"Ayo kita ke sana Za." Dea menarik-narik tangan sahabat cupunya.
Khanza justru masih diam dalam keterpakuan. Melirik sang sahabat, Dea pun menarik benang lurus kemana arah tatapan tajam. Seorang lelaki tampan nan rupawan tersenyum ke arah mereka.
"Cie! disenyumin tuh," ledek Dea seraya menyenggol lengan Khanza.
Semburat merah pun memenuhi pipi Khanza. "Apaan sih De," elaknya. "Ayo kita ke sana."
Khanza menunduk sepanjang perjalanan, jantungnya berdegup tidak karuan. Gugup membawa diri dalam kecanggungan, apalagi kala kaki telah sampai pada tujuan, salah tingkah pun menyertai kelakuan.
Arif bergeser barisan, memberikan ruang untuk Khanza. "Ini kosong," ujarnya seraya mempersilakan.
"D-De, k-kamu s-saja b-baris di sin—"
"Aku sudah baris di depan Za." Ternyata gadis molek tersebut sudah mengambil posisi tegap di depan.
Ckck. Terpaksa deh Khanza berdiri berdampingan lagi dengan Arif. Ada apa dengan aku? Kenapa sampai gugup seperti ini?
Peluh pun membanjiri pelipis dahi Khanza. Dan gawatnya lagi, Arif justru memerhatikannya.
"Ini tisu." Ah lelaki tampan itu malah menyodorkan tisu lagi. Makin salah tingkah 'kan Khanza.
Mau menolak rasanya tidak enak, akhirnya gadis cupu itu pun mengambil dengan ragu. "T-Terima kasih," ucapnya.
Menempelkan kertas tipis tersebut pada pipi, tiba-tiba ada seorang lelaki yang menyenggol dirinya. "Au!" ringis Khanza.
"Eh sor—"
"Eh lihat-lihat dong! Nggak bisa pelan apa?!" Dea langsung mengomel karena tubuh seksinya pun ikut tersenggol gara-gara pemuda tersebut.
"Nggak bisa!" Lelaki itu pun ikut nyolot membalas Dea.
"Lo ya!" Berkacak pinggang, Dea siap mengibarkan bendera peperangan.
"Randra, lo baru datang?" Ternyata Arif kenal dengan lelaki si pembuat onar itu.
"Iya nih. Motor gue bocor tadi." Mengibaskan tangan pada seragam, Randra membenarkan penampilannya agar senantiasa rapi. "Eh cupu, lo kedepan sana, gue mau baris samping sahabat gue."
Sontak mata Arif terbelalak lebar. Apa-apaan Randra memanggil Khanza seperti itu. Sementara Dea—gadis bertubuh seksi tersebut mengambil ancang-ancang melibas habis lelaki yang sudah berani mengatai sahabatnya.
"Rasain kamu ya?!"
"Au!"
"Au-au-au!" Ringisan Randra diabaikan oleh Dea, gadis itu malah semakin semangat menjewer kuping rivalnya.
"Siapa suruh lo ngatain sahabat gue cupu hah?! Dasar kadal jadi-jadian!"
"Argh! Sakit!" Semakin berontak maka semakin panas capitan itu.
Sontak Arif menahan tawa, wajah sang sahabat yang merah padam justru lucu dalam pandangan. Khanza mengigit bibir bawah, dia justru kasihan dan menganggap Dea terlalu berlebihan.
"Sudah De, kasihan dia," ujar Khanza.
"Nggak Za. Dia harus tahu rasa, siapa suruh punya mulut nggak di jaga, ngatain orang seenaknya." Ternyata susah juga meredakan emosi Dea.
"Gue nggak ngatain woi, gue cuma ngomong fakta. Memang benarkan dia cup—Aaaa!" Lepas-lepas deh kuping Randra. "Ampun!" mohonnya karena sudah merasa tidak tahan.
"De sudah ya? Lepasin dia, aku nggak apa-apa kok, memang orang sering panggil aku cupu kok."
Arif menoleh pada Khanza. Sebaik itu hatinya? Tidak masalah walau orang lain menghinanya. Kekaguman pun muncul secara diam-diam dalam hati lelaki tampan tersebut.
"Tuh dengar kata teman lo! Dia aja nggak masalah, kenapa lo yang masalah! Auuuu!"
Dea masih tidak menyerah. "Gue tetap masalah sebelum lo minta maaf sama dia."
"Iya-iya gue minta maaf. Argh!"
"Yang benar!" titah Dea.
"Em cup—au!"
