Chapter 4 - Kehidupan Kedua

Tapi pendengaran hanya bertahan sesaat saja, sebelum akhirnya kembali hening. Lalu, pupil mata yang kembali mengecil ke ukuran normal, dan perlahan kelopak mata kembali menutup.

Suara-suara ricuh di dalam ruangan yang dipenuhi pelbagai alat dan mesin pendukung kehidupan, tak mampu mengusik keheningan Ardha Candra. Suara halus dan panjang dari monitor hemodinamik semakin membuat sosok-sosok berpakaian serbahijau bertindak lebih cepat.

Lalu ada hentakan-hentakan di dada Ardha Candra. Lagi, dan lagi.

*

Lagi-lagi kilatan cahaya dari sesuatu membangunkan Ardha Candra, tapi kali ini cahaya itu sepertinya sedikit iseng. Dari atas pindah ke bawah, lalu bolak-balik beberapa kali sebelum akhirnya hening di satu titik di sebelah kanan.

Ardha Candra sangat yakin, pasti itu di sisi kanan. Perlahan, kelopak matanya bergerak membuka. Mengganggu saja, pikirnya.

Tapi laki-laki itu terpaksa mengerjap-ngerjap berulang kali agar kedua matanya terbiasa dengan penerangan di dalam ruangan.

Ia mencoba untuk bangkit duduk, tapi terasa sangat susah sekali. Tubuh terasa sangat kaku. Belum lagi segala tetek-bengek alat kedokteran yang menempel di tubuh. Masker oksigen dari mesin ventilator yang menutupi hidung, mulut, dan dagu, terasa sangat pengap. Belum lagi di lobang hidung sisi kirinya tertanam selang kecil. Juga, selang infus yang tertanam di tangan kanan—sedikit di bawah lipatan siku.

Ardha Candra melepas masker oksigen, pernapasan sedikit terasa bebas, kecuali selang kecil yang mengganggu di cuping kiri.

Hal yang terpikirkan sekarang di dalam benak laki-laki tersebut adalah: ia sedang berada di dalam sebuah kamar rawatan khusus sebuah rumah sakit—yang mana satu, ia tentunya belum mengetahui soal itu—setelah mendapatkan pertolongan dari kecelakaan semalam.

Dibedah…

Perlahan kedua tangannya meraba-raba tubuh bagian depan. Tapi aneh, pikirnya, kenapa tidak ada bekas luka yang terasa? Atau setidaknya, sedikit rasa sakit? Secanggih itukah teknologi kedokteran sekarang ini?

Ardha Candra menyentuh selang kecil di lubang hidung sebelah kirinya itu. Sepertinya ini berujung di dalam lambung, pikirnya lagi. Perlahan-lahan, dengan gerakan kedua tangan yang gemetar sebab masih terasa kaku, ia menghela selang tersebut.

Percobaan pertama gagal, sebab setidaknya kini ia bisa merasakan sedikit perih pada rongga hidungnya.

Baguslah, pikirnya lagi. Berarti, pengaruh alkohol semalam sudah hilang. Dan yaa, ia juga tidak merasakan pusing atau pun mual-mual. Bagus.

Ia mencoba lagi. Menghela pelan-pelan penuh kelembutan dan kehati-hatian. Tapi itu tak mengurangi rasa perih di dalam rongga hidungnya. Ardha Candra mengerang halus, dua tangan terus saja menghela selang.

Tercabut.

Dada laki-laki tersebut turun-naik, bergemuruh dalam helaan napas panjang berkali-kali. Kembali memusatkan konsentrasi, kali ini, Ardha Candra ingin bisa segera bangkit duduk, alih-alih langsung berdiri dan turun dari atas ranjang.

Mati-matian ia mencoba untuk bangkit, namun anggota tubuh seakan tak hendak menuruti keinginan. Seakan semua otot menjadi kaku hingga membuat tulang-tulang di dalam tubuh tak mampu digerakkan, mengingkari perintah otak.

Sialan… maki Ardha Candra di dalam hati. Separah itukah tabrakan semalam, hingga membuat tubuhku lumpuh begini?

Tapi ia tidak putus asa, kembali mengumpulkan tenaga. Memfokuskan diri. Perlahan tapi pasti, Ardha Candra akhirnya bisa bangkit, duduk berselonjor di atas pembaringan. Lagi, dan lagi, ia terengah-engah.

"Begini saja sudah menguras tenaga," gumamnya setengah tak terdengar.

Lalu, soal cahaya yang mengganggu tadi, pikirnya lagi. Ia mengangkat wajah, dan itu juga terasa cukup kaku.

