Chapter 7 - Sayonara

"Bagaimana kalau salah alamat?"

"Salah alamat?" sebelah alis tebal melengkung bak celurit di wajah makhluk tersebut terangkat tinggi.

Ardha Candra mengangguk sembari menunjuk ke arah pedang di samping kirinya itu.

"Kau pikir itu pedang buatan manusia, begitukah?"

"Siapa yang tahu kau beli di mana?" kekeh laki-laki itu pula. "Entah toko barang antik siapa yang telah kau bobol guna mendapatkan pedang hitam ini."

"Sembarangan," kekeh makhluk bersayap. "Sudahlah," dengusnya pula. "Yang jelas kau harus mengingat semua yang kukatan tadi."

Namun, begitu ia melihat Ardha Candra seperti akan mengucapkan sesuatu, dengan cepat pula ia menyambung ucapannya.

"Tidak akan salah alamat," kekeh makhluk itu geleng-geleng kepala. "Namamu sudah terikat dengan pedang itu. Ini takdirmu," lanjutnya. "Maka, jalani lah."

"Hei," sergah Ardha Candra. "Jangan pergi dulu!"

Sepasang sayap di punggung makhluk tersebut kembali terentang. Mengembang lebar. Sesaat, Ardha Candra begitu terpesona dengan bentuk sayap besar itu.

"Waktuku sudah habis, kawan," ujar makhluk itu, memandang laki-laki tersebut dari sudut bahunya. "Walaupun aku merasa cukup terkesan dan ingin berlama-lama bercerita padamu. Sayangnya," kekehnya lagi, "kita punya tugas masing-masing."

Dan tidak ada hal lainnya yang bisa dilakukan atau pun diucapkan Ardha Candra untuk menghentikan makhluk tersebut. Atau setidaknya, untuk bertanya lebih jauh tentang semua keanehan yang terjadi. Selain kekaguman yang jelas-jelas terlukis di wajahnya kala menyaksikan bagaimana sepasang sayap di punggung makhluk tersebut mengepak membawa tubuh tinggi besar itu membumbung.

Kepakan sayap menimbulkan gelombang angin yang menerpa ke segala arah. Menyapa tubuh Ardha Candra dengan sensasi dingin yang menenangkan.

"Selamat tinggal, kawan," ucap makhluk tersebut dengan senyuman.

Lalu, sekali kepakan sayap selanjutnya, tubuh itu melesat menembus langit-langit ruangan begitu saja. Ardha Candra sempat terkesiap khawatir kalau-kalau justru makhluk itu menabrak plafon ruangan. Ternyata tidak. Benda padat di atas itu dengan mudah dilalui si makhluk bersayap tanpa merusak kondisi langit-langit itu sendiri sedikit pun.

Ardha Candra masih terpaku, menengadah, tapi sosok itu sudah tidak terlihat lagi. Hanya warna putih dari langit-langit itu saja yang terlihat seolah tidak pernah terjadi apa-apa di sana sebelumnya.

Lalu, pandangan laki-laki tersebut beralih ke pedang di atas pembaringan. Ragu, Ardha Candra akhirnya meraih pedang itu. Menimbang dan menelisik setiap bagian pedang dengan bentuk simpel dan sederhana itu untuk beberapa saat.

Ardha Candra tidak menemukan keistimewaan lain yang bisa ia kagumi dari pedang bermata dua itu. Selain warnanya yang hitam legam, entah dari jenis baja apakah gerangan, pikirnya. Juga, bias kebiruan di kedua sisi tajamnya.

Laki-laki itu sempat berpikiran, jangan-jangan ada semacam lampu LED yang tertanam di pedang itu hingga bisa membiaskan cahaya kebiruan. Namun setelah menelisik lagi, terutama di bagian gagangnya, Ardha Candra mendesah panjang. Hal semacam itu tidak ada.

Atau, mungkin saja menggunakan sejenis cat khusus yang bisa menyala. Kembali ia menelisik sisi tajam senjata tersebut. Mengelapnya dengan lengan baju, menggosoknya dengan telapak tangan.

"Aaiih—shit!"

Ardha Candra mengernyit, tak sengaja bagian tajam pedang mengiris dua jari di tangan kirinya sekaligus. Ia mengibas-ngibaskan tangan yang terluka, lalu memasukkan kedua jarinya tersebut ke dalam mulut. Mengisap darah yang keluar.

