Chapter 14 - Batas Ilusi

"Tentu saja, Dok," angguk si pengawas. "Paling lama tengah malam nanti akan saya minta seseorang untuk meletakkan hasil laporannya di meja Anda."

Sang dokter melirik penunjuk waktu di pergelangan tangan kirinya. Pukul sembilan malam lewat dua puluh lima menit.

"Terima kasih," ujar sang dokter dan kembali menepuk pelan bahu si pengawas. Lalu, ia berpaling pada si perawat yang sedang asyik membaca berita kasus pembunuhan sadis tersebut. "Saatnya memindahkan pasien ke kamarnya."

Sang perawat segera melipat surat kabar di tangannya itu, bangkit dan meletakkan surat kabar tersebut di atas kursi yang sebelumnya ia duduki.

"Baiklah, Dok," sahut si perawat.

Keduanya lalu meninggalkan ruangan khusus tersebut dan melangkah memasuki ruangan serbaputih di mana Ardha Candra masih berbaring di atas meja khas di tengah-tengah alat CT Scan yang seolah mengurung dirinya di dalam sebuah pipa besar.

Sang dokter lalu menyentuh sebuah panel setelah berada di dekat alat CT Scan, lalu meja di mana Ardha Candra berbaring bergerak secara mekanis. Semakin lama semakin jauh meja itu bergerak keluar dari alat CT Scan.

"Bagaimana, Pak Candra?" tanya sang dokter sekadar berbasa-basi. "Ada sesuatu yang aneh Anda rasakan selama proses tadi?"

Sang perawat membantu Ardha Candra untuk bangkit. Ardha Candra menggeleng.

"Tidak sama sekali."

"Bagus," angguk sang dokter. "Itu bagus. Dan akan lebih bagus lagi jika kita sudah menerima hasil pemeriksaannya besok pagi."

"Yeah—" dengan dibantu oleh si perawat Ardha Candra turun dari atas meja yang menjadi bagian dari alat pemindai besar tersebut.

"Pelan-pelan saja," kata si perawat.

"—Kuharap hasilnya baik-baik saja, dan tidak ada lagi prosedur lainnya."

"Tentu," sahut sang dokter, "itu juga yang menjadi harapan kami. Naiklah."

Ardha Candra kemudian naik ke atas brankar yang tadi digunakan untuk membawa dirinya ke ruangan tersebut. Meski merasa bisa berjalan kaki saja menuju kamar pengganti, namun sang dokter tetap memperlakukan sang pasien seperti itu dengan alasan ia baru saja siuman dari koma yang panjang. Sang pasien menurut saja.

"Aku sudah tidak sabar menghirup udara bebas," kata Ardha Candra. "Terima kasih atas bantuan kalian selama ini."

"Tidak masalah," jawab si perawat. "Memang sudah menjadi tugas kami."

"Anda sangat bersemangat sekali, Pak Candra."

"Entahlah, Dok… Aku merasa seperti terlahir kembali dengan keadaan yang baru."

"Bagus," sahut sang doker. Dan dengan dibantu sang perawat mereka membawa brankar itu keluar dari dalam ruangan CT Scan bersama Ardha Candra di atasnya. "Jaga semangat itu. Semangat yang baik adalah obat terampuh bagi siapa pun."

Yeah, Ardha Candra sering mendengar hal ini. Semangat untuk tetap berjuang dan terus hidup selalu memegang peranan penting pada diri setiap pasien. Tidak ada yang salah dengan hal itu semua. Hanya saja, bagi Ardha Candra sendiri, ia memang sangat-sangat ingin secepatnya menjauh dari rumah sakit itu sendiri. Sosok makhluk menjijikkan yang mirip kadal besar itu masih membayang jelas di dalam pikirannya.

"Cobalah untuk tidur dengan baik," kata sang dokter setelah mereka berada di sebuah kamar. Kamar yang berbeda dari yang sebelumnya.

Sang perawat memakaikan selimut dengan sangat rapi di atas tubuh Ardha Candra. Setelah itu, ia pamit keluar terlebih dahulu seraya mendorong ranjang khusus beroda tersebut keluar bersamanya.

"Terima kasih," ucap sang pasien.

Dan kemudian, sang dokter pun menyusul meninggalkan kamar tersebut. Ia masih menyempatkan untuk memandang ke arah sang pasien sebelum akhirnya berlalu seraya menutup pintu kamar tersebut.

