Chapter 9 - Pertarungan Pertama

Sekali lompatan saja, si perawat tahu-tahu sudah berada di depan pintu. Lebih tepatnya, ia seakan menempel di dinding di mana beradanya pintu keluar-masuk ruang perawatan tersebut. Seolah-olah dia memiliki kemampuan sebagaimana seekor cicak.

Hal ini semakin memperparah ketakutan di dalam diri Ardha Candra. Ia menelan ludah, dan itu tidak berjalan dengan baik, terlalu sulit. Lekas ia bangun, lalu beringsut lagi menjauhi pintu.

"Si—siapa kau itu sebenarnya?" teriak Adrha Candra. "Seseorang, tolong saya…!" jeritnya lagi.

Sampai sejauh itu, belum ada suara apa pun yang terdengar yang setidaknya menggubris seruan laki-laki tersebut.

Rumah sakit macam apa ini? maki laki-laki itu di dalam hati. Di mana orang-orang?

"Tadinya," ujar si perawat, namun kini, suara itu terdengar lebih berat dan serak. Bukan seperti suara manusia normal pada umumnya. "Aku ingin bersenang-senang memakan jiwamu. Siapa sangka, ternyata kau siuman lebih cepat."

"Apa maksudmu itu, haa?"

Tapi ucapan tersebut tak lebih dari mengulur waktu saja, sebab Ardha Candra sangat berharap ada sesorang yang mendengar teriakannya di luar sana, atau perawat yang tadi menjadi lawan bicara dari perawat gila di hadapannya kini itu, siapa saja boleh, asal ia bisa terbebas dari mimpi buruk yang teramat menakutkan sekaligus menyakitkan ini.

"Makhluk apa kau itu sebenarnya?"

Si perawat yang menempel di dinding melompat turun dengan ringan. Lalu, kedua lengan baju yang panjang di badannya tersebut tiba-tiba merekah, robek di banyak sisi sebab kedua tangan itu kini berubah bentuk. Lebih besar dan lebih panjang dari ukuran proporsional tubuhnya, berwarna hijau gelap, berbentol-bentol di beberapa sisi tangan tersebut, seperti terkena satu penyakit kulit. Serpihan lengan baju berjatuhan ke lantai, begitu juga serpihan lainnya yang lebih mirip seperti lapisan kulit luar manusia.

Ardha Candra sungguh merasa jijik memandang kejadian di depan mata, lebih-lebih serpihan kulit manusia yang berguguran ke lantai itu, benar-benar membuatnya mual setengah mati dengan kehadiran lendir di setiap serpihan kulit itu sendiri.

"Sekarang," ujar makhluk itu lagi.

Lalu, ia menarik kuat pakaian yang tersisa di badannya, melemparkan ke lantai begitu saja. Bersamaan itu, bentuk badannya yang memang masih menyerupai manusia—khususnya seorang wanita—dengan kedua bukit kembar yang menggelantung di dadanya itu, pun terpecah-pecah. Memunculkan bentuk lain di balik kulit manusianya yang berjatuhan ke lantai dalam bentuk serpihan-serpihan selebar telapak tangan.

"Percuma saja aku menggunakan kulit luar perawat ini demi untuk memakan jiwamu."

Tapi Ardha Candra tidak tahu lagi harus berkata apa, selain sepasang mata yang terus-terusan membelalak lebar menyaksikan kejadian di luar akal sehat di depan matanya itu.

Juga tubuh bagian pinggang ke bawah, celana biru panjang itu robek. Makhluk tersebut juga menghela celana tersebut hingga lepas keseluruhannya, membuang robekan celana ke lantai.

"Kepalang tanggung," ujar makhluk mengerikan itu lagi. Ia meregangkan tubuhnya sedemikian rupa. "Berada di dalam kulit manusia, itu sangat tidak menyenangkan. Menjijikkan."

Dan terakhir, adalah perubahan pada bentuk kepalanya. Penutup kepala khas seorang perawat menggelinding ke punggung sebelum jatuh ke lantai. Lalu kulit kepala itu retak, dan pecah-pecah. Helaian-helaian rambut berguguran ke lantai diiringi serpihan-serpihan kulit kepala dan wajahnya.

Tak dapat untuk ditahan, Ardha Candra akhirnya muntah begitu saja. Pemandangan yang sedang terjadi di hadapan bukanlah hal yang menyenangan untuk ia saksikan. Dan itu, menguras isi perutnya. Cairan putih kekuningan berserabutan keluar dari mulut laki-laki tersebut, tumpah ke lantai.

