"Aiih, si Abah mah," ujar Rezqi, dan kembali terbatuk-batuk.
"Lhaa, gue bener, pan?"
Bang Tohap dan Pak Saman sama mengangguk-angguk sembari menyembunyikan tawa mereka.
"Jaman gue mude kek elu dulu," kata Abah Malih. "Ade bidadari kek si Shari, beuuh… jan lu tanye deh, perang golok kite mah ngerebutin hatinye."
"Iyee…" Rezqi geleng-geleng kepala, lalu menyeka wajahnya dengan ujung baju kaus yang ia pakai itu. "Tapi, itu kan zamannya kuda masih gigit besi, Bah."
"Lhaa, sekarang pun masih," tukas Abah Malih. "Masih gigit besi aje tuh kuda gue lihat noh kapan hari di Monas."
"Haiis… iya dah, iya," Rezqi tersenyum kecut. "Kenapa nggak Abah Malih sendiri aja yang lamar?"
Bang Tohap dan Pak Saman tak kuasa lagi menahan tawa mereka, sementara Abah Malih terlihat bersungut-sungut mendelik memandang Rezqi.
"Elu emang somplak, ye!" dengus laki-laki tua itu, ia membenahi kopiah lusuh di kepalanya yang jauh dari kata hitam. "Lu nyuruh gue bunuh-bunuhan ame si Djaja, heh?"