Chapter 11 - Sesuatu yang Logis

Lalu, tiba-tiba saja terdengar langkah-langkah cepat dari beberapa orang di luar ruangan. Dan tahu-tahu, pintu satu-satunya di ruangan itu terbuka.

"What the hell…!" seru seorang paling terdepan saat memindai seisi ruangan.

Sepertinya sosok itu adalah seorang dokter. Itu bisa terlihat dari pakaian yang menempel di badannya, badge-name di dadanya itu, juga alat kedokteran yang melingkar di lehernya.

Ardha Candra malah terkesiap kala pintu terbuka tiba-tiba, kaget, dan kepala langsung memutar ke arah pintu. Sepasang mata membesar menyaksikan kehadiran seorang dokter di ambang pintu.

Dokter laki-laki berperawakan lima puluh tahun tersebut juga tengah memandang dengan kening berkerut aneh pada sosok Ardha Candra yang duduk meringkuk di sudut kanan dari posisi dia berdiri. Sang dokter dapat menangkap raut ketakutan yang teramat di diri pasiennya tersebut.

"Apa yang terjadi?" tanya sang dokter, lalu melangkah mendekati laki-laki di sudut ruangan. "Anda baik-baik saja?"

Ardha Candra masih dalam situasi terkesiapnya, lalu setelah menyadari jika yang hadir adalah manusia seutuhnya, ia menelan ludah. Lalu tiba-tiba pikirannya menuntun pandangan ke kedua tangannya yang masih terasa menggenggam sesuatu.

Mati gue, gumam Ardha Candra di dalam hati.

Akan tetapi, lagi-lagi laki-laki itu kecele. Sebab, Divine Sword sudah tidak ada lagi dalam genggaman tangannya. Pedang itu telah kembali menghilang, sebab untuk saat sekarang ini, laki-laki tersebut belum akan membutuhkannya lagi.

Sepasang matanya masih membelalak lebar, lalu pandangan itu beralih lagi pada sang dokter, Ardha Candra mengangguk, menjawab pertanyaan terakhir tadi dari dokter setengah baya di hadapan.

Dua orang perawat lainnya menyusul masuk ke dalam ruangan tersebut—seorang adalah laki-laki muda, dan seorang lagi adalah wanita muda—kening keduanya sama mengerut aneh mendapati banyak robekan-robekan pakaian putih-biru di lantai, warna yang sama dengan pakaian kedua perawat.

"Kemarilah," ujar si dokter mengulurkan tangan, bermaksud membantu sang pasien untuk berdiri. "Anda baru saja siuman dari koma yang panjang, jangan memaksa diri untuk melakukan hal-hal aneh," lanjutnya dengan senyuman.

Awalnya, Ardha Candra mengulurkan tangan pula demi menyambut bantuan sang dokter. Setengah jalan, cepat ia tarik tangannya yang teracung, dan dengan pandangan menyipit pada si dokter, juga pada kedua perawat tersebut.

"Kenapa?" tanya sang dokter dengan tatapan bersahabat. "Ayo, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Ardha Candra lalu bergerak cepat, meraba-raba tubuh sang dokter hingga membuat dokter itu sendiri menjadi risih dan kelabakan. Tapi laki-laki itu terus saja melakukan aksinya, bahkan sampai meraba bagian belakang tubuh sang dokter, memeriksa kalau-kalau di bagian bawah itu akan muncul ekor panjang yang tak lazim.

Setidaknya, Ardha Candra merasa harus melakukan hal tersebut guna berjaga-jaga, mengantisipasi seandainya dokter tersebut adalah makhluk yang sama dengan yang tadi ia hadapi.

Apa pun itu, yang jelas sang doker sepertinya benar-benar kebingungan apa yang dilakukan sang pasien terhadap dirinya. Begitu juga kedua perawat yang saling pandang, lalu kembali memandang pasien tersebut dengan pandangan sama bingungnya.

"Apa yang Anda lakukan, Pak Candra?" ujar sang dokter setelah Ardha Candra tak menemukan apa-apa yang aneh di tubuh sang dokter. "Saya tidak membawa sesuatu yang membahayakan bagi Anda. Percayalah."

"Mungkin saja," timpal si perawat wanita. "Aktifitas otaknya mempengaruhi, Dok."

"Yaah," angguk sang dokter sembari membantu memapah Ardha Candra berdiri sempurna. "Mungkin Anda masih terperangkap dalam kejadian tabrakan malam itu," ujarnya lagi pada sang pasien. "Tenang saja. Semua sudah berlalu lama, Pak Candra. Dan kenyataannya, Anda bahkan sudah siuman."

