Chereads / Tirai Penghalang / Chapter 28 - Cantik Tapi Jomblo

Chapter 28 - Cantik Tapi Jomblo

"Terima kasih," ujar Amia. "Kayaknya menarik."

"Datang aja." Ambar meraih gelas di sampingnya, dan menyesap habis air kelapa muda yang tersisa tidak seberapa lagi itu. Ambar berdiri. "Kapan saja, silakan."

"Akan saya pertimbangkan."

"Oke deh."

Ambar lantas mendekati si pedagang. Dan saat gadis itu ingin membayar minumannya, Amia mencegah hal tersebut.

"Biar saya yang bayar," ujar Amia.

"Gak perlu repot-repot."

"Jangan diambil Mas," tukas Amia kepada si pedagang. "Biar saya saja."

"Beneran nih?" tanya Ambar. Amia mengangguk pasti. "Ya sudah. Makasih yak."

"Nggak masalah."

"Saya duluan," ujar Ambar kemudian. "Anak-anak keknya udah pada ngumpul tuh."

Di depan bangunan yang tadi ditunjukkan oleh Ambar, Amia bisa melihat sejumlah anak-anak sepantaran siswa SMP sedang berkumpul sembari bercanda ria.

"Mari, Pak," ujarnya lagi. "Mia."

"Mari, mari, mari…" sahut Pak Abdul, Amia hanya tersenyum mengangguk saja.

"Gadis yang menarik," celetuk Pak Abdul.

Amia tersenyum memandang Pak Abdul yang masih mengawasi gadis di ujung sana itu. Pandangannya pun beralih ke sosok yang sama. Setuju, gumamnya di dalam hati.

Tidak berapa lama, Amia dan Pak Abdul pun akhirnya meninggalkan kawasan itu.

"Pantesan Jodi keukeuh minta dibeliin es kelapa muda itu," kata Amia ketika di dalam perjalanan pulangnya. "Es kelapanya enak kek gitu."

"Iya," sahut Pak Abdul. "Bener-bener seger."

"Si Masnya juga lumayan bersih. Dan yang lebih penting, es kelapa mudanya gak menggunakan pemanis buatan."

"Kalau kapan-kapan Non mau lagi, bilangin aja ke saya."

Amia tersenyum mengangguk-angguk.

Sesampainya di rumah, Amia langsung menuju kamarnya di lantai atas, sementara Pak Abdul menyerahkan kantong plastik yang berisi dua bungkus es kelapa muda kepada Zulaikha sang ART.

"Lhoo," ujar Zulaikha sembari memandang dua bungkus es kelapa muda di dalam kantong di tangannya. "Kok dua bungkus?"

"Satu buat Den Jodi," jawab Pak Abdul. "Satu lagi buat kamu."

"Ooh," Zulaikha mengangguk-angguk. "Terus, buat Pak Abdul dan Mbak Mia?"

"Tadi kita udah minum di sana."

"Ooh, gitu."

Zulaikha pun akhirnya meletakkan bungkusan itu di atas meja, sementara Pak Abdul meninggalkan sang ART menuju ke kamarnya sendiri.

Amia sudah berada di ruang keluarga itu, pakaian di tubuhnya pun sudah berganti dengan pakaian yang lebih terlihat santai dan simple. Duduk setengah rebahan di lengan sofa dengan kedua kaki berada di atas sofa itu sendiri.

Di tangannya, Amia sedang memegang sebuah buku tebal tentang manajemen bisnis. Dan itulah yang tengah ia baca.

Di sana ia ditemani oleh Jodi yang justru duduk di lantai dengan bersandar punggung ke pinggiran sofa. Kedua tangan remaja tersebut sudah terlihat lebih baik, hanya menyisakan luka-luka yang sudah mengering di kedua sikunya. Ia sedang mencatat beberapa informasi dari teman sekolahnya yang dikirimkan melalui pesan lewat ponsel, tentang pelajaran yang terpaksa ditinggalkan Jodi karena kecelakaan yang ia alami itu.

Tidak berapa lama, Zulaikha datang menghampiri dengan membawa sebuah mug berisi air kelapa muda gula merah di atas sebuah nampan.

Zulaikha menghidangkan minuman tersebut kepada Jodi, lengkap dengan sedotan dan sebuah sendok.

"Makasih, Teh," ujar Jodi. Dan segera menyesap air kelapa muda tersebut. "Aaah… mantap!"

Zulaikha tersenyum memandang remaja itu, tatapannya beralih kepada Amia.

"Mbak Mia mau diambilkan minuman juga?"

Amia tersenyum, menggelengkan kepala.

Dan setelah itu, sang ART kembali ke arah dapur melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

"Gimana, Jod?"

