Chereads / Tirai Penghalang / Chapter 29 - Gak Kenal

Chapter 29 - Gak Kenal

Malam itu Steaven menjemput Rezqi, mobil sport putih terparkir indah di depan warung. Hanya ada dua orang saja pengunjung warung tersebut malam ini, ditemani oleh Akhirali. Sedangkan Steaven menunggu Rezqi di dalam mobil.

Jong juga sudah terlebih dulu ada di dalam mobil tersebut, duduk di samping kiri Steaven di kursi depan. Ia sedang asyik dengan ponselnya.

"Lama banget tuh bocah satu," dengus Steaven yang sudah menunggu lebih dari sepuluh menit.

"Gak sabaran amat lu jadi orang," tukas Jong tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel. "Gak bakalan pindah tempat tuh rumah cewek bedua. Lagian, si Ambar ame Dinda pan udeh janji bakal nungguin."

Steaven tidak membalas ucapan Jong, hanya embusan napas panjang yang berat itu saja yang terdengar keluar dari mulutnya.

"Ngapain sih elu," Steaven melirik Jong, dagunya bertopang pada tangan kanan yang bersandar ke pintu mobil. "Main hape mulu dari tadi?"

Jong terkekeh, lantas menyimpan ponselnya tersebut ke saku depan celananya.

"Biasalah," ujarnya. "Ngebales semua pesanan yang masuk."

"Banyak?"

"Lumayanlah," jawab Jong. "Kiriman ke luar kota semua. Mayan duitnye, buat nambah-nambah ongkos kite ntar."

"Aah," dengus Steaven. "Kan udah gua bilangin: gua yang tanggung semuanya!"

"Brisik aje lu," Jong tertawa pelan.

"Serah lo deh," tukas Steaven pula. "By the way, lu gak ada rencana buat nambah outlet?"

"Ntar-ntar aje itu mah," sahut Jong. "Satu ini aje udeh bikin gue repot, nambah atu lagi ape gak blibet tuh gue ntar, ye kan?"

"Dodol!" Jong tertawa geleng-geleng kepala. "Kan lu bisa ambil siapa gitu yang bisa lu percaya, men. Gak harus elu yang pegang semuanya, kan?"

Jong tertawa tanpa suara mendengar ocehan sahabatnya itu. Lagipula, Jong sebenarnya sudah berpikir kearah sana, hanya menunggu momen yang tepat saja, pikirnya. Untuk sekarang, Jong cukup puas dengan hanya satu toko aquarium dan ikan hias.

"Noh die, noh!" ujar Jong saat melihat sosok Rezqi di ambang pintu depan rumah.

"Buruan woii…!" seru Steaven memandang ke arah Rezqi lewat jendela mobil yang terbuka di samping kiri Jong. "Udah kek cewek aja lu, men. Dandan dulu sebelum jalan."

Rezqi tersenyum lebar mendengar gerutuan temannya itu. Ia lantas berpamit pada Akhirali yang sedang berada di dalam warung.

"Bang Rez!"

Suara si kecil Shinta membuat Rezqi membalikkan tubuhnya saat sudah berada di dekat mobil sport putih itu. Shinta datang bersama sang ibu, sepertinya ibu dan anak itu baru datang dari Musala sebab keduanya terlihat sama-sama mengenakan mukena.

"Mau keluar, Rez?" tanya Bi Ayu.

"Iya nih, Bi," jawab Rezqi. "Udah dijemput Steaven sama Jong tuh."

Steaven dan Jong sama menyapa Bi Ayu dan si kecil Shinta dari dalam mobil.

"Bang Rez ntar pulangnya beliin Shinta martabak coklat, ya," pinta si kecil itu.

"Tapi Bang Rezqi pulangnya lama loh," ujar Rezqi.

"Ibuk…" rengek Shinta pada sang ibu. "Shinta pengen martabak coklat."

Bi Ayu menghela napas dalam memandang sang anak, lantas seperti hendak mengeluarkan sesuatu dari balik lipatan sajadah di tangannya itu.

"Kamu beliin saja ya, Rez," ujar Bi Ayu. "Satu papan aja."

"Ya udah deh," sangguk Rezqi.

"Disimpen aje duitnye, Bi Ayu," sahut Jong. "Dedek Manis tenang aje, ntar Om Jong beliin martabaknye."

"Asyiiik…!" seru Shinta. "Makasih, Om."

Bi Ayu tidak jadi mengeluarkan dompetnya. "Makasih ya, Jong."