Sepasang pupil mata membesar sesaat di kala memandang sosok di sudut kanan itu. Benar itu di kanan, pikirnya lagi. Tapi, sosok itulah sepertinya yang tidak benar.

Ardha Candra mendengus, terkekeh halus. Percuma saja, pikirnya lagi. Siapa pun dokter yang berusaha menyelamatkan diri ini, sia-sia. Kecuali pengaruh alkohol malam tadi belumlah hilang sepenuhnya, maka sosok di kanan itu jelas bukan manusia.

Malaikat Maut?

"Apa yang kau pikirkan?" tanya sosok dalam balutan putih bersih di sisi kanan.

Ardha Candra mendengus membuang muka. "Kalau kau Malaikat Maut," ujarnya. Lantas menggerakkan kedua kakinya untuk menjuntai di sisi ranjang. "Kenapa tidak mencabut nyawaku saat kecelakaan semalam, hemm?"

Berhasil. Laki-laki itu bersitekan dengan kedua tangan, ia duduk setengah membungkuk di tepian ranjang.

"Kenapa harus sekarang?" Ardha Candra melirik sosok tinggi tanpa alas kaki itu. Mendengus lagi seolah akan meludah. "Kenapa harus setelah aku mendapatkan pertolongan?"

"Begitu?"

"Tentu saja," sambut Ardha Candra pula. "Kejam sekali. Gak manusia, gak Malaikat… sama saja!"

"Hei," sergah makhluk putih berpenampilan seperti seorang laki-laki tersebut. "Jangan sangkut-pautkan aku dengan kekasihmu yang tukang selingkuh itu."

"Ciih…" Ardha Candra kembali membuang muka.

"Bagaimana kalau memang seperti itu seharusnya?" tanya makhluk itu lagi, dan sepasang sayap besar dengan warna yang sama dengan pakaian di badannya itu merentang lebar. "Kalau memang sudah ajalmu demikian. Kau masih berpikiran ini kejam?"

"Terserah!"

Makhluk itu tertawa halus, melipat kedua tangan ke dada, sepasang sayap kembali mengatup berlipat di belakang punggung.

"Hebat," decaknya mengangguk-angguk. "Kau seolah tidak takut pada kematian itu sendiri."

"Apa yang harus aku takutkan?" Kembali Ardha Candra memandang sosok itu. "Mati, ya mati. Toh," lanjutnya seraya mengalihkan pandangan ke dinding kamar di hadapan. "Aku juga tidak punya gairah atau alasan lain untuk meneruskan hidup."

"Hoo…" Makhluk itu tersenyum. "Begitu, ya?"

"Silakan saja." Seakan memang menginginkan kematian itu sendiri, Ardha Candra menegakkan punggung, membusungkan dada mengarah pada makhluk tersebut. "Tunggu apa lagi?"

"Apa kau itu Tuhan?"

Ardha Candra mendapati tatapan makhluk tersebut begitu dingin kepadanya. Sedingin senyuman di bibirnya itu.

"Apa maksudnya itu?" Tanpa rasa takut sedikit pun, Ardha Candra menantang balik tatapan makhluk tersebut. "Menyebalkan!"

"Aku tanya," ulang makhluk itu. "Apa kau itu Tuhan, seenaknya mengatur-ngatur apa yang harus aku kerjakan?"

"Terserah," dengus laki-laki tersebut, kembali membuang muka. Mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Apa memang begini gayamu?"

Balik, kini tatapan makhluk tersebut yang dipenuhi tanda tanya pada ucapan Ardha Candra. Seakan mengerti apa yang tengah dipikirkan laki-laki tersebut, sang mahkluk tertawa lagi.

"Enak banget," sindir Ardha Candra kemudian. "Mempermainkan perasaan orang yang akan kau cabut nyawanya. Benar-benar memuakkan."

"Hei," tegur sang mahluk. Lantas bertolak pinggang. "Jaga ucapanmu itu!"

"Sudahlah," sanggah Ardha Candra lagi. "Lakukan saja tugasmu. Mau cabut, ya cabut saja. Tidak usah banyak tingkah!"

"Baiklah," kekeh makhluk bersayap lagi. "Kalau kau memang berkeinginan untuk mati. Tapi sebelum itu," lanjutnya, lalu melangkah mendekati Ardha Candra, dan baru berhenti setelah jarak keduanya hanya terpisah dua langkah saja. "Kutanyakan satu hal padamu—"

"Ciih…" dengus Ardha Candra, memalingkan muka. Lantas mencoba menjejakkan kedua telapak kaki di ubin lantai.

Laki-laki itu sedikit terkejut, tidak menyangka bahwa lantai ruangan terasa sangat sejuk menyentuh telapak kakinya.