"Haah…" keluh Jodi pada sang kakak. "Banyak pelajaran yang ketinggalan."

Amia tertawa pelan. "Ya wajar. Sudah dua hari kamu gak masuk, kan? Belum lagi besok, dan lusa."

"Yaah," Jodi mengembuskan napas yang sangat panjang. "Mau gimana lagi?"

"Salepnya masih ada?"

"Masih," angguk Jodi. "Terus, Kakak sendiri gimana? Bukannya tadi pagi bilang ada banyak pertemuan hari ini? Kok udah pulang aja?"

"Dua pertemuan udah selesai pagi tadi," jawab Amia. "Dua lainnya Kakak batalin."

Lalu, Jodi menangkap raut sedikit kecewa di wajah indah sang kakak. "Kenapa lagi?"

"Kamu tahu gak sih?"

"Enggak!"

"Iissh!" Amia mendelik pada sang adik, Jodi tertawa pelan. "Dengerin dulu!"

"Iya, iya," sahut Jodi. "Apaan?"

"Kakak batalin tuh dua pertemuan karena mau meng-interview seorang calon pegawai di Graha Abadi."

"Waah…" Jodi mengangguk-angguk. "Pasti istimewa banget tuh pegawai, sampai Kakak rela membatalkan dua pertemuan."

Tentu saja Amia tidak memberi tahu Jodi siapa sebenarnya yang ingin diwawancarai oleh Amia tadi itu.

"Istimewa dari mana?" dengus Amia.

Dan Jodi lagi-lagi menangkap kekecewaan serupa di wajah sang kakak. "Kenapa emangnya?"

"Lhaa dia gak dateng-dateng," ujar Amia seraya menutup buku tebal di tangannya, dan meletakkan buku tersebut ke atas meja di hadapannya—meja yang sama yang digunakan Jodi untuk menulis catatan pelajarannya. "Ditungguin ampe jam empat padahal."

"Weeeh, sayang banget dong," sahut Jodi. "Maksud Jodi, pertemuannya gak jadi, tuh orang pun gak jadi."

"Yaa, nggak gitu juga," kata Amia, lalu mengubah posisi duduknya. "Mereka itu sepertinya gak serius untuk bekerja sama. Makanya Kakak batalin aja pertemuannya."

"Tahu dari mana?"

"Ada lah," Amia tersenyum memandang sang adik. "Gini-gini, Kakak punya banyak informan tauk."

Jodi terkekeh mengangguk-angguk. "Hebat!"

"Diih…!"

Amia lantas menghambur mendekati sang adik yang sepertinya tidak mempercayai ucapannya. Dan lantas merangkul leher sang adik, mengucek-ucek rambutnya.

"Gak percaya yak," sahut Amia dan terus saja mengucek-ucek kepala Jodi. "Gak percaya sama Kakak sendiri, hemm…?"

"Iya, iya…" teriak Jodi yang menjadi kewalahan, lebih-lebih kedua sikunya masih terasa sakit. "Caya kok, percaya."

"Bener?" delik Amia dengan sedikit ancaman dan senyuman.

"Iya!" gerutu Jodi yang merasa terganggu. "Jauh-jauh dong!" pintanya lagi. "Gak kelar-kelar nih catatannya."

"Bodo!"

Dan kembali Amia menarik kepala sang adik ke pelukannya, mengucek-ucek lagi rambut sang adik dengan segala kasih sayang yang ia miliki.

"Udah doong!" teriak Jodi. "Ntar nih meja kesenggol, haaa, tumpah dah tuh es kelapanya!"

Amia kemudian melepaskan rangkulannya, lantas turun dari atas sofa.

"Ya udah deh," ujarnya kepada sang adik. "Kakak ke atas dulu, mau mandi, gerah. Selesaiin tuh pelajaran yang ketinggalan."

"Iyaaa," dengus Jodi dengan bibir meruncing. "Cerewet. Dasar nenek sihir!"

"Eeh," Amia kembali berbalik badan, bertolak pinggang. "Bilang apa?"

"Nenek sihir!"

"Kamu tuh, ya—"

Dan lagi-lagi Jodi jadi bulan-bulanan sang kakak.

Dakh!

"Adduuuh!" Jodi meringis sebab lututnya membentur sudut meja, untung meja kaca itu tidak pecah. "Tuuh, kan?"

Dan Amia langsung ngacir, berlari meninggalkan sang adik yang merungut-rungut sebab merasakan sakit di lututnya, juga sedikit dari air kelapa muda di dalam mug yang tumpah.

"Dasar nenek sihir…!"

"Tapi cantik," sahut Amia pula.

"Jomblo!" teriak Jodi lagi.

Amia tertawa cekikan menanggapi teriakan sang adik sembari terus menaiki anak tangga melingkar ke lantai atas itu.