"Jangan panggil dia cupu!" hardik Dea.
"Iya-iya! eh siapa sih nama lo?" Randra 'kan belum tahu namanya.
"Khanza," sahut Arif cepat.
Lantas Dea, Randra, dan Khanza pun terpaku pada Arif. Tatapan mereka mengandung masing-masing tanda tanya.
"D-Dari mana lo tahu?" Pertanyaan Dea juga mewakilkan Randra, sejauh yang ia tahu Arif bukanlah sosok lelaki yang mudah akrab dengan orang sekitarnya, lalu kenapa dia bisa tahu nama Khanza?
"Papan nama," sahutnya enteng.
Tersirat kecewa menyelinap di hati Khanza, kenapa Arif justru enggan jujur kalau mereka memang sudah berkenalan secara resmi.
"Benar juga." Dea tidak menyadari kalau setiap siswa mempunyai papan nama pada atas saku seragamnya.
"Nadia Salsabila," sebut Randra. "Nama yang bagus, tapi sayang tidak sebagus orangnya," celetuknya.
Emosi Dea pun kembali naik, wajahnya merah padam seperti bom waktu yang siap diledakkan. Namun sebelum meluluh lantakkan satu sekolah, untunglah para guru sudah berdatangan dan upacara pun segera dimulai.
"Masing-masing pemimpin barisan menyiapkan barisannya."
Suara merdu seorang siswa wanita menggema membawakan acara, gumaman kagum pun terdengar samar-samar di kumpulan anak baru terutama para lelaki.
"Siap grak!" Seorang lelaki dari barisan kami maju dan memberikan aba-aba.
"Pemimpin upacara memasuki lapangan upacara."
Dan kini gantian memuji, para siswi perempuan hampir menjerit saat pemimpin upacara memasuki lapangan.
"D-Dia," gumam Dea pelan, tapi masih mampu di dengar Khanza.
"Lo kenal dia De?" bisik Khanza dari belakang.
"Dia lelaki yang tadi fitnah gue." Siapa lagi kalau bukan lelaki si most wanted sekolah.
"Wih keren juga Sony," puji Randra.
Dea menoleh. Ternyata namanya Sony, awas saja nanti, batin gadis molek itu.
Hening. Semua siswa dipandu untuk hormat kepada pemimpin upacara. Lalu susunan demi susunan pun terus terlaksana, hingga pengibaran sang saka merah putih. Semua orang pun kembali dibuat kagum oleh sembilan siswa yang berbaris rapi.
Dea mengenali beberapa diantaranya. Itukan Kakak kelas yang bermasalah dengan gue tadi. Santi, Iva, Zia, Amel, Aldi, dan Adit. Sedangkan yang tiga orang masih asing di matanya.
"Kakak kelasnya cantik-cantik, boleh juga nih," celetuk Randra.
"Belajar yang benar," sahut Arif.
Ternyata mereka populer di sekolah ini, pantas saja seenak hati membully anak baru, batin Khanza.
Menggelengkan kepala, dia pikir cerita tentang penindasan di sekolah hanya ada dalam berita, nyatanya dia sendiri menyaksikan di hari pertama menjajaki SMA. Lalu apakah proses perseteruan itu akan berlanjut nanti? Kita lihat saja di episode yang akan datang.
Vera membacakan susuan acara terakhir, "Upacara selesai, barisan dibubarkan."
Berjalan lancar dan hikmad, barisan kami pun dibubarkan oleh pemandu di depan. Namun salah seorang guru mendekat dan meminta kami agar diam di tempat.
"Setelah ini kalian akan menjalani proses Masa Orientasi Siswa atau MOS. Tujuan sekolah untuk mengadakan acara perkenalan ini guna melatih mental, disiplin, dan juga mempererat tali persaudaraan diantara kalian para murid baru, guru, stap-stap pendukung dalam sekolah, dan juga para Kakak kelas yang turut membimbing dalam hal ini."
Para siswa baru fokus mendengar bimbingan guru di depan. Namun konsentrasi mereka buyar kala sekelompok senior datang mendekat pada mereka.
Khanza, Arif, Randra, dan Dea yang paling terperangah. Jangan bilang yang membimbing kami adalah mereka?
Tebakan mereka sama sekali tidak meleset sedikit pun. Kumpulan senior populerlah yang akan melatih mental dan disiplin mereka.
"Nah perkenalkan ini Kakak-Kakak kelas yang akan turut membimbing kalian," tandas sang Guru.
"Mampus gue," gumam Dea.
Babak baru untuk kisah baru akan dimulai.