"Yang coklat ya, Om!" seru si kecil itu lagi dengan lantang karena kegirangan. "Shinta maunya yang coklat. Yang banyak…!"

"Yoi," Jong tersenyum senang melihat keceriaan gadis kecil itu. "Rez, buruan masuk!"

Rezqi mengangguk, lalu berpamitan kepada sang bibi.

"Rezqi keluar dulu ya, Bi, assalamualaikum…"

"Waalaikumsalam," sahut Bi Ayu dan Shinta berbarengan. "Hati-hati bawanya, Steav!"

"Tenang aja, Bi," balas Steaven.

Rezqi masuk ke dalam mobil, duduk di bangku belakang. Dan setelah itu, Steaven mengarahkan mobilnya ke arah jalanan dari beton itu. Membunyikan sekali klakson mobilnya, sebelum membawa mobil menjauh dan semakin menjauh.

***

Sesampainya mereka di rumah Ambar, ketiganya disambut oleh ibunya Ambar sendiri yang asli berdarah Madura—Herliana Rahmawati, 50 tahun, biasa dipanggil Tante Ana. Ambar sendiri kala itu sedang berada di kamarnya di lantai atas.

"Duduk dulu," tawar Tante Ana pada ketiga teman anaknya itu. "Bentar ya, Tante bawain minum. Mau minum apa nih?"

"Udah, Tan," sahut Steaven. "Gak usah repot-repot."

"Iye, Tan," timpal Jong pula. "Kite-kite udeh pada minum tadi."

"Air putih aja, Tan," pinta Rezqi, lalu pandangannya bertemu dengan pandangan Jong dan Steaven yang memandang dengan kening mengernyit kepadanya. "Gue haus, men."

"Aaah, si bahlul!" dengus Jong.

"Sumpah, Tan," ujar Steaven pada Tante Ana. "Kita berdua gak kenal nih anak satu, kok."

Tante Ana tersenyum lebar menahan tawa. Beginilah mereka kalau berkumpul, pikirnya.

"Udah…," ujar wanita paruh baya tersebut. "Gak apa-apa. Ambar kayaknya masih lama, soalnya dia baru habis mandi."

"Ouh…" Jong dan Steaven mengangguk-angguk.

"Ya udah," ujar Tante Ana lagi. "Sebentar, ya."

Dan sosok itu kemudian berlalu dari ruang tamu tersebut. Meninggalkan Jong dan Steaven yang sepertinya masih menggerutu pada Rezqi.

"Lhaa orang haus," tukas Rezqi pada kedua temannya itu. "Masak harus gue tahan-tahan, sih? Kan bukan lagi bulan Ramadan."

"Enggak ngerti lagi dah gua," keluh Steaven seraya mengempaskan punggungnya ke sandaran sofa, sementara Jong hanya terkekeh geleng-geleng kepala.

Ketiga sahabat itu duduk di satu sofa yang sama. Sofa berwarna coklat kekuningan itu cukup panjang dan masih ada jarak di antara ketiganya. Steaven duduk di sisi kiri berdekatan dengan pintu masuk, Rezqi di tengah-tengah, dan Jong di sisi kanan.

Di hadapan mereka ada sebuah meja kaca persegi, dan di seberang meja itu ada sebuah sofa panjang lainnya.

Tidak berapa lama sosok Ambar pun hadir di ruang tamu itu. Dan seperti kebiasaan gadis itu sendiri, pakaiannya lebih cocok disebut pakaian laki-laki.

"Sorry," ujar Ambar seraya mengempaskan pinggulnya ke atas sofa di seberang ketiga temannya itu. "Gue habis mandi tadi."

"Santai aja lagi," kata Steaven. "Kita juga belum ada tiga menit ini."

"Eeh, nyokap gue ke mana?"

"Ke dapur, ngambilin minum buat kekasih lu yang ini, nih. Kehausan dia habis mendaki gunung melewati lembah."

"Najis…!" dengus Ambar seraya mencibir.

Dan lantas disambut suara tawa dari mereka semua, kecuali Rezqi yang mesem-mesem tak tentu arah.

"Kalian itu kok ya senangnya ngegodain Rezqi mulu, sih?" Tante Ana kembali menghampiri dengan membawa sebuah nampan dan di atasnya terdapat lima gelas bening yang berisi air putih.

"Aah, enggak, Tan," kekeh Steaven. "Biasa mah kita-kita, yaa… kek gini."