasuki mobilnya semakin tinggi, dan tinggi, lalu menelan tubuhnya sekaligus bersama mobil itu sendiri.
*
Kelebat cahaya membangun sedikit kesadaran di dalam diri Ardha Candra. Lalu, tertutup lagi. Terbuka lagi, kelabatan cahaya hanya menghadirkan layar buram dan suram di kedua bola mata. Tertutup lagi. Terbuka lagi dengan kehadiran sosok samar putih-putih.
Aah… punggung siapa?
Tertutup lagi. Terbuka lagi dengan adanya dua sosok samar lainnya.
Tandu? Aku ditandu…
Ardha Candra coba untuk mendengar lebih jauh. Sayang, suara-suara bising yang entah berasal dari apa atau siapa mencegah kedua telinganya untuk bisa menangkap ucapan keempat sosok yang sedang menggotong tubuhnya di atas sebuah tandu.
Lalu, jejeran lampu tabung panjang di langit-langit, koridor yang panjang… di mana aku?
Ardha Candra merasa tak mampu mempertahankan kesadaran diri yang sempat terbangun, perlahan cahaya buram pada kedua pandangan semakin membias, lenyap, dan gelap.
Lampu-lampu superterang menyala serentak, memberi sedikit pergerakan pada kedua bola mata Ardha Candra yang sedari tadi kaku meski kelopak terbuka lebar. Gerakan-gerakan halus dari perubahan ukuran pupil mata menandakan sedikit kesadaran di dalam diri laki-laki tersebut kembali terbangun.
Ruangan yang terang benderang, liukan dari kabel-kabel yang entah tersambung ke mana, dan selang-selang yang sebagian sepertinya menembus tubuh.
Dan… aroma khas apa ini? Rumah sakit? Ruang bedah?
Lalu, sosok-sosok dalam balutan hijau-hijau dengan sarung tangan, mereka itu… para dokter bedah?
Siapa yang dioperasi?
Sepasang telinga merangkak menemukan fungsinya kembali, meski belum sepenuhnya, tapi Ardha Candra bisa mendengar suara bip halus dari monitor hemodinamik dan saturasi yang mengawasi pergerakan denyut jantungnya. Juga suara halus dari mesin ventilator yang membantu kebutuhan paru-parunya akan oksigen.