Kenapa aku merasa merindukan berjalan kaki? gumam Ardha Candra di dalam hati. Benar juga, pikirnya lagi, seolah ia sudah lama tidak melakukan hal sepele seperti berjalan kaki di pagi hari misalnya.
Aneh…
"Kenapa kau malah diam?" Sebelah alis Ardha Candra terangkat tinggi memandang pada makhluk di kiri. "Bukannya tadi kau bilang mau bertanya sesuatu padaku?" ujarnya lagi menanggapi keheningan makhluk tersebut.
Makhluk itu tertawa pelan lagi, geleng-geleng kepala terhadap sikap acuh tak acuh laki-laki di hadapan.
"Kau benar-benar tidak punya rasa takut," decaknya menganggumi sikap Ardha Candra. "Aku rasa urat takutmu putus dalam tabrakan itu."
"Memang begini sifatku," sahut Ardha Candra pula. "Kau keberatan? Atau ini akan kau gunakan sebagai pemberat timbangan dosaku di hadapan Tuhan kelak?"
Lagi-lagi makhluk itu tertawa, bahkan kali ini lebih lepas. "Kau memang luar biasa," ujarnya. "Pantas saja. Pantas saja…"
Sepasang alis di atas kedua mata Ardha Candra nyaris saja bertaut, sama sekali tidak mengerti apa yang sedang coba disampaikan makhluk bersayap tersebut kepada dirinya.
"Sudahlah," dengus laki-laki itu pula. "Jangan bertele-tele. Sebutkan saja apa pertanyaanmu," lanjut Ardha Candra dengan nada serius dan keinginan untuk tidak dipermainkan dalam rangkaian kata yang membingungkan. "Setelah itu," ujarnya lagi. "Segera kau cabut nyawa ini. Memuakkan saja kau itu."
"Baiklah, baiklah," angguk makhluk tersebut, dan sedikit seringai hadir di sudut bibirnya. "Apa kau tahu kau sedang berada di mana?"
Ardha Candra mendengus. Entah makhluk itu sedang menguji, atau justru menyindir dirinya yang masih saja merasa kaku pada setiap persendian. Tapi, laki-laki itu tidak menjawab lebih lanjut.
"Hemm, baiklah," ujar makhluk itu lagi. "Kuanggap kau tahu. Lalu," lanjutnya pula. "Kau yakin kejadian itu baru semalam saja berlalu—maksudku, tabrakan maut itu?"
"Tentu saja," balas Ardha Candra. "Apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan, hah? Kau membuatku pusing saja."
Makhluk itu tertawa lagi, menunjuk-nunjuk pada laki-laki yang duduk di tepian ranjang tersebut tanpa sepatah kata pun yang keluar. Dan hal itu, semakin membuat Ardha Candra merasa dipermainkan.
"Apa semua Malaikat bersikap seperti dirimu itu?" protesnya dengan cibiran jelas pada raut wajah. "Menyedihkan," umpatnya pula. "Surga sepertinya tempat yang membosankan."
"Kau yakin?"
"Berhentilah berputar-putar dengan pertanyaanmu itu," songsong Ardha Candra dengan suara lebih tinggi. "Konyol sekali. Segerakan saja kau cabut nyawa ini. Habis perkara."
"Tidak semudah itu, Bung," kekeh makhluk tersebut.
"Kau—" Delik Ardha Candra, tercekat. Dan untuk beberapa detik ucapan itu menggantung begitu saja. "Untuk apa kau ada di hadapanku, hah? Kalau kau bukan Malaikat Maut—atau siapa pun itu, menjauhlah! Aku tidak punya urusan denganmu!"
"Tapi aku justru punya urusan denganmu."
"Maka dari itu," balas Ardha Candra dengan sengit. Memuakkan saja, pikirnya. Berputar saja, memancing emosi diri. "Kau sebutkan saja apa maumu! Bisa?"
Bukannya tersinggung atau pun membalas ucapan sengit dari laki-laki tersebut, makhluk itu kembali tertawa halus dengan gelengan kepala.
"Baiklah, baiklah," angguknya kemudian. "Pertama," lanjut si makhluk. "Kau salah besar, Bung—"
"Salah?" ulang Ardha Candra mengerutkan dahi. "Apanya yang salah dariku?"
"Kau," tunjuk makhluk itu tepat ke dada Ardha Candra. "Tabrakan maut itu," lanjutnya. "Terjadi lima bulan yang lalu."
"Haah?!"
"Tepatnya," ujar si makhluk. "Kau berada dalam koma selama seratus lima puluh hari, kawan."