Sepeninggal si perawat dan sang dokter, Ardha Candra tidak lantas bisa tertidur begitu saja. Cukup sulit baginya untuk sekadar memejamkan mata. Tidak setelah peristiwa aneh yang terjadi beruntun tadi. Jadilah ia hanya melamun sembari menatap langit-langit ruangan.

Di dalam ruangan itu ada sebuah televisi 24 inci, bisa saja Ardha Candra meraih remote dari perangkat tersebut yang ada di atas meja di sudut kanan ruangan dan menyalakan televisi itu. Hanya saja, ia merasa terlalu malas untuk melakukan hal tersebut. Lagipula, bukankah dokter itu tadi memintanya untuk segera tidur, beristirahat, meski ia tidak bisa tidur secepat yang ia pikirkan.

Makhluk apa sebenarnya yang tadi itu? gumam Ardha Candra tak bersuara. Seumur-umur, tidak sekali pun ia pernah mendengar ada makhluk hidup yang seperti tadi itu. Tapi ia sendiri menjadi ragu, apakah makhluk itu benar-benar makhluk hidup—setidaknya, sesuatu yang sama seperti dirinya, seperti manusia, atau hewan, mungkin. Atau memang hanya sekadar khayalan?

Suara berdesis kencang, auman yang mengerikan, bahkan cairan tubuh yang berbau tidak sedap dari makhluk tersebut, jelas-jelas dirasai semua oleh indra yang ada di tubuh Ardha Candra. Lalu mengapa setelah ia menancapkan pedang pemberian makhluk bersayap yang mengaku sebagai malaikat itu menghapus semuanya?

Ini memusingkan kepalaku saja, pikir Ardha Candra. Andai saja semua hal menjijikkan itu tidak menghilang—bahkan tanpa bekas, tanpa bau sama sekali—tentu saja si dokter dan perawat itu tadi mempercayai ucapannya alih-alih menganggapnya sekadar berhalusinasi.

Tapi… apakah benar seperti itu?

Jika kau mengalami trauma yang besar di kepala—seperti kecelakaan yang dialami Ardha Candra—tentu saja semua hal menjadi mungkin dalam perhitungan medis. Termasuk, khayalan atau imajinasi yang terlihat rancu dan membingungkan.

Tapi semua terasa sangat nyata, jerit Ardha Candra di dalam hati.

Tanpa sadar, Ardha Candra memerhatikan sebelah tangannya. Tangan yang sama di mana terdapat dua luka tipis. Luka akibat teriris pedang hitam bernama Divine Sword itu, luka yang sengaja ia sembunyikan sehingga luput dari perhatian sang dokter serta di perawat itu tadi.

Bagaimana dengan luka ini?

Tidak mungkin ini hanya sekadar halusinasi sementara aku benar-benar bisa merasakan sedikit perih pada luka ini, saat sekarang ini.

Ardha Candra mencoba untuk menyebut nama pedang tersebut di dalam hati sebagaimana dengan yang diberitahukan oleh makhluk bersayap sebelumnya, namun sampai beberapa kali ia mencoba, pedang unik itu tidak muncul-muncul juga. Ia coba lagi dengan mengingat bentuk pedang, hasilnya tetap sama saja. Mungkin ia memang tidak benar-benar membutuhkan kehadiran pedang tersebut untuk saat sekarang.

Atau… mungkinkah tabrakan itu telah melemparkan diriku ke dimensi lain, dimensi yang berbeda dari yang seharusnya kujalani? Atau ada satu kekuatan yang sanggup melakukan itu semua sehingga roh dan tubuhku terpisah di dua dunia yang berbeda?

Ardha Candra memerhatikan seisi kamar, tapi ia tidak menemukan sebentuk cermin pun yang ada di dalam ruangan tersebut. Tidak pula sebuah kamar mandi yang biasanya terdapat pula sebuah cermin. Tidak sama sekali.

Mungkin pagi esok aku akan bisa melihat seperti apa wajah dan tubuh yang sekarang kumiliki ini. Apakah memang tubuhku yang asli seperti sebelum kecelakaan itu, atau memang tubuh orang lain yang dirasuki oleh rohku sendiri.

Dan perlahan, sepasang mata itu mulai terpejam. Bagaimanapun, tubuh itu memang masih membutuhkan istirahat yang lebih.

***