"Tidak," sahut Ardha Candra. "Bukan itu."

"Lalu?" tanya sang dokter lagi, dan berusaha kembali membawa Ardha Candra ke pembaringan. "Pelan-pelan saja, Pak Candra. Fisik dan pikiran Anda harus menyesuaikan semua hal setelah terbaring selama lima bulan."

"Tidak," sanggah laki-laki itu lagi, dan kembali ia duduk di tepi ranjang. "Kalian tidak mengerti."

"Ouh, ya?" Sang dokter tersenyum, kesabaran adalah satu hal penting dalam pekerjaannya dalam menghadapi pasien. "Apa yang saya tidak mengerti?"

"Ta—tadi," Ardha Candra bahkan sampai harus menelan ludah. "Ada perawat yang datang ke sini."

"Terus?"

Si perawat laki-laki membantu sang dokter membaringkan tubuh Ardha Candra dengan baik ke atas pembaringan tersebut.

Sementara itu, si perawat wanita berlutut sembari mengumpulkan serpihan-serpihan kain putih-biru di lantai. Sesaat, si perawat wanita mengernyitkan kening memandang robekan-robekan kain dalam genggamannya. Ia seperti mengenali jenis kain tersebut. Kembali ia memandang ke pakaiannya sendiri. Sampai beberapa saat, ia tidak bisa menyimpulkan keanehan yang ia rasakan pada robekan-robekan dalam genggaman.

"Katanya," lanjut Ardha Candra memberi tahu. "Dia mau memakan jiwa saya."

"Bapak," ujar sang dokter berupaya menenangkan. "Itu halusinasi. Ini biasa terjadi pada pasien yang mengalami trauma di kepala. Tabrakan seperti yang Bapak alami, misalnya. Atau, mereka yang baru bangun dari koma."

"Tidak, Anda salah," ucap Ardha Candra lagi. "Dia benar-benar berniat memakan saya, Pak Dokter. Perawat wanita itu bahkan berubah menjadi monster biawak menjijikkan."

"Saya rasa," ujar perawat laki-laki itu menimpali. "Mungkin karena halusinasi itulah ruangan ini terdengar gaduh dan berisik."

"Yaah, sepertinya memang begitu," angguk sang dokter. Lantas memasangkan stetoskop ke telinganya, dan bagian bulat di ujung alat tersebut ia tempelkan ke dada sang pasien. "Terlalu berlebihan orang yang mendengar dan melaporkan keributan di kamar ini sebelumnya."

Perawat laki-laki itu tertawa halus, geleng-gelengkan kepala.

"Tapi saya benar-benar mengalami hal ini, Dok," ujar Ardha Candra masih mencoba untuk meyakinkan orang. "Sumpah demi apa pun. Saya tidak sedang menginggau ataupun berhalusinasi."

"Tarik napas yang dalam," pinta sang dokter yang coba memeriksa irama detakan jantung sang pasien. "Bagus. Sekali lagi."

Kemudian sang dokter menyimpan kembali stetoskopnya, dan mengeluarkan senter kecil dari dalam saku baju putihnya itu.

"Detak jantung Anda sedikit cepat, Pak Candra," ujarnya. "Cobalah untuk menenangkan diri."

"Tentu saja," dengus Ardha Candra yang kehabisan akal guna meyakinkan orang atas apa yang baru saja menimpa dirinya tersebut. "Kalau kalian bertemu dengan makhluk serupa biawak menjijikkan itu, tentu jantung kalian akan berdetak cepat seperti jantungku."

Si perawat laki-laki geleng-gelengkan kepala, menyembunyikan tawa yang bisa saja menyinggung sang pasien.

"Hei," seru si perawat wanita pada rekan perawatnya tersebut. Ia memberi isyarat agar sang rekan menghampiri.

Si perawat laki-laki menghampiri rekannya itu, keduanya melangkah sedikit menjauh dari ranjang.

"Yaa, saya percaya itu," balas sang dokter, masih dengan senyuman. "Sekarang," ujarnya lagi. "Biarkan saya mengecek sedikit lagi."

Ardha Candra hanya pasrah, tidak ada jalan lain untuk meyakinkan dokter yang satu ini, pikirnya. Tidak pula kedua perawat yang tengah bergosip—entah membicarakan apa—di sudut sana itu.