"Se—seorang…!" teriak Ardha Candra lagi, lalu beringsut semakin ke belakang hingga tersudut di pojokan. "Halloo… tolong saya…!"

Kini, wujud makhluk itu terlihat seperti perpaduan antara manusia dan seekor kadal. Bentuk kepala, badan, dan ekor tebal pendek yang menyembul di belakang tubuhnya mengindikasikan hal tersebut. Kecuali sepasang tangan yang terlihat sangat panjang menjela itu, mirip tangan manusia, hanya saja masing-masing memiliki empat jari dengan kuku hitam melengkung. Juga kedua kakinya, terlihat lebih pendek dari ukuran tangan.

Bentol-bentol besar menghiasi banyak sisi tubuh makhluk tersebut. Lebih-lebih di bagian atas kepala, permukaan punggung, bahkan seluruh bagian ekornya yang meliuk-liuk pelan itu.

"Tolong…!" jerit Ardha Candra lagi. "Tol—"

Teriakan laki-laki itu terhenti, ia tercekat sebab dengan tiba-tiba saja makhluk mengerikan itu sudah berada di hadapannya. Bahkan lompatan itu terlalu cepat untuk bisa diikuti oleh sepasang mata Ardha Candra. Terlalu cepat.

Satu tangan makhluk tersebut mencekik leher Ardha Candra. Dan sangat mudah sekali baginya, tubuh laki-laki tersebut tidak terasa berat sama sekali. Selayaknya kapas, makhluk itu mengangkat Ardha Candra.

Laki-laki itu megap-megap dengan lidah terjulur. Cengkeraman makhluk tersebut di lehernya begitu terasa sangat kuat dan menyakitkan, seakan jika sekali ia meremaskan tangannya itu sudah dapat dipastikan Ardha Candra akan mati dengan tulang leher remuk, dan tidak menutup kemungkinan dengan daging dan urat-urat leher itu putus sekalian.

"Le—lepas—kan!"

Ardha Candra coba berontak. Setidaknya, ketinggian makhluk itu mencapai dua meteran. Dan tergantung seperti itu, sungguh, lebih baik aku kembali dalam keadaan koma saja seperti tadi, jeritnya di dalam hati.

Kedua tangannya memukul-mukul sekuat mungkin tangan makhluk tersebut. Tapi nihil, tangan itu tetap bergeming di posisinya. Lalu kedua kaki pun ikut serta, coba menendang-nendang badan makhluk itu, juga sama saja. Tidak seperti tadi, kali ini makhluk itu berada dalam wujud aslinya, dan pukulan serta tendangan Ardha Candra itu, tidak berarti sama sekali bagi si makhluk.

Ia menyeringai, memamerkan dua barisan gigi runcing yang berlendir menjijikkan. Lidah yang panjang dan bercabang itu melelet ke sana kemari.

Dan Ardha Candra masih berkutat dengan kebutuhan akan oksigen, tendangan dan pukulan semakin lama semakin tidak terarah, dan semakin lemah saja. Wajahnya menggelembung, merah padam, sepasang bola mata seakan hendak lepas dari rongganya. Ia tersedak sekali, tapi justru cairan ludah kental yang keluar dari mulutnya.

Setidaknya, kini laki-laki tersebut berada di ujung kematiannya sendiri.

Makhluk tersebut mendekatkan wajah buruknya ke hadapan Ardha Candra.

"Aku paling suka melihat kesengsaraan manusia di ujung kematiannya," ucap makhluk itu. Lalu terkekeh, tapi seperti terdengar bagai sebuah desisan kencang berulang-ulang. "Menggelikan," lanjut makhluk itu lagi. "Kenapa makhluk lemah seperti kalian yang menguasai Bumi?" Lalu, ia meludah ke lantai.

Suara berdesis kencang terdengar saat ludah kental itu menyentuh lantai, seperti suara arang menyala yang tersiram air dingin. Dan mengepulkan asap tipis.

Ardha Candra sempat melihat hal tersebut. Tapi ia tidak mungkin memikirkannya sekarang, yang lebih utama bagaimana secepat mungkin terlepas dari cengkeraman empat jari besar dan panjang dari makhluk tersebut yang mencekik lehernya dengan kuat.

Semenit lebih lama lagi, Ardha Candra akan benar-benar menemui Malaikat Kematian-nya. Urat-urat darah di bola matanya saja sudah memerah.