Sepasang mata laki-laki itu membelalak lebar. Sama sekali tiada menyangka. Dan pastinya, hal itu membuat ia berpikir lebih jauh lagi. Pantas saja tubuh ini begitu kaku untuk digerakkan, gumamnya di dalam hati.
Tanpas sadar, Ardha Candra memandangi kedua tangannya sendiri. Lalu sepasang kaki yang terlihat pucat. Dan kemudian ia mengelus pipi, lalu ke dagu.
Benar juga, pikirnya lagi. Saat kejadian malam itu, jelas ia sudah bercukur rapi sebab sejatinya ia akan melamar gadis pujaan hatinya tersebut dalam keadaan wajah rapi dan bersih. Dan kini… kumis, jenggot… menyatu menjadi cambang lebat memenuhi sebagian wajah.
"Bagaimana," tanya makhluk itu tersenyum lebar. "Kau masih mengira tabrakan dan segala operasi penyelamatan di tubuhmu itu terjadi malam kemarin?"
Mau tidak mau hal ini tentu saja menjadi pertanyaan besar di dalam kepala Ardha Candra.
"Apa yang terjadi?"
Makhluk itu tertawa lagi. "Sudah kukatakan bukan?" ujarnya. "Kau koma nyaris lebih dari lima bulan, sobat."
"Siapa yang membiayai semua ini?"
"Entahlah." Makhluk itu mengendikkan bahu. "Mungkin saja kolegamu—yaa para direksi itu pastinya."
"Waoow…" decak Ardha Candra, sedikit terharu dengan apa yang dilakukan rekan-rekan direksinya.
"Jangan senang dulu," ungkap makhluk tersebut.
"Maksudmu?"
"Mereka tidak melakukan itu secara cuma-cuma, kawan," kekeh makhluk itu lagi. "Dasar manusia," gumamnya seolah ia tujukan pada dirinya sendiri. "Memang mereka yang melakukan semua ini—soal biaya yang kau tanyakan itu," sambungnya. "Akan tetapi, itu diambil dari semua kekayaan dirimu."
"Ouh…" angguk Ardha Candra dengan lemah. Brengsek!
"Benar," balas makhluk itu lagi. "Bisa kupastikan rekeningmu kosong, kawan."
"Terserahlah," dengus Ardha Candra tak bergairah. "Lalu," ujarnya sembari memandang lekat ke wajah makhluk tersebut. "Kau itu siapa sebenarnya?"
"Ahaa…" kekeh makhluk tersebut. "Baru sadar?" Namun, Ardha Candra mendengus lagi menanggapi. "Kesalahan keduamu, sobat," ujar makhluk itu lagi. "Aku bukan Malak al-Maut. Andaikan aku adalah dia," lanjutnya dengan tawa kentara. "Pasti sudah kutebas lehermu itu dengan pedang ini."
Kembali Ardha Candra dibuat terperangah untuk yang kesekian kalinya. Di tangan kanan makhluk bersayap itu tiba-tiba muncul sebilah pedang. Pedang itu sepanjang seuluran tangan dengan warna nyaris hitam pekat keseluruhan bagiannya. Terlihat sangat sederhana namun sekaligus menakutkan. Pada bilah tajamnya yang bermata dua seakan dilapisi cahaya biru tipis. Menjadikan pedang itu terlihat sangat elegan.
"Kalau kau memang bukan Malaikat Maut," ujar Ardha Candra dengan pandangan menyipit. "Untuk apa kau bawa-bawa senjata tajam segala?"
"Hei, dengar," ujar makhluk tersebut sembari menimang-nimang pedang di tangan. "Aku memang bukan Malak al-Maut. Aku, Malak al-Amin."
Lagi-lagi sepasang mata Ardha Candra membesar, bahkan lebih lama. Memandang sosok tinggi besar dengan bentuk tubuh sangat maskulin, berotot, dan berwajah luar biasa tampan serta gagah itu lekat-lekat. Dari ujung rambutnya yang pendek, tebal, bergelombang, hingga ke ujung jari-jari kakinya yang telanjang tanpa alas itu.
Namun, sesuatu melintas di dalam pikiran Ardha Candra. Dan hal itu, menghasut sikap diri untuk kembali acuh tak acuh saja.
"Jangan membohongiku," dengus laki-laki tersebut membuang wajah. "Bisa-bisanya kau mengaku sebagai Ruh al-Amin," ujarnya setengah mengejek dengan cibiran yang kentara. "Mengaku sebagai si Pengantar Wahyu, hah? Bagus sekali."
"Kau tidak percaya?" tanya makhluk itu lagi menanggapi tawa pelan yang keluar dari mulut Ardha candra.