Sepasang mata laki-laki itu membesar saat mendapati kejadian unik di bilah pedang. Darah dari kedua jarinya yang teriris dan menempel di bilah pedang, tiba-tiba mengeluarkan suara berdesis halus. Lalu tetesan darah memuai menjadi asap tipis, dan lalu sirna. Lenyap sama sekali.

Di saat bersamaan, indra pendengaran laki-laki tersebut menangkap suara langkah kaki lebih dari satu orang dari arah luar pintu sana. Juga suara obrolan yang tidak begitu jelas.

Benar saja, satu-satunya pintu sebagai akses keluar-masuk ruangan itu terbuka. Seorang perawat sepertinya sengaja membuka pintu tersebut, hanya saja ia tidak langsung masuk melihat keadaan pasien di dalam ruangan, melainkan meneruskan obrolannya dengan seorang lainnya. Tapi, Ardha Candra tidak bisa memastikan siapakah gerangan. Mungkin saja seorang perawat lainnya yang berbadan gendut, hingga suara itu terdengar lebih berat mirip suara laki-laki.

Seakan baru sadar, laki-laki itu sedikit gelagapan. Di mana ia akan menyimpan senjata tajam itu? Namun, kekhawatirannya segera lenyap di saat pedang dalam genggaman tiba-tiba menghilang begitu saja, lenyap tak berbekas.

Sepertinya ucapan makhluk itu tadi ada benarnya, gumam laki-laki tersebut di dalam hati. Hanya saja, jeritnya pula tanpa suara. Kenapa luka di jari tangan kiri ini tidak ikut menghilang? Arrg… sialan!

Kembali ia fokuskan diri demi sekadar bersikap santai dengan coba menguping pembicaraan perawat yang hanya terlihat sebagian saja tubuhnya itu dari celah pintu yang terbuka.

"Itu dia yang agak aneh," ujar sang perawat pada rekannya yang tidak terlihat oleh Ardha Candra. "Kayak makhluk buas dari mana gitu. Lepas, berkeliaran, dan menyerang warga. Mengerikan."

"Aku rasa para polisi itu tidak menangani ini dengan serius," sahut si pemilik suara berat mirip suara laki-laki itu. "Coba kalau mereka mendengarkan laporan ini dari dua bulan yang lalu, pasti tidak akan ada korban lainnya."

"Benar," angguk si perawat. "Yaah, mau bagaimana lagi?"

"Sudahlah," balas suara berat itu lagi. "Saya mau cek pasien di atas dulu. Pokoknya, harus berhati-hati jika pulang larut malam."

"Semakin mengerikan saja."

"Baiklah," ujar suara berat. "Jumpa lagi nanti."

"Bye, Mbak."

Lalu, Ardha Candra melihat satu bentuk benda bergerak meliuk yang keluar dari tulang ekor di bokong si perawat yang membelakangi dirinya tersebut, menembus celana seragamnya yang berwarna biru terang.

A—apa-apaan itu?! Sepasang mata Ardha Candra membelalak lebar.

Sesuatu yang berbentuk mirip ekor dari seekor kadal besar—pendek, tebal, dari pangkal hingga ke ujung—hanya terlihat sekitar dua detik saja, dan lalu bagian tubuh tak lazim dari seorang manusia itu menghilang dari penglihatan Ardha Candra.

Laki-laki itu coba mengusap-usap kedua mata, tapi benda aneh di bagian belakang pinggul perawat wanita itu memang sudah tidak terlihat lagi.

Apa yang terjadi padaku? Ardha Candra meremas kuat rambut di kepala. Ia merasa hal aneh berturut-turut terjadi di depan matanya, dan itu semakin membuat kepalanya terasa pusing tujuh keliling.

Pada akhirnya, laki-laki tersebut hanya berpikiran positif saja. Mungkin tubuh ini terlalu lama berbaring, pikirnya. Yaah, pasti begitu.

Ardha Candra merasa harus secepatnya keluar dari rumah sakit, alih-alih ruang perawatan tersebut. Dan lagi, ia merasa sudah sembuh dengan sempurna. Tiada satu rasa sakit pun yang dapat ia rasakan kini—kecuali kepala yang pusing luar biasa.

Setelah keluar nanti, hal pertama yang terlintas dalam pikirannya adalah berlibur ke satu tempat menyenangkan. Pantai, atau pegunungan yang sejuk lagi menenangkan juga boleh, pikirnya. Intinya, kegiatan yang akan membuat tubuh kembali bergairah, berkeringat.